Langsung ke konten utama

Puncak Komedi Negara Demokrasi

 


Kita harus berterima kasih pada negara ini. Sebab, dalam segala carut marut masalah yang kita alami setiap hari, negara seolah tak pernah kehabisan cara untuk menghibur warganya dengan pelbagai fenomena jenaka. Mungkin selera humor saya yang terlalu rendah, tapi bohong kalau saya bilang saya diam saja ketika mendengar Juliari, iya Juliari yang korupsi dana bansos Rp32,48 miliar itu, meminta majelis hakim untuk membebaskan dirinya dari segala dakwaan.

Saya hampir mati ketawa ketika pertama kali mengetahui kabar tersebut.

Setahu saya, dalam seni stand-up comedy, komika mempunyai rumus sederhana yang cukup ampuh untuk memicu gelak tawa penonton. Ia akan menyampaikan suatu premis, umumnya adalah keresahan yang berisi hal-hal memuakkan, kemudian mengisinya dengan cerita-cerita untuk mengiring opini penonton agar mencapai suatu titik tertentu. 

Namun, ketika sudah dekat pada titik tersebut, komika mematahkan ekspektasi penonton dengan memberikan punchline yang tidak pernah dikira penonton sebelumnya. Terkadang patahan yang digunakan adalah sesuatu yang absurd, sesuatu yang ketika dicerna oleh logika justru memancing tawa.

Balik lagi ke Juliari. Ia adalah contoh nyata bagaimana formula stand-up comedy bekerja. Bayangkan, ada orang korupsi dana bansos Rp32,48 miliar saat pandemi--saat orang-orang berjuang mati-matian untuk bertahan hidup, kemudian ia tertangkap KPK. Itu premisnya. 

Otak orang waras manapun pasti langsung akan berasosiasi bahwa Juliari akan dihukum mati atau setidaknya penjara seumur hidup. Namun, tanpa disangka-sangka, setelah menjalani sidang dan dikabarkan akan mendapat hukuman 11 tahun penjara, kita dikejutkan oleh  Juliari yang ingin dibebaskan dari segala dakwaan. What a punchline!

Pertunjukkan berlanjut saat warganet mengetahui hal itu. Ajaibnya, untuk satu hal ini, rupanya kebanyakan warganet memiliki satu pikiran yang sama yaitu Juliari kontol. Buktinya, frasa tersebut sempat trending di Twitter selama beberapa hari. Saya baca beberapa twit dan kagum. Sungguh indahnya kebersamaan dan persatuan jika kita bisa menjaganya.

Lingkaran korupsi selalu memunculkan fenomena-fenomena di luar akal sehat, terutama ketika menyangkut Komisi Pelanggenggan, maaf, maksud saya Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) yang makin jenaka sejak munculnya kasus Tes Wawasan Kebangsaan yang berhasil mendepak 75 pegawai karena tidak cukup berkebangsaan.

Baru-baru ini, KPK jadi sangat kreatif dengan mengajukan sebutan baru bagi koruptor yaitu penyintas korupsi. Kadang saya bingung bagaimana mereka bisa memunculkan punchline seperti itu. Selalu ajaib dan di luar nalar. Saya harus banyak berguru pada KPK soal mengolah kata.

Penyintas, menurut KBBI, memiliki makna sebagai orang yang mampu bertahan hidup. Seseorang yang mampu mengatasi suatu masalah yang mungkin mengancam nyawa dan selamat maka ia bisa dibilang penyintas. Sebelum KPK menggunakannya, di benak saya, penyintas berkaitan dengan korban pelecehan seksual yang berani bersuara untuk mengakhiri deritanya atau teman-teman yang sanggup keluar dari pasangan atau keluarga yang toxic. Penyintas adalah korban yang selamat. Dan rasanya koruptor tidak pantas disebut korban atas kebangsatannya sendiri.

Tapi, kembali lagi, kita tinggal di negara yang memiliki hubungan erat dengan komedi. Selalu ada patahan yang siap mengundang tawa. Bahkan, saking dominan dan totalitasnya, negara tidak mau disaingi oleh mural-mural satir di pinggir jalan karena takut kalah lucu. Semangat yang luar biasa.

Tidak ada ruang bagi seniman untuk melawak di tembok-tembok bawah jembatan, pinggir jalan, atau pagar rumah sendiri. Telebih mengusung petinggi negeri sebagai bahan olok-olokan. Oh, jangan! Komedi mutlak milik negara, rakyat bagian tertawa saja, tak perlu repot-repot berpendapat dengan data-data tak penting. Toh nyawa hanya sekadar angka dalam statistik.

Bicara soal statistik, sejak pandemi melanda pada maret 2020 hingga sekarang, Indonesia dengan kreatif telah menerapkan pelbagai sebutan dan level hampir di setiap bulannya. Selandia Baru jelas ketar-ketir akan hal itu. 

Lalu, masalah vaksin. Di saat sebagian besar warga negara di luar pulau Jawa, bahkan beberapa lapisan masyarakat tertentu di pulau Jawa, masih berjuang untuk mendapat dosis pertama, sejumlah pejabat mengaku telah mendapat booster vaksin. Luar biasa! Memenuhi definisi wakil rakyat yang sebenarnya. Mulia sekali.

Sekian banyak pertunjukkan yang dipamerkan petinggi negara, rakyat seolah menahan diri untuk bersuara. Beragam bercandaan yang sebagian besar berangkat dari fakta justru tak pernah selesai disampaikan lantas diakhiri dengan guyonan pedagang bakso. 

Fenomena orang takut berpendapat di negara yang mengaku menjunjung tinggi demokrasi ini juga lucu. Selucu seremonial bantuan Rp2 miliar yang ternyata fiktif belaka. Kok bisa gitulo. Tapi menilik kembali bahwa Indonesia adalah negara dengan beragam keajaiban dunia yang terdaftar di UNESCO, seharusnya saya tidak kaget.

Tidak menutup kemungkinan bahwa drama komedi negeri ini akan berlanjut. Tahun ini mungkin masih belum puncaknya. Kita mungkin belum melihat punchline utamanya. Saya berdoa agar diberi umur panjang agar dapat menyaksikannya sampai selesai. Dan semoga berakhir bahagia.

Komentar

  1. Jika diibaratkan nonton sirkus, harga tiketnya itu mahal banget sih. Untung aja lucu

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hal-hal Pernah dan Mungkin akan Terjadi

Suatu siang saya mengobrol dengan seorang teman. Kemudian terlintas pertanyaan, oh tidak, saya sudah mempersiapkannya sebagai opsi darurat apabila kami kehabisan topik pembicaraan. Saya bertanya: Apa kekuatan yang pengen kamu punya dan kenapa? Dia menjawab, "Kamu nanya? Iya? Aku kasih tahu, ya.." Dia jawab teleportasi. Perpindahan super cepat dari satu tempat ke tempat lain--menembus ruang dan waktu. Rasanya, dia menyukai ide bahwa dia bisa pergi ke mana saja, kapan saja, dan tidak perlu berurusan dengan kemacetan, orang-orang tak sabaran, dan perempatan Gedangan. Sementara itu, saya menjawab pertanyaan yang sama dengan berharap memiliki kekuatan untuk mampu mengontrol pikiran diri sendiri. Bukan, bukan seperti Profesor Xaxier dalam semesta X-Men yang mampu membaca pikiran dan memanipulasi orang lain. Saya hanya ingin mengontrol pikiran diri sendiri. Terdengar tolol dan egois memang. Tapi jika dipikir-pikir lagi, semua hal yang telah, sedang, dan mungkin akan saya lakukan ber

Tidurlah Anji, Selamat Malam

Photo by Bastien Jaillot on Unsplash Ketika teman-teman ramai mengobrol soal pelbagai macam strategi untuk mengalahkan musuh di game online, diam adalah opsi terbaik yang saya punya. Saya tak mau merusuh dan memang tak begitu tahu akan istilah-istilah asing semacam skin, ranked, dan sejenisnya. Bisa dibilang, level pengetahuan saya cukup memprihatinkan. Tapi, ketika topik pembicaraan beralih ke dunia film, mulut saya akan selalu terbuka untuk meladeni setiap cabang bahasannya. Meski tidak paham betul, setidaknya saya punya cukup bekal jika ditanyai tentang istilah seperti plot hole, spin-off, easter eggs, overshadow, dan lain-lain. Di sisi lain, teman-teman saya yang cenderung lebih senang bermain game akan lebih sering jadi pendengar, ketimbang pembicara. Sama halnya ketika saya diajak berdiskusi soal Dota atau PUBG.

Pelankan

Tidak. Tulisan ini tidak berasal dari mereka yang sudah bersepeda sejak lama, bukan juga dari orang yang telah mengikuti beragam perlombaan dan punya kaos ketat yang penuh dengan sponsor, atau pesepeda dengan rakitan yang jika ditotal bisa digunakan untuk membeli kopi. Beserta kedai dan menghidupi baristanya. Maaf mengecewakan, tapi tidak.