Tidak ada.
Politisi semestinya tidak diberi kepercayaan utuh – sebagus apapun kinerjanya di masa lalu dan rencana-rencana yang diwacanakan untuk masa depan. Ia patut untuk terus dicurigai, dikritik, dan dituntut atas kekuasaan yang akan/telah dimilikinya.
Lord Acton, guru besar Universitas Cambridge, pernah bilang: power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely. Kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut cenderung akan korup secara absolut.
Kabar baiknya, rakyat punya hak untuk terus mengawasi kekuasaan yang telah dimandatkan pada penguasa. Hal itu dijamin undang-undang. Tapi, hal itu tidak akan terjadi jika penguasa tidak memberi ruang untuk dikritik tuannya dan melihat segala bentuk kritik sebagai ancaman atas kekuasaannya.
Seorang teman pernah bilang kalau saja saya tahu orang-orang di balik ketiga pasangan dari capres dan cawapres yang tersedia ditambah lagi rekam jejak yang menyertai mereka, saya pasti takut dan enggan untuk memihak ketiga-tiganya. Tapi, sayangnya, saya bukan cenayang dan apa yang saya takutkan pun belum tentu terjadi.
Ketiga pasangan punya kecenderungan untuk mengingkari janji dan lalai memegang kekuasaan. Maka, satu pertimbangan yang bisa dijadikan sebagai acuan untuk menentukan pilihan adalah ruang untuk memberi kritik di masa depan jika mereka berkuasa.
Bayangkan jika pasangan yang kamu pilih menyeleweng, apa dia terbuka untuk dikritik?
Apa dia akan menjamin hak kita untuk bersuara tanpa berlindung di balik embel-embel ‘Wakanda’ saat ketidakbenaran terjadi di depan mata atau memanfaatkan pasal karet seperti UU ITE untuk menjerat mereka yang tidak sependapat?
Bagaimana rekam jejak mereka menanggapi dan menjawab pertanyaan dari media massa – sebagai salah satu kontrol sosial negara demokrasi?
Pilihlah penguasa yang terbuka untuk dikritik.
Komentar
Posting Komentar