Langsung ke konten utama

Pelankan



Tidak. Tulisan ini tidak berasal dari mereka yang sudah bersepeda sejak lama, bukan juga dari orang yang telah mengikuti beragam perlombaan dan punya kaos ketat yang penuh dengan sponsor, atau pesepeda dengan rakitan yang jika ditotal bisa digunakan untuk membeli kopi. Beserta kedai dan menghidupi baristanya. Maaf mengecewakan, tapi tidak.

Tulisan ini muncul dari orang antah berantah yang baru kembali bersepeda seminggu belakangan. Itupun cuman dua kali dan tidak jauh-jauh amat. Namun, bedanya, dia bisa menulis dan menjelaskan mengenai pemahaman-pemahanan baru yang dia dapatkan sambil terengah-engah mengayuh sepeda.

Tak ada alasan pasti kenapa ia kembali mengeluarkan sepeda usangnya dari gudang. Terakhir kali ia memakainya sewaktu masih SMP, lalu ketika mulai diizinkan membawa motor saat SMA, ia mengistiratkan benda itu. Tapi, ketika direspon salah seorang teman melalui Instaram, ia bilang: Biar deg-degannya nggak cuman gara-gara kepepet deadline. Lucu sekali memang orang satu ini.

Kurang lebih 5 tahun sudah pantatnya tidak menduduki sadel sepeda. Alhasil, di percobaan pertama setelah sepeda itu sedikit diperbaiki, pantatnya seolah kesakitan. Namun, lama-lama, ia mulai terbiasa dan keenakaan. Sebentar, terdengar aneh dan jijik sekali, ya. Tapi begitulah kenyataannya. 

Fakta pertama yang ia sadari saat bersepeda adalah ia sedang mengendarai mesin waktu. Ia merasa waktu berjalan lebih lambat dari biasanya. Jika biasanya dengan sekali tarikan gas ia bisa melaju puluhan meter, namun dengan sepeda, ia perlu puluhan kayuh dan beberapa kali mengumpat hanya untuk melaju belasan meter. 

Meski begitu, ia justru senang. Ia menyadari sesuatu lain. Bahwa ada banyak hal yang setiap hari ia lewatkan dengan melaju kencang. Dengan ambatnya sepeda, ia tahu ada kios-kios baru di jalan dekat rumahnya, mural-mural aneh, dan hal-hal lain yang sebelumnya terlewatkan begitu saja. Hal itu membuatnya berpikir: jangan-jangan dalam hidupnya ia berjalan terlalu cepat sehingga melewatkan kesempatan-kesempatan baru di kanan-kiri perjalanan yang ia tempuh?

Mantap sekali tukang pijat Aristoteles ini.

Dengan ketidakburu-buruan, ia juga punya waktu untuk mengambil jalan yang sebelumnya tidak ia ketahui mana ujungnya. Ada kemungkinan dan ketidakpastian yang membuatnya terus mengayuh. Meskipun ia sadar betul, jika ia tersesat itu akan memperbanyak umpatan yang keluar dari mulutnya. Anjing ini di mana, sempat beberapa kali diucapkan. Lalu dialnjut, oh ternyata tembus sini. Kemudian ditutup dengan makian lagi karena ternyata tembusannya justru membuat jarak pulang semakin jauh.

Pertaruhan dengan ketidakpastian seperti itu justru membuat sesuatu semakin menarik. Paling tidak, hal itu membuatnya paham kalau setiap tikungan yang ia pilih bisa mengarah ke mana saja. Tidak ada jalan yang benar-benar buntu. Kecuali memang sedang ada hajatan warga saja.

Sudah waktunya untuk kembali memikirkan bahwa apa kecepatan untuk mencapai tujuan adalah segalanya? Buat apa cepat-cepat kalau banyak yang terlewat?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Move On / Let Go

Semua yang hidup akan mati. Semua yang datang akan pergi. Semua yang gagal salah Jokowi.  Move on adalah fase. Ia tak melulu berkaitan dengan proses pemulihan dari pasangan sebelumnya. Ia juga berkaitan dengan perdamaian dengan masa lalu dan kemungkinan di masa depan.  Move on adalah masa perpindahan. Penyesuaian dari satu kondisi satu dengan kondisi lainnya. Kondisi itu bisa berarti orang maupun tempat yang pernah punya keterikatan. Bisa pasangan, orang tua, kantor, rumah, dan hal-hal yang pernah jadi rutinitas. Maka, perpindahan perlu persiapan yang baik agar tidak terbebani selama di perjalanan. Dan beginilah saya menyikapi perpindahan: Tidak semuanya harus sesuai maumu Waktu kecil, saya bercita-cita ingin menjadi power rangers merah dan menjalani hari-hari dengan membasi kejahatan di bumi. Tapi, kenyataanya tidak bisa. Ada banyak hal yang menghalangi keinginan saya terwujud, salah satunya adalah logika akal sehat. Alhasil, kemauan (dan niat mulia) itu terpaksa saya kubur dalam-da

Kenapa Harus Panjang Umur?

Lucile Randon--perempuan asal Prancis--merupakan manusia tertua di dunia yang masih hidup per April 2022, semenjak meninggalkan Kane Tanaka. Lucile saat ini berumur 118 tahun dan tampaknya akan terus mempertahankan gelar manusia tertua yang masih hidup—satu bulan menjelang ulang tahun yang ke-117, ia sempat terinveksi virus Covid-19, namun nyatanya hal itu tak mampu menghentikan waktu Lucile. Luar biasa. Saya tidak mengenal secara personal Lucile tapi saya bisa membayangkan betapa kesalnya dia jika lirik 'Panjang umurnya, panjang umurnya serta mulia'--tentu dalam bahasa Prancis--dinyanyikan saat ulang tahunnya. Paling tidak, itulah yang saya rasakan jika saya akan bernasib sama sepertinya. Umur harapan hidup Indonesia, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) hanya 71,85 pada tahun 2022. Artinya, rata-rata kita akan hidup selama 71 tahun—itupun jika tidak meninggal ditabrak odong-odong. Sekarang, bayangkan jika kamu hidup sehat, jauh dari celaka, dan dilindungi doa orang tua, hingga

Batas Kesenangan di Dunia Maya

Demi kebaikan bersama, untuk sementara waktu, segala bentuk aktivitas kesenangan duniawi harus dikurangi. Tidak ada lagi kuliah pagi, ngopi-ngopi, judi, atau lomba karapan sapi. Alhasil, hasrat untuk bertahan hidup di tengah pandemi seperti saat ini membawa kita ke tempat yang sama: internet. Akibat ruang gerak di dunia nyata yang dibatasi, kebanyakan dari kita pun beralih ke dunia maya. Tentu saja hal tersebut berbanding lurus dengan lama durasi mereka menggenggam gawai yang mereka punya. Saya juga jadi lebih sering menengok Instagram, Twitter, YouTube, dan ehem, TikTok. Aku suka boring goyang mama.. eh maaf.