Langsung ke konten utama

Remeh Temeh

Lama sekali, ya. Sejak terakhir kali saya mempubplikasikan tulisan yang terkesan begitu menggurui soal berkarya, baru kali ini saya kembali untuk memperbarui beberapa hal. Saya memutuskan untuk mengganti icon blog—yang dulu saya buat sekenanya dengan photoshop waktu SMA. Meski begitu, saya sangat bangga, walau hanya inisial nama dengan background warna biru saja—dan mencoba menulis tentang sesuatu, sebuah remeh-temeh, perwujudan tanda bahwa orang yang menulis di blog ini masih hidup dan baik-baik saja, semoga.


Sebenarnya tidak ada apa-apa lagi yang ingin saya sampaikan. Oh ya, mungkin setelah ini saya akan mencoba kembali rutin untuk menulis di blog ini. Apapun itu. Doakan istiqomah. Mungkin seminggu sekali, dua minggu sekali, atau saat sempat saja. Urusan pekerjaan dan kuliah adalah dua hal yang paling masuk akal untuk saya jadikan alasan, meskipun saya sendiri tahu bahwa keduanya cuman pengalihan fakta bahwa saya terlalu malas untuk menyisihkan waktu khusus kepada hal-hal yang kurang mendesak.

Kadang saya sendiri bingung dengan diri saya sendiri di masa lampau yang bisa menulis empat sampai lima tulisan atau bahkan bisa lebih jika saya sedang banyak pikiran dan waktu luang, selama sebulan. Heran saya. Apa yang membuat saya begitu antusias membagikan isi pikiran, yang belum tentu dibaca orang, waktu itu. Oya, rasa lega.

Dulu, keresahan saya tumpahkan dalam tulisan. Kurang suka soal peristiwa di televisi, saya tuliskan. Kurang suka soal suatu acara, saya tuliskan. Apapun itu. Bahkan saya sempat ditegur OSIS dan beberapa kakak kelas akibat mengkritik perihal acara sekolah—sampai diinterogasi di kamar mandi. Bayangkan. Ketawa sendiri saya mengingatnya. Tapi, apapun dampak yang saya terima, saya merasa senang karena unek-unek saya keluar dalam bentuk tulisan, bukan Cuma sumpah serapah dalam hati. 

Lalu saat ini di mana jangkauan pertemanan dan pekerjaan yang semakin luas, tentu makin banyak hal-hal yang saya pikirkan dan sayangnya cuman berhenti di situ saja dan keluar dalam bentuk jerawat yang memenuhi wajah. Sialan memang. Sebab, setahu saya, stress tidak akan memberi kita apapun selain jerawat.

Sudah. Itu saja. Semoga kita berjumpa lagi di lain tulisan.

Komentar

  1. Hahahaha saya membaca tulisan diatas serasa sedang mendengarkan radio tentang seseorang yang lagi curhat celoteh asik tentang hidupnya, begitu mumettt. Yaa dulu blog memang selalu jadi lampiasan untuk membuang uneg-uneg pikiran, saya pun juga begitu sangat rajin menulis. Sekarang mungkin kita sudah sama-sama menua ya, untuk masalah pikiran hanya berhenti sampai disitu atau sudah selesai dengan sendirinya tanpa perlu ditulis dalam blog dulu baru masalahnya kita hadapi, berbeda ya sikonnya yang dulu dan sekarang. Saat banyak waktu dan menua huhuhu

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hal-hal Pernah dan Mungkin akan Terjadi

Suatu siang saya mengobrol dengan seorang teman. Kemudian terlintas pertanyaan, oh tidak, saya sudah mempersiapkannya sebagai opsi darurat apabila kami kehabisan topik pembicaraan. Saya bertanya: Apa kekuatan yang pengen kamu punya dan kenapa? Dia menjawab, "Kamu nanya? Iya? Aku kasih tahu, ya.." Dia jawab teleportasi. Perpindahan super cepat dari satu tempat ke tempat lain--menembus ruang dan waktu. Rasanya, dia menyukai ide bahwa dia bisa pergi ke mana saja, kapan saja, dan tidak perlu berurusan dengan kemacetan, orang-orang tak sabaran, dan perempatan Gedangan. Sementara itu, saya menjawab pertanyaan yang sama dengan berharap memiliki kekuatan untuk mampu mengontrol pikiran diri sendiri. Bukan, bukan seperti Profesor Xaxier dalam semesta X-Men yang mampu membaca pikiran dan memanipulasi orang lain. Saya hanya ingin mengontrol pikiran diri sendiri. Terdengar tolol dan egois memang. Tapi jika dipikir-pikir lagi, semua hal yang telah, sedang, dan mungkin akan saya lakukan ber...

Mari Bertengkar tentang Selera Musik

Kamu tidak harus menyukai apa yang orang sukai dan, begitu pula sebaliknya, kamu tidak bisa memaksa orang mendengar apa yang menurutmu enak didengar.  Suatu waktu saya meminta teman-teman di Instagram untuk menulis topik di open question story. Kebiasaan untuk menambah relasi dan berdiskusi (baca: caper). Setelah itu, saya akan memberikan opini tentang apapun itu dengan serampangan. Ada yang memberi topik soal pelet, representasi muslim di industri hiburan barat, dan mermaid--tanpa memberi konteks apapun, asu kamu ya, Gaby. Beberapa saya tanggapi dengan bercanda, sisanya saya pikir matang-matang untuk mencegah blunder yang mencederai imej. Selain itu, saya juga berharap orang akan mengira bahwa saya orang pintar dan berbudi pekerti yang luhur. Padahal, untuk topik-topik yang asing di pikiran, saya pasti riset kecil-kecilan dulu. Ya, minimal bersumber dari 72 jurnal yang terindeks scopus dan tervalidasi oleh mba senjatanuklir. Umumnya, setelah saya memberi opini, tidak ada yang mem...

Percaya Polisi

ACAB. All cops are bastards . Semua polisi adalah bajingan.  Belakangan kata-kata itu populer di pelbagai medium--terutama media sosial. Alasannya? Banyak. Dua di antarannya adalah kasus polisi menembak polisi yang berkelit entah ke mana hingga yang terbaru tragedi kemanusiaan di Stadion Kanjuruhan, Malang. Munculnya seruan ACAB, apapun alasan yang melatarbelakanginya, jelas perwujudan sikap murka masyarakat terhadap polisi dan hal-hal buruk yang menyertainya. Sebab, polisi, bagaimanapun juga, adalah instrumen kenegaraan yang mestinya memiliki martabat yang terlalu agung untuk dihina. Lalu, kenapa bisa begitu? Ada ekspektasi dan realita yang bertolak belakang antara harapan masyarakat dengan hal-hal yang dilakukan oleh polisi di lapangan. Tugas pokok polisi menurut pasal 13 dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 antara lain: a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. menegakkan hukum; dan c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat Hanya orang du...