Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2020

Mari Meromantisasi 2020

Tanpa perlu berdebat, kita semua mungkin sepakat bahwa 2020 adalah tahun yang bangsat.  Ada rima '-at' pada kalimat di atas barangkali kalian tidak menyadarinya. Sesuatu yang sejak dulu ingin saya terapkan dalam setiap tulisan--memberinya rima. Selain enak didengar, rima juga mengesankan penulis memiliki kosa kata yang luar biasa banyak dan saya ingin dikenal sebagai orang berkosa-kata banyak. Sayangnya, tidak semua rencana berjalan seperti apa yang kita harapkan.

Pelankan

Tidak. Tulisan ini tidak berasal dari mereka yang sudah bersepeda sejak lama, bukan juga dari orang yang telah mengikuti beragam perlombaan dan punya kaos ketat yang penuh dengan sponsor, atau pesepeda dengan rakitan yang jika ditotal bisa digunakan untuk membeli kopi. Beserta kedai dan menghidupi baristanya. Maaf mengecewakan, tapi tidak.

Jurnalis Warga dalam Bahaya, Dewan Pers Tutup Mata

Photo by Dmitriy Tyukov on Unsplash Bayi yang setiap hari disuapi bubur dengan rasa yang sama lama-lama akan memberontak dan mogok makan. Mungkin ia  marah dengan sang ibu sebab dari sekian banyak bahan makanan yang dibawanya dari pasar, masakan itu-itu saja yang disajikan. Setelah tumbuh dewasa dan lepas dari bubur, bayi itu kembali dijejali oleh berita-berita serupa oleh media arus utama. Perasaan muak dan jenuh menjadi satu waktu itu. Sempat berpikir untuk mengasingkan diri di sebuah pulau dekat area reklamasi, muncullah mukjizat yang bernama jurnalisme warga. Hidupnya jadi lebih berwarna dan kabarnya sekarang dia hidup bahagia bersama keluarganya di area ring satu negeri ini.

Permisi Pak Pol, Saya Mau Melapor

  Dari demo tahun lalu di depan DPRD Surabaya Saat ini, pelbagai jenis elemen masyarakat—buruh, mahasiswa, pelajar dan mereka yang peduli akan kesejahteraan di masa depan terancam UU Cipta Kerja—bersama-sama turun ke jalan menuntut keadilan. Sialnya, alih-alih tuntutan untuk mencabut produk cacat kolaborasi antara Pemerintah dan DPR terpenuhi, justru pukulan dan tendangan tanpa kompromi tanpa ampun yang diberikan. Pak Polisi tahu tidak pelakunya siapa? Saya selalu berusaha untuk berprasangka baik kepada aparat yang bertugas, tapi alangkah terkejutnya saya ketika mengetahui pelaku mempunyai ciri-ciri yang sama persis dengan Pak Polisi. Baju coklat keabu-abuan, memakai helm, membawa tongkat, lalu tameng dan mobil bertuliskan ‘polisi’. Persis seperti model polisi yang saya jumpai di poster-poster jelek bikinan hubungan masyarakat polisi. Sikap skeptis masih menghadang saya untuk langsung menuduh.

Meraba Pedoman Ospek yang Ideal

Kita sedang terpuruk dengan keberadaan covid-19, tapi alih-alih memfokuskan diri untuk bersatu mengalahkan virus sialan itu, kebanyakan dari kita teralihkan dengan isu-isu lain yang silih berganti mencuat. Hampir setiap hari ada saja perkara yang menyita perhatian dan mengikis kewarasan. Profesor gadungan, polemik anjay, dan yang masih hangat, pelaksanaan ospek. Sebenarnya selalu ada opsi untuk tidak acuh dengan segala hal yang terjadi. Apapun masalahnya. Namun, dalam kasus tertentu, melepaskan uneg-uneg justru jadi salah satu cara yang ampuh untuk menjaga kewarasan. Maka duduklah saya di depan laptop dan mulai mengomentari ospek kampus. Layaknya musim perkawinan tapir, perdebatan antara kubu pro dan kontra pelaksanaan ospek ini selalu terjadi setiap tahunnya. Dan, menurut saya, selama mereka hanya menjatuhkan kubu lain dan menutup telinga sendiri, maka perseteruan ini mungkin berlanjut sampai cucu ke-7 saya lahir. Mereka perlu duduk di satu forum, mungkin dengan pihak instansi di mana

Life at Zetizen: Awal Mula

  Salah satu foto awal bareng seluruh kru Zetizen. Cerita yang baik selalu memberikan penjelasan yang runtut dari setiap peristiwa yang terjadi. Oleh sebab itu, sebelum masuk dalam bagian bagaimana saya bisa menghabiskan hampir dua tahun waktu hidup saya menulis dan membuat konten di Zetizen, ada baiknya kita mundur jauh ke belakang dahulu.Sebab, saya tak ingin mempersulit hidup kalian yang sudah berantakan.

Tidurlah Anji, Selamat Malam

Photo by Bastien Jaillot on Unsplash Ketika teman-teman ramai mengobrol soal pelbagai macam strategi untuk mengalahkan musuh di game online, diam adalah opsi terbaik yang saya punya. Saya tak mau merusuh dan memang tak begitu tahu akan istilah-istilah asing semacam skin, ranked, dan sejenisnya. Bisa dibilang, level pengetahuan saya cukup memprihatinkan. Tapi, ketika topik pembicaraan beralih ke dunia film, mulut saya akan selalu terbuka untuk meladeni setiap cabang bahasannya. Meski tidak paham betul, setidaknya saya punya cukup bekal jika ditanyai tentang istilah seperti plot hole, spin-off, easter eggs, overshadow, dan lain-lain. Di sisi lain, teman-teman saya yang cenderung lebih senang bermain game akan lebih sering jadi pendengar, ketimbang pembicara. Sama halnya ketika saya diajak berdiskusi soal Dota atau PUBG.

Upaya Memperbesar Peluang Masuk Surga

Photo by Ehud Neuhaus on Unsplash Satu hal yang sebisa mungkin saya jauhi adalah hobi untuk hutang. Sebab, jarang sekali urusan piutang ini berakhir Bahagia bagi kedua belah pihak, terutama dia yang memberikan pinjaman dan tanpa adanya bentuk keterikatan selain ucapan, 'Besok aku ganti'. Di tambah lagi, sisi religius saya juga takut dengan ancaman tidak jadi masuk surge karena tidak atau hanya lupa membayar hutang. Fakta umum lainnya ialah tak jarang orang yang mengutang jauh lebih galak ketibang pemberi hutang, terlebih ketika proses penagihkan tanggung jawabnya. Itulah yang sedang dialami oleh Febi Nur Amalia. Bukannya mendapatkan sesuatu yang seharusnya menjadi haknya--70 JT, ia malah terancam pidana tuntutan dua tahun penjara karena menagih hutang lewat Instagram.

NIlai-nilai yang Lalu

Beberes rumah menjadi salah satu kegiatan yang menyenangkan untuk dilakukan, dengan catatan: tidak disuruh. Selama pandemi, saya jadi lebih sering menata kamar, membuang barang-barang yang dirasa tak perlu, dan begitu terus sampai saya menemukan satu benda tertentu lalu menghabiskan belasan menit untuk bernostalgia.

Cara Bodoh Tapi Jitu Raih Sensasi

Bagaimana jika ‘mempertontonkan kebodohan’ sudah menjadi salah satu opsi untuk meraih popularitas? Dan, sialnya, cara tersebut memang ampuh sekali. Siapa biang keladi yang harus kita cac maki? Saya khawatir, korona ini, selain mengancam nyawa, juga berpotensi merusak akal sehat. Mungkin korona bukan penyebab satu-satunya, tapi mari kita melihat beberapa hari belakangan. Setidaknya ada dua kebodohan yang mengusik kehidupan kita yang tengah kacau ini.

Normal Yang Baru

Tidak ada yang mengira akan berada dalam kondisi seperti saat ini. Ruang gerak diawasi, interaksi dibatasi, dan rencana-rencana yang sudah kita susun rapi-rapi harus kembali disimpan lagi.  Tidak ada yang memperingati bahwa tawa kita di kedai kopi, tugas kuliah yang kita umpati, dan sikap politisi yang kita habisi dengan caci maki adalah aktivitas terakhir sebelum pandemi. Tidak ada yang menjamin semua akan Kembali seperti semula. hal-hal yang ditunda, waktu-waktu yang lalu, dan upaya-upaya pemulihan, belum tentu mengembalikan normal yang pernah kita alami 

[Cerpen] Sebagaimana Hidup Sebenarnya

  Photo by Maxime Brugel on Unsplash Hidup, tak seperti narasi-narasi yang diciptakan dalam dunia fiksi yang cenderung berakhir bahagia, seringkali memberikan kejutan di setiap ceritanya. Sesuatu yang mungkin tak satupun dari kita mengharapkannya. Tapi, bagaimanapun juga, itulah kenyataannya. Itulah hidup yang sebenarnya.

Mungkin Kitalah Power Rangersnya

Photo by Francisco Delgado on Unsplash Beberapa waktu yang lalu, iseng saja, saya menelusuri rekam jejak aktivitas daring diri sendiri. Tidak banyak yang bisa ditemukan selain kealayan yang murni. Cuman satu akun yang berhasil saya lacak, tentu saja takkan saya sebutkan di sini, tapi kalau kalian punya waktu luang untuk mencari, silakan. Tak ada yang menghalangi. Sebab, di sisi lain, saya masih berusaha dengan pengetahuan yang saya punya untuk melenyapkan aib tersebut.

Batas Kesenangan di Dunia Maya

Demi kebaikan bersama, untuk sementara waktu, segala bentuk aktivitas kesenangan duniawi harus dikurangi. Tidak ada lagi kuliah pagi, ngopi-ngopi, judi, atau lomba karapan sapi. Alhasil, hasrat untuk bertahan hidup di tengah pandemi seperti saat ini membawa kita ke tempat yang sama: internet. Akibat ruang gerak di dunia nyata yang dibatasi, kebanyakan dari kita pun beralih ke dunia maya. Tentu saja hal tersebut berbanding lurus dengan lama durasi mereka menggenggam gawai yang mereka punya. Saya juga jadi lebih sering menengok Instagram, Twitter, YouTube, dan ehem, TikTok. Aku suka boring goyang mama.. eh maaf.

Semoga Kita Lolos dari Pandemi Kali Ini

Photo by visuals on Unsplash Saya tidak pernah berencana untuk hidup di kala pandemi seperti sekarang. Sehingga saya tak tahu-menahu perihal langkah-langkah pencegahan wabah atau upaya pertahanan diri selama masa karantina. Untuk saat ini, satu-satunya rencana yang saya punya adalah, tentu saja, jangan sampai mati karena korona. 

Atur Saja Gaya Pakaianmu Sendiri

Perlu diakui, menilai penampilan orang lain adalah kegiatan yang menyenangkan. Kita tak perlu menempuh pendidikan khusus agar mahir mengaplikasikannya. Sekali pandang saja sudah lebih dari cukup untuk mencari titik lemah dan keunggulan gaya berbusana orang lain, tentu saja tanpa perlu mempertimbangkan alas an-alasan dibalik pemilihannya, karena kita tak punya waktu untuk itu. Sebab kita hanya melihat apa yang terlihat.

Ego dan Musik dalam Perjalanan

  Saya belum melakukan penelitian secara saintifik terhadap pernyataan saya selanjutnya, tapi rasanya setiap kita memikirkannya setidaknya sekali seumur hidup. Pasti ada momen di mana kita berada dalam kendaraan, entah itu mobil, kereta, pesawat, andong, odong-odong, apapun itu, lalu melihat ke luar jendela sambil mengamati macam-macam aktivitas yang ada di luar dan secara tiba-tiba sebuah lagu serta cerita pengandaian langsung berputar di kepala.  Ya, seketika kita adalah model sebuah video klip musik. Dalam perjalanan yang cukup jauh, saya tak begitu suka keheningan dan terus-terusan membaca pelbagai bacaan yang berada di sepanjang jalan--iklan sedot WC, janji-janji manis politisi, nama warung makan, dan sebagainya, sebab cepat atau lambat saya akan merasa pusing dan saya terlalu sayang untuk memuntahkan makanan dalam perut. Mubadzir istilahnya.