Langsung ke konten utama

Meraba Pedoman Ospek yang Ideal

Kita sedang terpuruk dengan keberadaan covid-19, tapi alih-alih memfokuskan diri untuk bersatu mengalahkan virus sialan itu, kebanyakan dari kita teralihkan dengan isu-isu lain yang silih berganti mencuat. Hampir setiap hari ada saja perkara yang menyita perhatian dan mengikis kewarasan. Profesor gadungan, polemik anjay, dan yang masih hangat, pelaksanaan ospek.

Sebenarnya selalu ada opsi untuk tidak acuh dengan segala hal yang terjadi. Apapun masalahnya. Namun, dalam kasus tertentu, melepaskan uneg-uneg justru jadi salah satu cara yang ampuh untuk menjaga kewarasan. Maka duduklah saya di depan laptop dan mulai mengomentari ospek kampus.

Layaknya musim perkawinan tapir, perdebatan antara kubu pro dan kontra pelaksanaan ospek ini selalu terjadi setiap tahunnya. Dan, menurut saya, selama mereka hanya menjatuhkan kubu lain dan menutup telinga sendiri, maka perseteruan ini mungkin berlanjut sampai cucu ke-7 saya lahir.

Mereka perlu duduk di satu forum, mungkin dengan pihak instansi di mana mereka berada, dan menjelaskan argumen masing-masing serta berkomitmen untuk mencari solusi yang paling menyenangkan bagi semua pihak. Tidak ada yang merasa superior dan paling benar. 

Tapi, jika saran tersebut terlalu mengada-ada, saya telah menyiapkan opsi lain yang bisa dijadikan pertimbangan bagi setiap panitia yang berencana tetap melestarikan budaya ospek. Saya akan memberikan opini pribadi yang didukung dengan akal sehat dan sedikit survei di instagram. Mungkin sangat tidak kompeten, tapi jika kalian memutuskan membaca tulisan ini karena judul di atas, tentulah kalian sudah putus asa mencari solusi.

Sebab, menurut saya, satu saran yang jelek adalah saran terbaik jika tidak ada saran lainnya.

Sesuai namanya, ospek, orientasi studi dan pengenalan kampus, mempunyai tujuan yang mulia untuk menyambut dan mengenalkan mahasiswa baru dengan lingkungan kampus. Sampai di sini harusnya sudah jelas. Selanjutnya, tinggal memikirkan rangkaian acara apa saja yang dapat mewujudkan tujuan itu. Apa-apa yang melenceng dari tujuan harus dihapuskan.

Saya sendiri jelas berpihak pada kubu pro ospek. Dengan catatan, tujuan soal pengenalan kampus benar-benar tertanam di kepala setiap panitia yang bertanggung jawab. Tidak ada tujuan lain lagi seperti mencari validasi, memberi makan ego pribadi, dan memperkokoh posisinya sendiri.

Sialnya, praktik perpeloncoan yang bermula dari anggapan senior lebih berdaya dan punya hak apapun atas mahasiswa baru masih terjadi sampai sekarang. Salah satu alasan yang paling sering saya dengar adalah mereka melakukan hal itu--bersikap keras, entah fisik atau verbal--demi memperkuat mental peserta ospek. Sementara itu, dari kubu kontra, lebih sepakat kalau alasan yang sebenarnya adalah mereka ingin balas dendam dan hanya melanjutkan budaya yang ada.

Tentu saja penting untuk menegakkan kedisiplinan. Dan sudah sewajarnya konsekuensi diberikan kepada siapapun yang melanggar aturan yang sudah disepakati sejak awal. Tapi apakah harus dengan marah-marah? Apakah harus dihukum dengan meminum air ludah? Apakah harus disiksa hingga meregang nyawa?

Sudah terlalu banyak kasus serupa dan akan terus terjadi jika tidak ada yang diubah. Bahkan membentak-bentak dengan dalih melatih mental saja rasanya kurang tepat menurut saya. Bukannya sadar, malah akan menimbulkan dendam. Alangkah baiknya jika peraturan soal hukum sudah dituliskan sejak awal. Misal, tidak memakai atribut yang ditentukan hukumannya menulis esai 2393717 kata dalam sehari. Ya, sudah. Tak perlu marah-marah, tunjukkan buku aturan dan biarkan dia merenungkan kesalahannya.

Saya juga sempat bertemu dengan pelaksanaan ospek yang memberi ruang pada tim kedisiplinan untuk membentak-bentak. Respons saya? Biasa saja. Saya tahu mereka sedang bersandiwara demi menjalankan tugasnya. Sekeras dan semenyakitkan apapun kata yang mereka ucapkan, cukup saya masukkan telinga kanan dan membiarkannya keluat dari telinga kiri. Saya cukup pandai mengabaikan omongan orang.

Tapi, itu saya. Bisa jadi ada orang lain yang begitu memikirkan perkataan orang lain dan merusak kewarasannya. Tentu tim kedisiplinan tidak ingin mencari tahu dulu. Semua dipukul rata punya kekuatan mental yang sama. Pasti kalimat sebelumnya akan dibalas dengan, 'Justru itu kami ingin melatih mental mereka!' Ya, ya, ya, terserah.

Beberapa teman dari instagram memberikan jawaban: boleh marah, dengan catatan ada alasan yang masuk asal dan secukupnya. Setuju sekali.  Tapi, respons alami saya, dan mungkin sepersekian persen dari total populasi manusia, sebab tidak ada manusia yang spesial, ketika dimarahi akan balas marah, apalagi dengan alasan yang mengada-ada, meskipun hanya menyimpannya sendiri. Dan jika tujuannya mungkin ingin mencari hormat, tentulah salah dan mungkin perlu saya ingatkan soal kata-kata pasaran seperti: Respect is earned not given.

Dalam salah satu kelas yang saya ikuti juga menjelaskan bahwa mengeraskan suara ketika berbicara jadi salah satu tanda bahwa argumen yang ia usung lemah. Penekanan ia berikan lewat keras dan pengulangan kalimat. 

Hati lemah saya akan lebih mudah luluh dan nurut ketika diberi tahu baik-baik soal kesalahan yang telah saya lakukan. Jadi, tidak perlu bikin tenggorokan kering dengan marah-marah demi memuaskan ego pribadi.Tegas boleh, tapi tidak harus berteriak-teriak dan merendahkan orang di hadapan banyak orang lainnya.

Selain itu, cobalah membentuk rangkaian acara yang berhubungan dengan bidang perkuliahan yang akan dihadapi. Misal, di jurusan hukum, undanglah praktisi terkait atau bikin permainan yang melibatkan pasal-pasal penting. Di jurusan saya sendiri, Ilmu Komunikasi Unair, kebanyakan acara adalah pengembangan materi-materi yang akan dipelajari di kelas tapi dikemas dengan cara yang semenyenangkan mungkin. Misal, kemampuan wawancara, dimasukkan dalam tugas untuk PDKTing dengan kating-kating, dan lain-lain.

Akan lebih menyenangkan lagi jika semua dikemas dengan permainan berkelompok untuk membentuk ikatan dari orang-orang baru. Saya berani menjamin jika ditanya apa ingin diospek lagi, teman-teman jurusan saya akan bersedia. Karena memang main-main saja. Justru iru yang membuat kami merasa dirangkul dan dihargai.

Bahkan, ada pula mereka-mereka yang beranggapan bahwa ospek--bagaimanapun penyelenggarannya--tidaklah penting. Ada cerita-cerita yang berseliweran di linimasa twitter yang menerangkan bahwa tidak ikut ospek tidak berpengaruh apapun pada keberlangsungan kuliah dan karir kedepannya. Semua tergantung pada masing-masing orang.

Entah apa yang bisa diambil dari saran-saran yang saya sampaikan di atas. Tapi, jika ada kasus-kasus lagi seperti depresi atau meninggal karena rangkaian ospek, saya lebih setuju ospek ditiadakan saja. Satu nyawa sudah terlalu banyak hanya demi memberi sarana bagi oknum untuk mencari validasi dan memberi makan ego sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Move On / Let Go

Semua yang hidup akan mati. Semua yang datang akan pergi. Semua yang gagal salah Jokowi.  Move on adalah fase. Ia tak melulu berkaitan dengan proses pemulihan dari pasangan sebelumnya. Ia juga berkaitan dengan perdamaian dengan masa lalu dan kemungkinan di masa depan.  Move on adalah masa perpindahan. Penyesuaian dari satu kondisi satu dengan kondisi lainnya. Kondisi itu bisa berarti orang maupun tempat yang pernah punya keterikatan. Bisa pasangan, orang tua, kantor, rumah, dan hal-hal yang pernah jadi rutinitas. Maka, perpindahan perlu persiapan yang baik agar tidak terbebani selama di perjalanan. Dan beginilah saya menyikapi perpindahan: Tidak semuanya harus sesuai maumu Waktu kecil, saya bercita-cita ingin menjadi power rangers merah dan menjalani hari-hari dengan membasi kejahatan di bumi. Tapi, kenyataanya tidak bisa. Ada banyak hal yang menghalangi keinginan saya terwujud, salah satunya adalah logika akal sehat. Alhasil, kemauan (dan niat mulia) itu terpaksa saya kubur dalam-da

Batas Kesenangan di Dunia Maya

Demi kebaikan bersama, untuk sementara waktu, segala bentuk aktivitas kesenangan duniawi harus dikurangi. Tidak ada lagi kuliah pagi, ngopi-ngopi, judi, atau lomba karapan sapi. Alhasil, hasrat untuk bertahan hidup di tengah pandemi seperti saat ini membawa kita ke tempat yang sama: internet. Akibat ruang gerak di dunia nyata yang dibatasi, kebanyakan dari kita pun beralih ke dunia maya. Tentu saja hal tersebut berbanding lurus dengan lama durasi mereka menggenggam gawai yang mereka punya. Saya juga jadi lebih sering menengok Instagram, Twitter, YouTube, dan ehem, TikTok. Aku suka boring goyang mama.. eh maaf.

Tiga Pilihan Presiden Indonesia, Siapa Bisa Dipercaya?

Tidak ada. Politisi semestinya tidak diberi kepercayaan utuh – sebagus apapun kinerjanya di masa lalu dan rencana-rencana yang diwacanakan untuk masa depan. Ia patut untuk terus dicurigai, dikritik, dan dituntut atas kekuasaan yang akan/telah dimilikinya. Lord Acton, guru besar Universitas Cambridge, pernah bilang: power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely . Kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut cenderung akan korup secara absolut. Kabar baiknya, rakyat punya hak untuk terus mengawasi kekuasaan yang telah dimandatkan pada penguasa. Hal itu dijamin undang-undang. Tapi, hal itu tidak akan terjadi jika penguasa tidak memberi ruang untuk dikritik tuannya dan melihat segala bentuk kritik sebagai ancaman atas kekuasaannya. Seorang teman pernah bilang kalau saja saya tahu orang-orang di balik ketiga pasangan dari capres dan cawapres yang tersedia ditambah lagi rekam jejak yang menyertai mereka, saya pasti takut dan enggan untuk memihak ketiga