Langsung ke konten utama

Mari Bertengkar tentang Selera Musik

Kamu tidak harus menyukai apa yang orang sukai dan, begitu pula sebaliknya, kamu tidak bisa memaksa orang mendengar apa yang menurutmu enak didengar. 

Suatu waktu saya meminta teman-teman di Instagram untuk menulis topik di open question story. Kebiasaan untuk menambah relasi dan berdiskusi (baca: caper). Setelah itu, saya akan memberikan opini tentang apapun itu dengan serampangan. Ada yang memberi topik soal pelet, representasi muslim di industri hiburan barat, dan mermaid--tanpa memberi konteks apapun, asu kamu ya, Gaby.

Beberapa saya tanggapi dengan bercanda, sisanya saya pikir matang-matang untuk mencegah blunder yang mencederai imej. Selain itu, saya juga berharap orang akan mengira bahwa saya orang pintar dan berbudi pekerti yang luhur. Padahal, untuk topik-topik yang asing di pikiran, saya pasti riset kecil-kecilan dulu. Ya, minimal bersumber dari 72 jurnal yang terindeks scopus dan tervalidasi oleh mba senjatanuklir.

Umumnya, setelah saya memberi opini, tidak ada yang memberikan tanggapan balik. Kalaupun ada, cuma satu-dua. Ada yang setuju dan menambahi dengan sudut pandangnya. Ada pula yang kurang sepakat dan menjelaskan kenapa dia tidak berpikiran sama--tidak mengoreksi apalagi memaksakan pola pikirnya seolah opini saya salah. Kedua jenis respons tersebut saya sambut baik.

Menyenangkan untuk mengetahui bagaimana otak digunakan di kepala orang lain.

Meski begitu, ada sesekali balasan yang menarik hingga bikin saya heran dan takjub secara bersamaan. Saya tidak mengatakan opini itu cemerlang maupun tolol bukan kepalang--tapi mengetahui ada orang memiliki opini yang tak awam selalu bikin saya tertarik untuk menilik proses berpikirnya.

Suatu waktu, saya ditanyai mengenai topik k-pop. 

Opini yang saya berikan, intinya, saya mengagumi bagaimana industri musik Korea Selatan, terutama talent management dan strategi pemasaran, bisa berkembang dan mendunia. Mereka seolah tak pernah kehabisan cara untuk menghadirkan boy/girlband baru untuk menjadi fenomena global--atau minimal di Indonesia. Meski begitu, di sisi lain, bagi saya pribadi, lagu k-pop sama seperti lagu-lagu lainnya alias tidak ada yang istimewa.

Saya tidak membatasi diri untuk mendengar satu genre. Beragam genre keluar-masuk telinga. Mulai dari pop, rock, RnB, k-pop, bahkan dangdut/koplo. Mereka bergiliran mengiringi hari-hari biasa saya. Tidak ada yang istimewa. Meski begitu, data bisa saja menunjukkan genre mana yang paling sering didengar dalam setahun. Tapi, penilaian pribadi saya yang buta nada dan teknis permusikan menyimpulkan bahwa semuanya sama saja.

Lalu, ada satu orang yang membalas opini saya dengan menilai selera saya terlalu kuno karena tidak menyukai k-pop. Sebelumnya, orang yang sama, juga pernah mengatakan bahwa non-kpop juga suka cari gara-gara dan menganggap saya adalah salah satunya.

Dia bebas beropini seperti itu, sama halnya saya punya kuasa untuk tidak mengamini pendapatnya bahwa musik k-pop adalah genre termutakhir yang ada. Tidak perlu ada ketersinggungan berlebihan yang berujung pada saling hina. Buat apa juga membela orang yang menang-kalah argumen yang kita berikan tak mengubah dan mempengaruhi apapun--termasuk kehidupan musisinya?

Lebih penting lagi, buat apa meributkan selera musik?

Baca juga: Hal-hal yang Pernah dan Mungkin akan Terjadi

Musik, sebagai salah satu bentuk seni, bisa jadi punya kedekatan emosional tertentu dengan seseorang. Jadi, masa bodoh soal instrumen apa yang dipakai, efek bass apa yang digunakan, serta tempo ketukan drum yang dipukulkan, kalau memang lagu--atau kasarnya, bunyi-bunyian itu, memberi rasa tertentu yang menyenangkan, ya, yasudah. 

Penilaian yang sahih untuk digunakan melabeli musik jelek atau tidak harusnya berhubungan dengan urusan teknis. Apa lagu tersebut di-mixing dengan rapi, tinggi nada antar instrumen saling melengkapi atau tidak, dan tetek bengek lainnya. Bukan perihal suka-tidaknya orang lain.

Tapi, kalau masih mau meributkan selera musik, ya monggo. Siapa saya bisa mengatur penggunaan waktumu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tiga Pilihan Presiden Indonesia, Siapa Bisa Dipercaya?

Tidak ada. Politisi semestinya tidak diberi kepercayaan utuh – sebagus apapun kinerjanya di masa lalu dan rencana-rencana yang diwacanakan untuk masa depan. Ia patut untuk terus dicurigai, dikritik, dan dituntut atas kekuasaan yang akan/telah dimilikinya. Lord Acton, guru besar Universitas Cambridge, pernah bilang: power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely . Kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut cenderung akan korup secara absolut. Kabar baiknya, rakyat punya hak untuk terus mengawasi kekuasaan yang telah dimandatkan pada penguasa. Hal itu dijamin undang-undang. Tapi, hal itu tidak akan terjadi jika penguasa tidak memberi ruang untuk dikritik tuannya dan melihat segala bentuk kritik sebagai ancaman atas kekuasaannya. Seorang teman pernah bilang kalau saja saya tahu orang-orang di balik ketiga pasangan dari capres dan cawapres yang tersedia ditambah lagi rekam jejak yang menyertai mereka, saya pasti takut dan enggan untuk memihak ketiga...

Tak Apa Tak Tahu Semuanya

Terkadang ketidaktahuan justru memberikan ketenangan.  Sementara itu, di sisi lain, upaya untuk mengetahui segalanya malah mengundang rasa gelisah. Hadirnya internet memberikan akses tanpa batas terhadap informasi. Lantas media sosial melengkapinya dengan alur penyebaran yang lebih masif dan cepat.  Setiap membuka media sosial kita disuguhkan dengan beragam informasi. Mungkin tidak semuanya berguna dan relevan, tapi kita harus menerimanya. Kita seolah dipaksa untuk mengikuti setiap peristiwa yang ada agar tetap dianggap dalam pergaulan. Pagi ini topiknya peran suami-istri dalam rumah tangga, nanti malam berubah soal hubungan budaya dan hak asasi manusia dalam penyelenggaraan Piala Dunia, lalu saat belum paham betul, orang-orang sudah beralih ke misteri meninggalkan keluarga di Kalideres.  Dua-puluh-empat jam sehari di depan layar rasanya tidak cukup untuk mengikuti semua yang terjadi. Selalu ada rasa resah karena takut ketinggalan berita. Fear of missing out . FOMO. Kenap...

Hal-hal Pernah dan Mungkin akan Terjadi

Suatu siang saya mengobrol dengan seorang teman. Kemudian terlintas pertanyaan, oh tidak, saya sudah mempersiapkannya sebagai opsi darurat apabila kami kehabisan topik pembicaraan. Saya bertanya: Apa kekuatan yang pengen kamu punya dan kenapa? Dia menjawab, "Kamu nanya? Iya? Aku kasih tahu, ya.." Dia jawab teleportasi. Perpindahan super cepat dari satu tempat ke tempat lain--menembus ruang dan waktu. Rasanya, dia menyukai ide bahwa dia bisa pergi ke mana saja, kapan saja, dan tidak perlu berurusan dengan kemacetan, orang-orang tak sabaran, dan perempatan Gedangan. Sementara itu, saya menjawab pertanyaan yang sama dengan berharap memiliki kekuatan untuk mampu mengontrol pikiran diri sendiri. Bukan, bukan seperti Profesor Xaxier dalam semesta X-Men yang mampu membaca pikiran dan memanipulasi orang lain. Saya hanya ingin mengontrol pikiran diri sendiri. Terdengar tolol dan egois memang. Tapi jika dipikir-pikir lagi, semua hal yang telah, sedang, dan mungkin akan saya lakukan ber...