Langsung ke konten utama

Urusanmu, Urusanmu



Saya berniat mengajukan permohohan pada negara untuk memperpanjang waktu dalam sehari, sebab dua pulu empat jam rasanya terlalu cepat untuk mengikuti perkembangan duniawi. Instastory teman sekaligus mantan, kabar simpang siur aungan dajal di Aceh, serta rumah tangga penyanyi yang tak saya kenal secara pribadi. Mereka terlalu penting untuk dilewatkan begitu saja. Saya bisa jadi bahan cemoohan jika tak sanggup mengobrol soal stok saham atau clubhouse.

Orang-orang juga perlu tahu apa yang sedang atau akan saya kerjakan. Makan sate taichan dengan pacar, langit muram depan rumah, atau kucing yang tak sengaja saya jumpai dekat tempat kerja. Mereka, pengikut di dunia maya, tak boleh ketinggalan setiap momen paling penting dalam sejarah umat manusia. Saya harus tetap memberi mereka kabar secara berkala.

Saya sempat punya pikiran seperti dua paragraf di atas, bahkan menerapkannya. Hasilnya? Tidak lain dan tidak bukan, mudah gelisah dan khawatir akan ketertinggalan informasi. Mungkin setiap kita pernah mengalaminya dan rasanya tidak ada yang menyangkal bahwa kebiasaan seperti itu cukup menguras energi dan mental.

Secara ilmiah, atau setidaknya dari bacaan yang saya peroleh, fenomena tersebut mempunyai nama beken FOMO atau fear of missing out. Suatu kondisi dimana kita merasa gelisah dan takut ketinggalan sesuatu. Apapun yang terjadi aku harus tahu. Aku harus paham. Begitulah kira-kira cara pandangnya.

Bermula dari FOMO pula umumnya sifat iri dengki tumbuh berkembang. Terlebih sejak hadirnya media sosial. Kita jadi lebih sering membanding-bandingkan diri dengan pencapaian orang lain dan selalu merasa tertinggal.

Sampai di sini, seharusnya kita sepakat bahwa FOMO membawa lebih banyak masalah ketimbang solusi. Oleh karena itu, beberapa kali saya berupaya untuk menghentikan kebiasaan buruk itu dan mencoba tak acuh terhadap segala aktivitas teman di media sosial. Akun media sosial pribadi saya bikin temporary disable.

Untuk beberapa hari, hidup rasanya lebih tenang, renggang. Saya tidak tahu ke mana teman saya, apa ada yang ulang tahun, dan seterusnya. Mungkin memang sebaiknya begitu seterusnya. Sesekali rasanya kita perlu tak acuh pada hal-hal di luar kewajiban diri. Tidak semua urusan perlu kita ikuti. Tidak semua orang perlu tahu kegiatan kita. Cukup jawab apa yang ditanyakan.

Sayangnya, saya tidak bisa kabur lama-lama dari sosial media. Paling lama, mungkin, hanya semingguan. Sebab, pekerjaan saya memang mengharuskan untuk selalu tahu soal hal-hal yang sedang tren. Tapi, bersikap tak acuh juga sedikit banyak membantu diri untuk lebih fokus dengan urusan diri sendiri. Urusan orang lain ya biar saja. Urusanmu, urusanmu.

Sekali lagi, tidak semua urusan perlu kita ikuti. Tidak semua orang perlu tahu kegiatan kita.

Eh, bagaimana dengan personal branding?

Lain kali saja. Saya ngantuk.

Komentar

  1. Hahahaha dalam hatinya lagi agak kesal ya mas? Sama sih saya juga. Ini baru soal dunia teman-teman di ranah sosial media, belum lagi kalau kelompok cewek dikantor suka gibahin kehidupan artis, duh makin kepalang aku tuh. Mana IG ku enggak pernah ada tuh follow artis-artis indonesia yang lagi viral saat ini. Bikin nambah pikiran doang huhu

    Tapi kalo waktu dalam sehari ditambahin hitungan jam nya, kayaknya akan saya pakai buat waktu tidur supaya jam istirahat tambah lama. Memang tidak perlu takut untuk ketinggalan update an teman-teman sosial media, toh mereka juga asyik mempublikasikan dirinya untuk kesenangan dirinya sendiri, bukan untuk info bagi orang lain atau bagi penikmat seperti kita :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tidurlah Anji, Selamat Malam

Photo by Bastien Jaillot on Unsplash Ketika teman-teman ramai mengobrol soal pelbagai macam strategi untuk mengalahkan musuh di game online, diam adalah opsi terbaik yang saya punya. Saya tak mau merusuh dan memang tak begitu tahu akan istilah-istilah asing semacam skin, ranked, dan sejenisnya. Bisa dibilang, level pengetahuan saya cukup memprihatinkan. Tapi, ketika topik pembicaraan beralih ke dunia film, mulut saya akan selalu terbuka untuk meladeni setiap cabang bahasannya. Meski tidak paham betul, setidaknya saya punya cukup bekal jika ditanyai tentang istilah seperti plot hole, spin-off, easter eggs, overshadow, dan lain-lain. Di sisi lain, teman-teman saya yang cenderung lebih senang bermain game akan lebih sering jadi pendengar, ketimbang pembicara. Sama halnya ketika saya diajak berdiskusi soal Dota atau PUBG.

Tiga Pilihan Presiden Indonesia, Siapa Bisa Dipercaya?

Tidak ada. Politisi semestinya tidak diberi kepercayaan utuh – sebagus apapun kinerjanya di masa lalu dan rencana-rencana yang diwacanakan untuk masa depan. Ia patut untuk terus dicurigai, dikritik, dan dituntut atas kekuasaan yang akan/telah dimilikinya. Lord Acton, guru besar Universitas Cambridge, pernah bilang: power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely . Kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut cenderung akan korup secara absolut. Kabar baiknya, rakyat punya hak untuk terus mengawasi kekuasaan yang telah dimandatkan pada penguasa. Hal itu dijamin undang-undang. Tapi, hal itu tidak akan terjadi jika penguasa tidak memberi ruang untuk dikritik tuannya dan melihat segala bentuk kritik sebagai ancaman atas kekuasaannya. Seorang teman pernah bilang kalau saja saya tahu orang-orang di balik ketiga pasangan dari capres dan cawapres yang tersedia ditambah lagi rekam jejak yang menyertai mereka, saya pasti takut dan enggan untuk memihak ketiga

Hal-hal Pernah dan Mungkin akan Terjadi

Suatu siang saya mengobrol dengan seorang teman. Kemudian terlintas pertanyaan, oh tidak, saya sudah mempersiapkannya sebagai opsi darurat apabila kami kehabisan topik pembicaraan. Saya bertanya: Apa kekuatan yang pengen kamu punya dan kenapa? Dia menjawab, "Kamu nanya? Iya? Aku kasih tahu, ya.." Dia jawab teleportasi. Perpindahan super cepat dari satu tempat ke tempat lain--menembus ruang dan waktu. Rasanya, dia menyukai ide bahwa dia bisa pergi ke mana saja, kapan saja, dan tidak perlu berurusan dengan kemacetan, orang-orang tak sabaran, dan perempatan Gedangan. Sementara itu, saya menjawab pertanyaan yang sama dengan berharap memiliki kekuatan untuk mampu mengontrol pikiran diri sendiri. Bukan, bukan seperti Profesor Xaxier dalam semesta X-Men yang mampu membaca pikiran dan memanipulasi orang lain. Saya hanya ingin mengontrol pikiran diri sendiri. Terdengar tolol dan egois memang. Tapi jika dipikir-pikir lagi, semua hal yang telah, sedang, dan mungkin akan saya lakukan ber