Langsung ke konten utama

Opinimu Tidak Sepenting Itu

Ada golongan orang yang merasa satu hari tidak cukup hanya 24 jam saja. Terlalu banyak urusan yang perlu diselesaikan, tapi terlalu sedikit waktu yang disediakan. Kemudian, di sisi lain, ada juga golongan orang yang seolah memiliki seluruh waktu di dunia. Salah satu tandanya adalah mereka mempunyai keleluasaan menggunakan waktu untuk beradu opini dengan orang asing di media sosial--yang kenal saja tidak.

Saya adalah orang yang termasuk ke dalam golongan pertama dan iri dengan golongan kedua. Saya membayangkan orang-orang yang berada di golongan kedua--orang-orang yang aktif memberi dan meributkan opini, terutama hal-hal yang tidak sejalan dengan pola pikirnya--adalah mereka yang pintar mengatur waktu dan telah menyelesaikan seluruh tanggungannya di hari itu. Alhasil mereka punya waktu lebih untuk meladeni semua opini yang berseberangan dengannya.

"Buah durian tidak enak," tulis si A di media sosialnya.

"Eits, padahal buah durian itu enak, loh. Rasanya unik, baunya asyik, kepribadiannya baik. Aneh banget gak suka durian. Ada masalah apa sih sama durian? Kenapa harus jelek-jelekkin? Blablabla..." balas orang asing yang kebetulan fandom durian montong se-Asia Pasifik.

Objek durian dari contoh di atas bisa diganti dengan hal apapun dan tetap memiliki kemungkinan untuk menjadi sumber keributan yang berakhir sia-sia. Sebab, bagaimanapun juga, meributkan opini hingga merendahkan derajat lawannya maupun mengangkat isu lain yang sebenarnya tak relevan dengan objek keributan adalah kebiasaan bodoh yang seharusnya dihindari.

Faktanya, tidak ada opini yang benar-benar penting dan layak dipeributkan--selama opini itu belum menjadi peraturan resmi yang kudu diikuti dan berdampak secara langsung dengan hajat orang banyak.

Maksud saya, apa pengaruhnya opini ketidaksukaan orang lain dengan kehidupan sehari-hari? Saya suka makan lele, tapi ada orang lain yang tidak suka dengan lele karena menganggap semua lele pasti makan tahi. Ya, ya sudah. Lagipula, lele tidak pernah minta dibela.

Contoh lain: Saat membuka sesi tanya-jawab di Instagram ada yang menanyakan pendapat saya soal kpopers/k-pop. Saya jawab dengan menulis bahwa sebagai industri, k-pop luar biasa. Tapi, untuk lagu-lagunya, saya merasa kurang suka atau biasa saja. Sempat menyinggung fans yang terlalu fanatik juga. Lalu, ada satu orang yang menjustifikasi bahwa saya anti k-pop, hobi menghina dengan kata 'plastik', dan menilai selera musik saya kuno.

Sepenting itukah opini saya? Harusnya semua orang punya opini yang sama?

Tidak sama sekali. 

Semua opini yang berseberangan sebenarnya bisa ditanggapi hanya dengan "Oh, kamu begitu pendapatamu, ya? Ya, sudah" atau "Menarik. Kenapa kok kamu bisa mikir begitu?" Tidak ada keharusan untuk ribut dan memaksakan semua orang sepemikiran dengan diri kita.

Dan, kalau pun orang punya opini yang bertolak belakang, kenapa harus dipermasalahkan? Seharusnya, jika kita yakin dengan opini kita sendiri, maka dunia mau kiamat pun tidak akan bisa mengubah itu. Kurang lebih sama seperti konsep keimanan dalam agama.

Tidak. Saya tidak melarang orang untuk beropini. Semua berhak dan bebas beropini sesuai pikirannya. Selama opini itu perlakukan sebagaimana opini, bukan fakta mutlak yang perlu dituruti oleh semua orang di muka bumi. 

Twitter adalah salah satu keajaiban dunia yang saya syukuri. Ia seperti medium untuk membaca pikiran orang. Setiap hari selalu ada hal baru untuk dibahas maupun peributkan. Sebagai pembaca, saya terhibur dan menambah wawasan tanpa ikut terlibat secara langsung.

Meskipun, tidak jarang saya mendapati twit yang bikin heran kenapa orang bisa berpikir demikian. Mau dilewatkan logika mana pun rasanya tidak bisa masuk ke akal. Tapi, ya, yasudah. Beropini bukan perlombaan untuk dimenangkan. Sebab, berdebat seharusnya untuk mencari apa yang paling benar bukan siapa yang paling benar.

Tulisan ini juga jelas opini yang tidak penting dan tidak harus kamu amini. Kamu bisa anggap ini sebagai angin lalu. Tidak apa-apa.

Komentar

  1. Betul! Saya pribadi juga termasuk orang yang berfikir kalau segala opini tidak ada yang benar atau salah, bahkan bukan cuma opini, untuk semua tindakan, perilaku itu juga bagian dari pilihan yang dianut tiap orangnya bukan? Semua manusia punya akal sehat, bisa berfikir, memilih dan bertindak sesuai inginnya. Tidak ada yang salah dan benar, sama halnya atas kehidupan yang dijalani semua orang, semua itu pilihan dan kehidupan kita tidak harus sama seperti orang lain. Sama hal nya dengan opini yang kita anut.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tak Apa Tak Tahu Semuanya

Terkadang ketidaktahuan justru memberikan ketenangan.  Sementara itu, di sisi lain, upaya untuk mengetahui segalanya malah mengundang rasa gelisah. Hadirnya internet memberikan akses tanpa batas terhadap informasi. Lantas media sosial melengkapinya dengan alur penyebaran yang lebih masif dan cepat.  Setiap membuka media sosial kita disuguhkan dengan beragam informasi. Mungkin tidak semuanya berguna dan relevan, tapi kita harus menerimanya. Kita seolah dipaksa untuk mengikuti setiap peristiwa yang ada agar tetap dianggap dalam pergaulan. Pagi ini topiknya peran suami-istri dalam rumah tangga, nanti malam berubah soal hubungan budaya dan hak asasi manusia dalam penyelenggaraan Piala Dunia, lalu saat belum paham betul, orang-orang sudah beralih ke misteri meninggalkan keluarga di Kalideres.  Dua-puluh-empat jam sehari di depan layar rasanya tidak cukup untuk mengikuti semua yang terjadi. Selalu ada rasa resah karena takut ketinggalan berita. Fear of missing out . FOMO. Kenapa tiba-tiba or

Belajar dari Iklan Rokok

Iklan rokok adalah paradoks yang menyalahi pemahaman soal bagaimana trik pemasaran seharusnya bekerja. Ia menabrak teori pemasaran untuk mengakali batasan yang ada.  Tapi, justru hal itulah yang membuatnya menarik untuk dipelajari dan ditelaah baik-baik. Pernah melihat bentuk produk rokok di iklan rokok? Seharusnya tidak, sebab menurut UU Penyiaran tahun 2002, iklan rokok dilarang menampilkan pemeragaan wujud rokok. Jika dipikir baik-baik, maka peraturan tersebut tidak masuk akal. Tidak semua brand , apalagi hanya level UMKM atau temanmu yang sering berjualan lewat instagram story, mampu untuk mengakali peraturan itu.  Di sisi lain, pembatasan tersebut justru memperlebar kreativitas dalam memasarkan produk mereka--bahkan terkesan terlalu serampangan jika perhatikan sekilas. Hari ini iklan rokok menampilkan orang berselancar, besok memanjat tebing, nanti pergi ke bulan. Liar tanpa batasan. Meskipun, saya tahu betul di balik itu semua ada insight/ benang merah yang coba disampaikan s

Kenapa Harus Panjang Umur?

Lucile Randon--perempuan asal Prancis--merupakan manusia tertua di dunia yang masih hidup per April 2022, semenjak meninggalkan Kane Tanaka. Lucile saat ini berumur 118 tahun dan tampaknya akan terus mempertahankan gelar manusia tertua yang masih hidup—satu bulan menjelang ulang tahun yang ke-117, ia sempat terinveksi virus Covid-19, namun nyatanya hal itu tak mampu menghentikan waktu Lucile. Luar biasa. Saya tidak mengenal secara personal Lucile tapi saya bisa membayangkan betapa kesalnya dia jika lirik 'Panjang umurnya, panjang umurnya serta mulia'--tentu dalam bahasa Prancis--dinyanyikan saat ulang tahunnya. Paling tidak, itulah yang saya rasakan jika saya akan bernasib sama sepertinya. Umur harapan hidup Indonesia, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) hanya 71,85 pada tahun 2022. Artinya, rata-rata kita akan hidup selama 71 tahun—itupun jika tidak meninggal ditabrak odong-odong. Sekarang, bayangkan jika kamu hidup sehat, jauh dari celaka, dan dilindungi doa orang tua, hingga