Langsung ke konten utama

Review Pengabdi Setan 2: Communion

Tidak banyak sekuel yang mampu menyamai bahkan melampui kualitas installment pendahulunya. Umumnya, sekuel dibuat dengan intensi memeras keuntungan sebanyak-banyaknya dengan memanfaatkan sisa-sisa kepercayaan penonton dari seri pertamanya, namun masa bodo soal pengembangan karakter dan ceritanya. Tapi, Joko Anwar jelas bukan sutradara yang menuhankan uang semata lantas melupakan kekuatan cerita. Maka, hadirlah Pengabdi Setan 2: Communion sebagai contoh bagaimana sekuel harus dibikin--lebih serius, kaya, dan gila.

Saya bukan penggemar berat film horor, baik dalam maupun luar negeri, yang melibatkan setan-setan sebagai sumber ketakukan. Tapi, untuk beberapa kasus, saya tertarik menonton film horor karena siapa penulis atau sutradaranya--sekaligus rekomendasi film horor dari mereka. Dan nama Joko Anwar bersanding dengan Ari Aster, Mike Flanagan, dan Jordan Peele yang mana jika mereka bikin film horor, maka tolol hukumnya kalau dilewatkan begitu saja.

Pengabdi Setan (2017) jadi salah satu film horor paling membekas. Lonceng yang sebelumnya sekadar alat bunyi-bunyian diubah menjadi barang yang mengerikan untuk didengar. Film Pengabdi Setan (2017)--selanjutnya disingkat PS--adalah bukti bahwa alih-alih menggempur penonton dengan jumpscare tanpa henti, scoring berisik, dan pemeran wanita yang sibuk memamerkan tete, film horor bisa jadi begitu mengerikan dengan menguatkan cerita, plot, karakter, dan hal-hal teknis lainnya. Joko Anwar tahu betul hal itu.

Jika punya rencana untuk menonton Pengabdi Setan 2: Communion, sebaiknya tontonlah dulu seri pertamanya. Banyak referensi kejadian yang diungkit kembali dan setidaknya kamu memahami apa masalah utama dari masing-masing karakter. Hal ini jelas mempengaruhi kepuasan dan kejelasan saat menonton sekuelnya.

Pengabdi Setan 2: Communion menghadirkan beberapa karakter baru, sebab adanya perbedaan latar tempat. Sebelumnya, PS mengambil latar rumah tua di pedesaan, sedangkan PS 2 menjadikan rusun belasan lantai sebagai arena laknat di mana semua teror terjadi. Oleh sebab itu, ada beberapa karakter baru yang dikenalkan (dengan jenaka) di belasan menit pertama. Ada banyak titik tawa pada saat itu. Sejenak penonton dibuat lupa bahwa film ini film horor yang akan mengacak-acak psikis mereka.

Selain mengenalkan karakter-karakter baru, ada pula beragam shot yang mungkin membuat penonton bertanya, 'Kenapa harus mengambil gambar benda/tempat/situasi/ ini secara spesifik?' Tapi, pertanyaan itu akan dijawab dalam setengah durasi ke belakang yang penuh dengan kejutan yang menyenangkan. Seolah tidak ada shot yang sia-sia--shot yang diambil dengan pertimbangan visual semata--semuanya punya makna dan andil dalam laju cerita berikutnya. Rispek untuk Ical Tanjung yang konsisten menyuguhkan gambar-gambar yang memanjakan sekaligus 'mengagetkan' mata.

Tidak hanya menaruh perhatian pada gambar, Pengabdi Setan 2: Communion juga berusaha 'mengusik' ketenangan jiwa dan raga melalui scoring dan soundtrack yang menyertai setiap kejadian sepanjang durasi. Terlebih, saya berkesempatan menonton film ini di IMAX--yang mana kualitas layar dan suaranya begitu gila dan mampu melipatkangandakan sensasi yang coba diberikan. Rasanya selalu ada yang tidak beres dan sesuatu yang buruk akan terjadi, tapi penonton tak tahu pasti apa dan kapan.

Bagian lain yang perlu diapresiasi adalah CGI dan tata rias/busana. Meski pada beberapa bagian CGI masih terasa, tapi dapat dimaklumi karena bisa dibilang tepat guna untuk meyakinkan penonton terkait peristiwa sekaligus memperkuat pesan yang coba disampaikan. Dan tata rias/busana. Setiap orang dan setannya (terutama setan) mendapat perlakukan yang luar biasa. Cukup membekas di kepala. Semuanya dipadukan hingga memberi kesan mengenai keseriusan dalam membuat film ini.

Ada pula beberapa bagian yang sangat gila. Ya, gila. Sebab saya pribadi tidak pernah melihat atau mendengar penceritaan tersebut. Stigma-stigma klise film horor dipatahkan begitu saja hingga membuat saya dan mungkin sebagain besar penonton lain bereaksi, "Apa-apaan itu tadi?!" Sesuatu yang bisa jadi tidak pernah terjadi di film horor lokal.

Meski begitu, Pengabdi Setan 2: Communion tak luput dari celah. Setidaknya menurut saya. Selain terkait CGI, saya merasa ada beberapa karakter yang dalam adegan tertentu tidak memiliki motivasi yang cukup kuat untuk melatarbelakangi pengambilan keputusannya. Maksud saya, kenapa mereka melakukan hal yang tidak cukup penting/urgen untuk dilakukan?

Lalu, meski saya puas dengan bagaimana akhir cerita, tapi transisi menuju akhir cerita tersebut terkesan buru-buru dan meninggalkan rasa, 'Oh ini sudah masuk ke final act, ya?'. Entah sengaja dibuat seperti itu agar penonton tak punya waktu untuk bernapas, saya tidak tahu.

Pengabdi Setan 2: Communion jelas bukan akhir dari teror kepada keluarga Rini. Sebab, walau telah menjawab pertanyaan-pertanyaan di PS, justru film ini menambah pertanyaan-pertanyaan baru yang lebih kompleks terhadap keberlangsungan cerita. Dan saya tidak sabar menunggu bagaimana Joko Anwar menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di film selanjutnya.

Oh ya, saran saya, tonton Pengabdi Setan 2: Communion di IMAX. Pengalaman menonton terbaik saya sejauh ini.

*Awalnya mau gambar ilustrasi pocong sujud, tapi pas nulis ini tiba-tiba lampu mati, jadi nanti dulu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Move On / Let Go

Semua yang hidup akan mati. Semua yang datang akan pergi. Semua yang gagal salah Jokowi.  Move on adalah fase. Ia tak melulu berkaitan dengan proses pemulihan dari pasangan sebelumnya. Ia juga berkaitan dengan perdamaian dengan masa lalu dan kemungkinan di masa depan.  Move on adalah masa perpindahan. Penyesuaian dari satu kondisi satu dengan kondisi lainnya. Kondisi itu bisa berarti orang maupun tempat yang pernah punya keterikatan. Bisa pasangan, orang tua, kantor, rumah, dan hal-hal yang pernah jadi rutinitas. Maka, perpindahan perlu persiapan yang baik agar tidak terbebani selama di perjalanan. Dan beginilah saya menyikapi perpindahan: Tidak semuanya harus sesuai maumu Waktu kecil, saya bercita-cita ingin menjadi power rangers merah dan menjalani hari-hari dengan membasi kejahatan di bumi. Tapi, kenyataanya tidak bisa. Ada banyak hal yang menghalangi keinginan saya terwujud, salah satunya adalah logika akal sehat. Alhasil, kemauan (dan niat mulia) itu terpaksa saya kubur dalam-da

Batas Kesenangan di Dunia Maya

Demi kebaikan bersama, untuk sementara waktu, segala bentuk aktivitas kesenangan duniawi harus dikurangi. Tidak ada lagi kuliah pagi, ngopi-ngopi, judi, atau lomba karapan sapi. Alhasil, hasrat untuk bertahan hidup di tengah pandemi seperti saat ini membawa kita ke tempat yang sama: internet. Akibat ruang gerak di dunia nyata yang dibatasi, kebanyakan dari kita pun beralih ke dunia maya. Tentu saja hal tersebut berbanding lurus dengan lama durasi mereka menggenggam gawai yang mereka punya. Saya juga jadi lebih sering menengok Instagram, Twitter, YouTube, dan ehem, TikTok. Aku suka boring goyang mama.. eh maaf.

Tiga Pilihan Presiden Indonesia, Siapa Bisa Dipercaya?

Tidak ada. Politisi semestinya tidak diberi kepercayaan utuh – sebagus apapun kinerjanya di masa lalu dan rencana-rencana yang diwacanakan untuk masa depan. Ia patut untuk terus dicurigai, dikritik, dan dituntut atas kekuasaan yang akan/telah dimilikinya. Lord Acton, guru besar Universitas Cambridge, pernah bilang: power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely . Kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut cenderung akan korup secara absolut. Kabar baiknya, rakyat punya hak untuk terus mengawasi kekuasaan yang telah dimandatkan pada penguasa. Hal itu dijamin undang-undang. Tapi, hal itu tidak akan terjadi jika penguasa tidak memberi ruang untuk dikritik tuannya dan melihat segala bentuk kritik sebagai ancaman atas kekuasaannya. Seorang teman pernah bilang kalau saja saya tahu orang-orang di balik ketiga pasangan dari capres dan cawapres yang tersedia ditambah lagi rekam jejak yang menyertai mereka, saya pasti takut dan enggan untuk memihak ketiga