Langsung ke konten utama

Menikah dan Hal-hal di Baliknya

Sejak lebaran tahun ini, ibu saya jadi lebih sering melempar pertanyaan dan nasihat soal pernikahan. Mulai dari menanyakan tempat tinggal pacar--berasumsi saya sudah punya pacar saja membuktikan bahwa dia tidak benar-benar tahu anaknya, lalu jangan cari calon istri yang terlalu jauh--ini berhubungan dengan budaya mudik serta pertimbangannya terkait perayaan kekeluargaan, dan dia juga berharap memiliki mantu yang hobi masak agar bisa sesekali membantunya--kedua anaknya laki-laki dan dia cukup tahu bahwa saya dan adik hanya akan membuatnya kesal jika terlalu lama di dapur bersamanya. Semuanya nasihat itu saya balas dengan: hehehe, iya.

Tidak, saya sama sekali tidak kesal dalam menanggapi celetukan-celetukan ibu saya. Saya menilai celetukannya sebagai peringatan bahwa saya tidak lagi bocah. Ada banyak urusan dan tanggung jawab yang lebih besar dan menunggu untuk dipikirkan. Dan baginya, pernikahan adalah salah satu hal penting yang perlu dipersiapkan matang-matang. Oleh sebab itu, sejak maret tahun ini saya mulai menyisihkan gaji untuk biaya pernikahan yang calonnya saja belum tahu siapa.

Pernikahan jadi salah satu hal yang tidak bisa diputuskan dengan serampangan--seperti yang biasa saya lakukan pada hal-hal lainnya. Pertimbangan saya biasanya hanya apakah saya sanggup menerima hasilnya jika ternyata tidak sesuai rencana? Jika jawabannya iya, maka saya akan melakukannya. Setidaknya yang terkena dampak hanya saya. Lain cerita apabila ada kepentingan (dan mungkin nyawa) orang lain yang turut dipertaruhkan--pernikahan, misalnya.

Maka, jika diruntut ke belakang sebelum masuk ke pernikahan, saya melakukan banyak sekali pertimbangan bahkan sejak niat mendekati perempuan. Apa dia bisa menerima kekurangan saya? Apa saya sanggup memaklumi kekurangannya? Apa dia mampu kayang selama 33 menit dengan galon berisi pasir di atasnya? Intinya, banyak sekali pertimbangan yang ada di kepala.

Saat berniat memulai hubungan, saya selalu beranggapan bahwa bisa jadi saya akan hidup selamanya dengan dia. Apa kami bisa bertahan dengan keadaan masing-masing? Pasalnya, tahun 2021 kemarin saja terjadi 447.743 kasus perceraian. Saya melihatnya sebagai tanda bahwa menikah bukan hal yang mudah dan tidak bisa dilakukan hanya berlandaskan paras, tekanan sosial, apalagi konten-konten mesra pasangan nikah muda. Pernikahan jauh lebih sakral daripada itu.

Pernikahan adalah menyetujui orang untuk ikut campur dengan pilihan hidup. Saling mengatur dan memaklumi. Komunikasi. Ego pribadi. Semuanya perlu penyesuaian untuk mendapatkan keputusan yang baik untuk pihak yang terlibat

Jika diruntut lebih lebar lagi, menikah itu tidak hanya mengikat satu orang untuk masuk dalam hidup, tapi juga keluarganya. Apa saya bisa menerima keluarganya dan begitupun sebaliknya. Bagaimana pula menyikapi segala perjanjian, baik tertulis atau tidak, yang ada dalam ikatan pernikahan. Kompleks. Belum lagi bicara soal tempat tinggal, tabungan, biaya anak, kesehatan mental, kemampuan merawat anak, dan lain-lain. Tapi, itu semua balik lagi soal tujuan pernikahan--yang mana saya sendiri belum tahu pasti jawaban yang benar apa. 

Saya punya rencana untuk menikah hanya sekali seumur hidup dan berharap bisa menjalani pernikahan itu dengan bahagia bersama siapapun itu nantinya. Jadi, untuk kasus ini, berpikir serampangan jelas bukan pilihan yang baik buat saya, pasangan, dan siapapun yang terikat dengan kami nantinya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tiga Pilihan Presiden Indonesia, Siapa Bisa Dipercaya?

Tidak ada. Politisi semestinya tidak diberi kepercayaan utuh – sebagus apapun kinerjanya di masa lalu dan rencana-rencana yang diwacanakan untuk masa depan. Ia patut untuk terus dicurigai, dikritik, dan dituntut atas kekuasaan yang akan/telah dimilikinya. Lord Acton, guru besar Universitas Cambridge, pernah bilang: power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely . Kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut cenderung akan korup secara absolut. Kabar baiknya, rakyat punya hak untuk terus mengawasi kekuasaan yang telah dimandatkan pada penguasa. Hal itu dijamin undang-undang. Tapi, hal itu tidak akan terjadi jika penguasa tidak memberi ruang untuk dikritik tuannya dan melihat segala bentuk kritik sebagai ancaman atas kekuasaannya. Seorang teman pernah bilang kalau saja saya tahu orang-orang di balik ketiga pasangan dari capres dan cawapres yang tersedia ditambah lagi rekam jejak yang menyertai mereka, saya pasti takut dan enggan untuk memihak ketiga...

Tak Apa Tak Tahu Semuanya

Terkadang ketidaktahuan justru memberikan ketenangan.  Sementara itu, di sisi lain, upaya untuk mengetahui segalanya malah mengundang rasa gelisah. Hadirnya internet memberikan akses tanpa batas terhadap informasi. Lantas media sosial melengkapinya dengan alur penyebaran yang lebih masif dan cepat.  Setiap membuka media sosial kita disuguhkan dengan beragam informasi. Mungkin tidak semuanya berguna dan relevan, tapi kita harus menerimanya. Kita seolah dipaksa untuk mengikuti setiap peristiwa yang ada agar tetap dianggap dalam pergaulan. Pagi ini topiknya peran suami-istri dalam rumah tangga, nanti malam berubah soal hubungan budaya dan hak asasi manusia dalam penyelenggaraan Piala Dunia, lalu saat belum paham betul, orang-orang sudah beralih ke misteri meninggalkan keluarga di Kalideres.  Dua-puluh-empat jam sehari di depan layar rasanya tidak cukup untuk mengikuti semua yang terjadi. Selalu ada rasa resah karena takut ketinggalan berita. Fear of missing out . FOMO. Kenap...

Hal-hal Pernah dan Mungkin akan Terjadi

Suatu siang saya mengobrol dengan seorang teman. Kemudian terlintas pertanyaan, oh tidak, saya sudah mempersiapkannya sebagai opsi darurat apabila kami kehabisan topik pembicaraan. Saya bertanya: Apa kekuatan yang pengen kamu punya dan kenapa? Dia menjawab, "Kamu nanya? Iya? Aku kasih tahu, ya.." Dia jawab teleportasi. Perpindahan super cepat dari satu tempat ke tempat lain--menembus ruang dan waktu. Rasanya, dia menyukai ide bahwa dia bisa pergi ke mana saja, kapan saja, dan tidak perlu berurusan dengan kemacetan, orang-orang tak sabaran, dan perempatan Gedangan. Sementara itu, saya menjawab pertanyaan yang sama dengan berharap memiliki kekuatan untuk mampu mengontrol pikiran diri sendiri. Bukan, bukan seperti Profesor Xaxier dalam semesta X-Men yang mampu membaca pikiran dan memanipulasi orang lain. Saya hanya ingin mengontrol pikiran diri sendiri. Terdengar tolol dan egois memang. Tapi jika dipikir-pikir lagi, semua hal yang telah, sedang, dan mungkin akan saya lakukan ber...