Langsung ke konten utama

Kalau Ada Salah


Lebaran sebentar lagi dan semoga setiap kita yang mengharap bertemu dengan hari kemenangan, akan benar-benar sampai untuk merayakannya bersama keluarga besar, baik yang mudik ke kampung halaman atau hanya menetap di tempat. Walau kita seharusnya sedih karena Ramadan telah usai, karena tak ada jaminan kita akan berjumpa lagi tahun depan, meski begitu sebagai manusia yang banyak khilaf toh tak apa sedikit bersuka cita barang sehari atau dua hari. Dengan catatan segala sesuatu yang kita dapatkan selama sebulan penuh melawan nafsu bisa benar-benar kita terapkan di bulan-bulan selanjutnya. Semoga kita salah satu hamba-Nya yang berhasil.



Seiring dengan menyambut hari kemenangan, ada adat atau kebiasaan, setidaknya yang berlaku di Indonesia, adalah mudik dan tentu saja pesan berantai berbagai bentuk dan kata-kata yang dirangkai sedemikian indah layaknya puisi sekaligus pantun, yang bermaksud untuk meminta maaf. Berdasarkan pengalaman saya, dari sekian banyak permintaan maaf yang saya dapat, baik di waktu idul fitri maupun hari-hari biasa, baik secara langsung atau lewat pesan singkat, rata-rata terdapat kalimat, “Maaf kalau ada salah..”


Wajar memang, tapi setelah saya pikir lebih dalam—kebetulan waktu senggang saya banyak dan seringkali otak saya gatal untuk mengomentari hal remeh temeh—ternyata kalimat tersebut sungguhlah salah dan terkesan sombong.


Saya melihatnya dari sudut pandang penggunaan kata, bukan berdasar hukum pada kitab tertentu, karena memang membawa kitab-kitab tertentu apabila kita tak paham betul hanya akan menjadi bumerang saja. Yang jadi masalah sebenarnya cuman satu kata dan itu merusak segala maksud baik ingin kita sampaikan sebagai permintaan maaf.


Kata tersebut adalah ‘KALAU’. 


Coba baca lagi, “Saya minta maaf (((kalau))) ada salah..”


Entah bagaimana kalian mengartikannya, tapi ketika sampai pada pendengaran saya, kata tersebut terkesan sombong. Seolah-olah, sebagai manusia dimana segala muara masalah berasal, kita masih menaruh kemungkinan bahwa ‘kita tak punya salah’. Sekarang sudah tak ada nabi lagi dan takkan pernah ada, karena Muhammad SAW adalah yang terakhir. Maka, merasa kita tak punya salah, walau masih berupa kemungkinan, sungguhlah kesombongan yang terbalut dalam kata-kata maaf.


Setelah mempunyai pemikiran seperti itu, saya berhenti menggunakan kata ‘kalau’ dan menggantinya dengan kata ‘atas’. Karena, menurut saya, kata ‘atas’ menandakan bahwa kita mengakui dan sama sekali tak menyangkal kesalahan-kesalahan kita dan itu sudah menjadi hal yang pasti. Toh, sesuatu yang kita anggap biasa saja, bisa jadi di mata orang jadi sebuah penghinaan dan sebagainya. Jadi, seringkali, ketika saya meminta maaf, saya menuliskannya seperti ini: “Saya minta maaf atas segala kesalahan terdahulu, baik yang saya ketahui maupun tidak, karena sebenarnya saya hanyalah manusia biasa.” Ya, memang tak selalu seperti itu, tergantung keadaan saya saja. Tapi, yang jelas, saya sudah menghilangkan kata ‘kalau’.


Jadi, sebagai penutup, saya ingin meminta maaf pada siapapun yang membaca tulisan ini atau tulisan-tulisan terdahulu yang menyinggung sampeyan, juga saya akan memaafkan siapapun yang berkomentar tanpa membaca tulisan saya hingga selesai lantas menyoroti satu potongan saja dan meminta saya berkunjung balik. Semoga Tuhan mengampuni dosa-dosa kita dan memberikan yang terbaik bagi kita. Amin.


Lihat? Tak ada kata ‘kalau’.

Salam.

Komentar

  1. Sama sama. Sudah saya maafkan. Hampura abdi ogeh

    BalasHapus
  2. Kata 'kalau' sebetulnya bukan karena kesombongan, sebab interaksi antar sesama manusia tak selamanya menimbulkan 'salah'. Kalau ada kesalahan ya dimaafkan, kalau enggak ya mohon dimaafkan juga. Begitu kira-kira, yang penting minta maafnya, baik ada salah maupun enggak.

    Maaf lahir batin ya...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hal-hal Pernah dan Mungkin akan Terjadi

Suatu siang saya mengobrol dengan seorang teman. Kemudian terlintas pertanyaan, oh tidak, saya sudah mempersiapkannya sebagai opsi darurat apabila kami kehabisan topik pembicaraan. Saya bertanya: Apa kekuatan yang pengen kamu punya dan kenapa? Dia menjawab, "Kamu nanya? Iya? Aku kasih tahu, ya.." Dia jawab teleportasi. Perpindahan super cepat dari satu tempat ke tempat lain--menembus ruang dan waktu. Rasanya, dia menyukai ide bahwa dia bisa pergi ke mana saja, kapan saja, dan tidak perlu berurusan dengan kemacetan, orang-orang tak sabaran, dan perempatan Gedangan. Sementara itu, saya menjawab pertanyaan yang sama dengan berharap memiliki kekuatan untuk mampu mengontrol pikiran diri sendiri. Bukan, bukan seperti Profesor Xaxier dalam semesta X-Men yang mampu membaca pikiran dan memanipulasi orang lain. Saya hanya ingin mengontrol pikiran diri sendiri. Terdengar tolol dan egois memang. Tapi jika dipikir-pikir lagi, semua hal yang telah, sedang, dan mungkin akan saya lakukan ber

Tidurlah Anji, Selamat Malam

Photo by Bastien Jaillot on Unsplash Ketika teman-teman ramai mengobrol soal pelbagai macam strategi untuk mengalahkan musuh di game online, diam adalah opsi terbaik yang saya punya. Saya tak mau merusuh dan memang tak begitu tahu akan istilah-istilah asing semacam skin, ranked, dan sejenisnya. Bisa dibilang, level pengetahuan saya cukup memprihatinkan. Tapi, ketika topik pembicaraan beralih ke dunia film, mulut saya akan selalu terbuka untuk meladeni setiap cabang bahasannya. Meski tidak paham betul, setidaknya saya punya cukup bekal jika ditanyai tentang istilah seperti plot hole, spin-off, easter eggs, overshadow, dan lain-lain. Di sisi lain, teman-teman saya yang cenderung lebih senang bermain game akan lebih sering jadi pendengar, ketimbang pembicara. Sama halnya ketika saya diajak berdiskusi soal Dota atau PUBG.

Tiga Pilihan Presiden Indonesia, Siapa Bisa Dipercaya?

Tidak ada. Politisi semestinya tidak diberi kepercayaan utuh – sebagus apapun kinerjanya di masa lalu dan rencana-rencana yang diwacanakan untuk masa depan. Ia patut untuk terus dicurigai, dikritik, dan dituntut atas kekuasaan yang akan/telah dimilikinya. Lord Acton, guru besar Universitas Cambridge, pernah bilang: power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely . Kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut cenderung akan korup secara absolut. Kabar baiknya, rakyat punya hak untuk terus mengawasi kekuasaan yang telah dimandatkan pada penguasa. Hal itu dijamin undang-undang. Tapi, hal itu tidak akan terjadi jika penguasa tidak memberi ruang untuk dikritik tuannya dan melihat segala bentuk kritik sebagai ancaman atas kekuasaannya. Seorang teman pernah bilang kalau saja saya tahu orang-orang di balik ketiga pasangan dari capres dan cawapres yang tersedia ditambah lagi rekam jejak yang menyertai mereka, saya pasti takut dan enggan untuk memihak ketiga