Langsung ke konten utama

2019 dan Cerita-cerita yang Menyertainya


Manusia, atau dalam hal ini adalah saya sendiri, seringkali bersikap angkuh dan cenderung menggembor-gemborkan dirinya sendiri. Misal, masalah ingat-mengingat. Saya sering memercayakan hal-hal penting hanya kepada kemampuan mengingat saya, tanpa mencatat dan sebagainya. Padahal, tidak jarang saya lalai dan melewatkan sesuatu yang penting. Lalu, pada akhirnya saya menyesali sendiri perbuatan tersebut. Tapi, tak lama berselang, cerita-cerita soal lupa yang hampir mirip formulanya terus-menerus terjadi. Dasar manusia.

Dalam rangka menanggulangi keterbatasan otak dalam hal ingat-mengingat, maka saya putuskan untuk menuliskannya di blog ini. Momen-momen yang mungkin tidak semua menyenangkan untuk dikenang, tapi di satu sisi bisa saya pakai untuk mengevaluasi diri sendiri. Lebih spesifik lagi, momen-momen yang terjadi di tahun 2019 ini. Berikut adalah beberapa di antaranya yang saya ingat:


Jadi Koor Divisi PDD di OSPEK Jurusan
Saya paling enggan bila diberi tanggung jawab. Bukan apa-apa, tapi takut kemampuan yang saya punya tidak memenuhi harapan teman-teman yang memercayai saya. Tapi, di sisi lain, saya selalu ingin mencoba hal baru, sesuatu yang tidak biasa saya lakukan. Maka, menjadi koor dari beberapa orang yang punya pandangan yang berbeda tentang apapun adalah pengalaaman yang menyenangkan bagi saya. Mungkin selevel jurusan saja, tapi ya seru. 

Sebagaimana koor, saya harus mengkoordinasikan seluruh anggota divisi supaya kewajiban kami terpenuhi. Bicara lelah, ya pasti. Lebih dari lima bulan saya dan teman—teman sekalian harus memutar otak untuk membuat serangkaian desain, video, dan bentuk dokumentasi lainnya yang sesuai dengan target awal. Hasilnya cukup memuaskan. Banyak yang mengapresiasi, beberapa mengkritisi. Tidak apa-apa. Saya senang dan bersyukur telah selesai.

Sendirian Liputan ke Ibu Kota
Salah satu dari sekian banyak pengandaian yang saya lakukan adalah bisa berpergian jauh sendirian. Menjelajahi tempat baru dan berinteraksi dengan warga lokal, sama seperti acara-acara petualangan di televisi. Siapa sangka keinginan tersebut terkabul tahun ini dan disponsori oleh Zetizen. Terima kasih, Zetizen. Zetizen pancen oye.

Beberapa minggu sebelumnya, saya diberi kabar bahwa akan ditugaskan untuk meliput Asia Africa Film Festival 2019 di Jakarta. Sendirian. Waktu itu saya agak bingung untuk bereaksi. Mau senang, tapi kok liputan dan sendiri pula. Di mana kondisi waktu itu saya tidak punya pengalaman naik pesawat dan hijrah sendirian di kota, maaf, ibu kota yang tidak ada sanak keluarga. 

Ayah tidak keberatan sama sekali dan langsung menceritakan pengalamannya naik pesawat. Langkah-langkah yang harus dilakukan dan semacamnya. Ibu saya khawatir. Anaknya yang tidak pernah pergi jauh dari rumah harus terbang sendirian ke Ibu Kota. Saya selalu menenangkannya dengan ucapan bahwa saya akan baik-baik saja, padahal batin ikut khawatir pada diri sendiri. Bagaimana kalau tersesat? Bagaimana kalau saya dirampok? Bagaimana kalau saya bertemu Pak Anies?

Syukurlah, semua berjalan relatif sesuai rencana. Saya nonton beberapa film, bertemu sineas mancanegara dan beberapa sutradara lokal, termasuk Robby Ertanto, dan menulis liputan khusus. Momen paling epik adalah saya disuruh oleh Kennedy Ashinze, yang mana adalah founder dan creative director acara tersebut, buat foto-foto suasana di sekitaran tempat itu. Dia kira saya panitia karena memakai ID Card freepass. Sebagai orang baik dan taat pada norma-norma yang ada, kecuali norma kamaru, saya pura-pura mengikuti apa katanya. Sehingga saya punya akses untuk berkeliling lebih leluasa saat diadakan wawancara dengan sineas-sineas. Mantap.

Rotasi Posisi di Zetizen
Mendaftar sebagai content creator, saya diterima sebagai reporter pada Oktober 2018 di Zetizen. Liputan demi liputan, halaman demi halaman, lalu akhirnya saya menjadi editor halaman Zetizen Jawa Pos pada Juli tahun ini, menggantikan editor yang resign. Sesuatu yang bingung mau saya rayakan atau renungkan. Pasalnya, tanggung jawab sebagai editor tentu lebih besar dari reporter. Kemudian, saya syukuri hal tersebut, sebab artinya saya diberi kepercayaan untuk menggarap beberapa tema untuk beberapa rubric yang ada. Meski banyak pusingnya, saya cukup menikmatinya. Pengalaman dan pencapaian baru.

Satu bulan kemudian, saya dipindah jadi content creator, karena orang sebelumnya resign. Mulai agustus hingga desember saya mengurusi sosial media Zetizen.  Agak menyenangkan karena konten yang yang dibuat tidak melulu suatu yang perlu riset mendalam. Namun, tiap hari harus memutar otak untuk terus update dan meningkatkan engagement. Lalu, setelah ini, saya ditunjuk sebagai editor lagi mulai 2020 menggantikan orang sebelumnya yang sedang ambil cuti untuk keperluan kuliah. Mari disyukuri saya. Doakan saya tidak tipes.

Liputan Setan
Sekian banyak liputan yang telah saya lakukan, meliput kegiatan D’ghostbust Surabaya di Benteng Kedung Cowek adalah salah satu yang paling mengesankan. Semua bermula saat rapat mingguan Zetizen. Seperti biasa, saya harus menyetor tema untuk dibahas di halaman. Waktu itu saya punya ide untuk membahas mengenai ghost photography dan berniat hanya melakukan wawancara dengan beberapa komunitas yang ada. Lalu, entah bagaimana, supervisor menyetujui dengan syarat saya harus melakukan liputan dengan mengikuti aktivitas kemunitas tersebut. Bukannya tidak berani, tapi agak takut saja.

Bisa dibilang saya kaum agnostik dalam hal pergaiban. Bukannya tidak percaya, tapi agak skeptis. Takut. Tapi kalau dipikir-pikir, bakal jadi cerita seru kalau saya melakukannya. Toh, siapa tahu saya bisa pulang dengan selamat dan bisa punya pengalaman ghaib sendiri. Akhirnya saya, dua teman dari Zetizen, dan beberapa anggota D’Ghostbust Surabaya pergi ke Kedung Cowek tepat tengah malam. 

Ya, begitulah. Kami jalan-jalan di tempat yang dulunya digunakan sebagai benteng perlindungan sekaligus tempat penyiksaan sampai menjelang subuh. Bertemu orang Kalimantan yang mencari ‘sesuatu’, mendengar suara jeritan perempuan yang seolah kesakitan, beberapa foto yang disinyalir adalah ‘penampakan’, melihat orang kesurupan secara langsung, dan yang terakhir, diancam penghuni tempat tersebut—ia memasuki salah satu anggota komunitas—untuk segera pergi atau salah satu di antara kami akan celaka. Saya yang awam soal ini sudah berpikiran untuk menulis surat wasiat. Tapi, untunglah, saya sampai sekarang masih hidup. Ada videonya di YouTube Zetizen kalau kalian penasaran. Oya, saya dapat best halaman berkat tema setan ini. Ehe.

Turut Turun ke Jalan Selamatkan Reformasi yang Dikorupsi
Tahun 2019 juga jadi tahun yang bersejarah bagi Indonesia. Rakyat yang sudah muak dengan kebusukan oknum-oknum yang berada di pemerintahan akhirnya beramai-ramai turun ke jalan untuk menuntut keadilan. Saya adalah salah satu orang yang turut turun dan menyaksikan langsung bagaimana kekuatan rakyat saat bersatu. 

Dulu, salah seorang teman sempat mempertanyakan apa gunanya ospek fakultas saya yang mengadakan simulasi aksi. Akhirnya, pada September tahun ini, ia tahu sendiri kenapa agenda itu dilaksanakan. Pentingnya koordinasi, konsolidasi, dan strategi dalam melakukan aksi agar tidak membahayakan para peserta, semua yang kami dapatkan saat ospek dapat dilaksanakan saat demo beneran. Saya terharu melihat teman-teman saling bantu untuk menggapai satu tujuan yang sama. Saling bahu-membahu untuk menyelamatkan reformasi yang dikorupsi.

Menyerupai Penjahat Kelamin di Synchronize Festival 2019
Berkat Zetizen, saya sering mendapatkan keuntungan untuk pergi menonton konser secara gratis sebab kedua belah pihak telah menjalin kerja sama sebelumnya. Nah, salah satu yang paling saya syukuri adalah bisa pergi ke Jakarta (lagi) dan menonton ratusan musisi selama tiga hari berturut-turut. Daftar band yang harus saya tonton, paling tidak sekali seumur hidup, langsung terealisasi hampir semuanya.

Tapi, teman-teman saya yang budiman, ketika saya bilang konser gratis, itu bukan sepenuhnah gratis. Sebagai timbale balik, saya harus menyetor berita dan mengirimkannya ke teman-teman yang ada di Surabaya untuk digarap menjadi halaman liputan. Nah, salah satu titipannya adalah mencari beberapa orang untuk kami—kali ini saya pergi berdua dengan fotografer—potret sebagai salah satu eleman dalam halaman liputan. Tidak sembarang orang, dalam kasus ini adalah perempuan yang mengenakan pakaian berbahan dasar jeans dan tentu saja dengan wajah yang enak dipandang dan cocok dengan kebutuhan halaman.

Kami berputar-putar di Gambir Expo Kemayoran mencari orang yang cocok. Ada yang pakaiannya pas, tapi umurnya kelihatan terlalu tua untuk Zetizen. Ada yang wajahnya sesuai, tapi hilang ditelan kerumuman. Kami berdua sudah seperti penjahat kelamin yang sedang mengintai mangsa. Selain masalah orang, kami juga dikejar waktu sebab keadaan sudah semakin gelap dan itu akan mengacaukan keserasian kondisi antar foto nanti. Untungnya, kami berhasil memenuhi target dan halaman terbit sesuai rencana. Sedikit yang saya tahu, ternyata salah satu modelnya adalah selebgram dengan ribuan pengikut. Mana saya peduli, yang penting tugas saya selesai.

Saya juga sempat kena bentak pengunjung karena tidak paham tata letak panggung. Ia mengira saya panitia karena memakai ID Card, setelah saya jelaskan bahwa saya hanya reporter dia langsung meminta maaf dan pergi. Sehabis itu, saya selalu melepas ID Card kalau tidak diperlukan.

Broom-broom Bromo
Waktu itu saya dan beberapa teman kampus selesai menonton film di Transmart Ngagel. Bingung selanjutnya mau kemana, akhirnya salah satu dari kami, atau mungkin saya, lupa, nyeletuk untuk pergi ke bromo. Tanpa ba-bi-bu, kami semua setuju lalu pulang dan kembali berkumpul di kampus untuk berangkat ke Bromo malam itu juga. 

Di perjalanan, kami sempat mendapat ‘tumpangan’, namun hanya satu teman saya yang menyadari kehadirannya. Ia seorang perempuan berbaju putih dan berambut panjang, jelas teman saya. Ia baru menceritakannya saat kami sudah mencapai pos satu, di mana kami menemui penyewa mobil jeep yang sudah kami hubungi sebelumnya. Memang keadaan jalan saat itu gelap gulita. Satu-satunya penerangan ya lampu sorot mobil saja. Kanan hutan, kiri jurang. Mantap memang, mau numpang tapi tidak ikut patungan. Jalan-jalan ke Bromo adalah salah satu keinginan saya yang akhir terwujud dengan semangat dadakan. Menyenangkan. 

Tamu Tidak Diundang
Saya adalah orang yang tidak begitu peduli dengan pergantian usia, khususnya usia saya sendiri. Namun, beberapa teman saya, sebut saja Bimo, Muthi, dan Annisa, datang malam-malam ke rumah saya sambil membawa hadiah dan menyelamati saya adalah salah satu momen yang paling mengesankan tahun ini. Baru kali ini saya diberi kejutan saat ulang tahun. Keluarga saya pun tidak pernah, paling ya beli makanan sebelum atau sesudah hari ulang tahun. Tidak pernah membuat saya terkejut. Tapi tahun ini, jadi ulang tahun yang paling membahagiakan, sebab, keansosan saya akan ulang tahun teman-teman lainnya, masih ada yang mau memberi kejutan saya.

Habis dari rumah saya, kami pergi keluar. Jalan-jalan naik mobil milik Bimo. Terus terang, tidak pernah saya sesenang hari itu di hari ulang tahun. Kami akhirnya memutuskan untuk mampir ke McD Darmo dan ternyata berteme dengan teman kampus lainnya yang sedang menyelesaikan tugas UAS. Makin ramelah. Khawatir mengganggu mereka, kami memisahkan diri. Di sana kami bercerita ngalor-ngidul soal apapun sampai menjelang subuh. Ternyata, menyenangkan punya teman yang teman. Maksud saya, mereka sebenarnya tidak punya kewajiban untuk melakukan hal itu. Tapi, terima kasih banyak.

Oke. Segini dulu. Dipost dulu, mumpung masih 2019. Nanti edit dan foto menyusul. Salam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tiga Pilihan Presiden Indonesia, Siapa Bisa Dipercaya?

Tidak ada. Politisi semestinya tidak diberi kepercayaan utuh – sebagus apapun kinerjanya di masa lalu dan rencana-rencana yang diwacanakan untuk masa depan. Ia patut untuk terus dicurigai, dikritik, dan dituntut atas kekuasaan yang akan/telah dimilikinya. Lord Acton, guru besar Universitas Cambridge, pernah bilang: power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely . Kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut cenderung akan korup secara absolut. Kabar baiknya, rakyat punya hak untuk terus mengawasi kekuasaan yang telah dimandatkan pada penguasa. Hal itu dijamin undang-undang. Tapi, hal itu tidak akan terjadi jika penguasa tidak memberi ruang untuk dikritik tuannya dan melihat segala bentuk kritik sebagai ancaman atas kekuasaannya. Seorang teman pernah bilang kalau saja saya tahu orang-orang di balik ketiga pasangan dari capres dan cawapres yang tersedia ditambah lagi rekam jejak yang menyertai mereka, saya pasti takut dan enggan untuk memihak ketiga

Hal-hal Pernah dan Mungkin akan Terjadi

Suatu siang saya mengobrol dengan seorang teman. Kemudian terlintas pertanyaan, oh tidak, saya sudah mempersiapkannya sebagai opsi darurat apabila kami kehabisan topik pembicaraan. Saya bertanya: Apa kekuatan yang pengen kamu punya dan kenapa? Dia menjawab, "Kamu nanya? Iya? Aku kasih tahu, ya.." Dia jawab teleportasi. Perpindahan super cepat dari satu tempat ke tempat lain--menembus ruang dan waktu. Rasanya, dia menyukai ide bahwa dia bisa pergi ke mana saja, kapan saja, dan tidak perlu berurusan dengan kemacetan, orang-orang tak sabaran, dan perempatan Gedangan. Sementara itu, saya menjawab pertanyaan yang sama dengan berharap memiliki kekuatan untuk mampu mengontrol pikiran diri sendiri. Bukan, bukan seperti Profesor Xaxier dalam semesta X-Men yang mampu membaca pikiran dan memanipulasi orang lain. Saya hanya ingin mengontrol pikiran diri sendiri. Terdengar tolol dan egois memang. Tapi jika dipikir-pikir lagi, semua hal yang telah, sedang, dan mungkin akan saya lakukan ber

Opinimu Tidak Sepenting Itu

Ada golongan orang yang merasa satu hari tidak cukup hanya 24 jam saja. Terlalu banyak urusan yang perlu diselesaikan, tapi terlalu sedikit waktu yang disediakan. Kemudian, di sisi lain, ada juga golongan orang yang seolah memiliki seluruh waktu di dunia. Salah satu tandanya adalah mereka mempunyai keleluasaan menggunakan waktu untuk beradu opini dengan orang asing di media sosial--yang kenal saja tidak. Saya adalah orang yang termasuk ke dalam golongan pertama dan iri dengan golongan kedua. Saya membayangkan orang-orang yang berada di golongan kedua--orang-orang yang aktif memberi dan meributkan opini, terutama hal-hal yang tidak sejalan dengan pola pikirnya--adalah mereka yang pintar mengatur waktu dan telah menyelesaikan seluruh tanggungannya di hari itu. Alhasil mereka punya waktu lebih untuk meladeni semua opini yang berseberangan dengannya. "Buah durian tidak enak," tulis si A di media sosialnya. "Eits, padahal buah durian itu enak, loh. Rasanya unik, baunya asyik,