Beberes rumah menjadi salah satu kegiatan yang menyenangkan
untuk dilakukan, dengan catatan: tidak disuruh. Selama pandemi, saya jadi lebih
sering menata kamar, membuang barang-barang yang dirasa tak perlu, dan begitu
terus sampai saya menemukan satu benda tertentu lalu menghabiskan belasan menit
untuk bernostalgia.
Kemarin saya Kembali bersih-bersih. Segala barang yang ada
di lemari kecil dalam kamar, saya keluarkan dengan tujuan untuk dipilah mana
yang perlu disimpan dan mana yang seharusnya berada di tempat sampah.
Isi lemari didominasi oleh buku-buku serta kertas-kertas yang
sempat saya gunakan saat SMA. Materi, soal, dan jawaban yang berkaitan dengan
Ilmu Pengetahuan Alam—fisika, kimia, biologi, dan kawan-kawannya yang sempat
bikin pusing, terutama menjelang kelulusan.
Lucunya, beberapa lembar yang berisi jawaban saya sendiri,
justru jadi membingunkan bagi diri saya yang sekarang. Sesuatu yang dulu jadi
makanan sehari-hari, saat ini terasa asing bahkan sekadar untuk diamati.
Mereka—pelajaran-pelajaran IPA—sempat jadi momok dan punya nilai
yang begitu saya hormati hingga mampu membuat saya terjaga hingga dini hari,
hanya untuk memahami reaksi percampuran dua senaya, sudut yang perlu dihitung
dalam peristiwa bocornya tabung air, atau bagaimana hubungan dua induk makhluk
hidup sehingga dapat menghasilkan keturunan yang unggul. Mereka pernah penting
bagi saya. Namun, saat ini, nilai mereka tak lebih dari tumpukan sampah yang
memenuhi ruangan. Nilai mereka telah berlalu.
Namun, menganggap mempelajari mereka di masa lalu sebagai
kesia-kesiaan jelas pemahaman yang keliru. Sebagai konteks, saat ini saya
berkuliah di Ilmu Komunikasi yang mana jelas tak banyak atau sama sekali tidak
memerlukan perhitungan-perhitungan penuh penderitaan seperti saya SMA. Dan,
menurut saya, tak ada ilmu yang sia-sia.
Bisa jadi sekarang atau nanti di kehidupan yang lain saya
takkan lagi menggunakan ilmu yang sempat saya pelajari. Tapi, ilmu-ilmu itu
jelas punya andil dalam membentuk pola pikir dan pemahaman saya yang sekarang. Karena
pada dasarnya, cara-cara yang dilakukan dalam setiap disiplin keilmuan adalah
sama, yakni memecahkan masalah. Dan logika yang runtut merupakan kuncinya.
Mungkin yang kita lakukan sekarang tak mempunyai kaitan
dengan masa depan nanti. Tapi, apapun yang kita lakukan sekarang adalah salah
satu factor penentu terbentuknya rupa kita kelak. Setiap perbuatan akan
berdampak, seperti teori butterfly effect. Kepakan sayap kupu-kupu di Surabaya,
bisa saja berujung angin topan di Brazil.
Memberi nilai pada apa yang kita lakukan sekarang adalah
salah satu upaya untuk memotivasi kita untuk melakukan terbaik untuk hari ini. Saya
mulai risih Ketika tulisan mulai menjadi menggurui dan saya berubah menjadi
motivator. Maka, tanpa bermaksud menghina kecerdasan kalian, mari menyudahi
pembahasan dan analogi soal menghargai hari ini.
Sesuatu yang mungkin pernah bernilai, bisa jadi tak berguna
bagi kita sekarang. Tapi, bagaimanapun juga, jelas punya peran penting dalam
membentuk kita yang sekarang, jadi setidaknya, saya selalu berusaha untuk tidak
menyesali apa-apa yang terjadi di masa lalu. Atau mungkin, beberapa hal akan
semakin bernilai Ketika semakin tua, layaknya anggur.
Kembali pada cerita beberes kamar, saya akhirnya
mengumpulkan barang-barang yang saya anggap tidak punya nilai lagi ke dalam
tiga kantong plastik besar. Kebanyakan berisi kertas-kertas dan buku-buku dari
SMP hingga SMA.
Selesai dengan kamar, target selanjutnya adalah pikiran
saya. Sama-sama menyimpan banyak hal, sama-sama dipenuhi hal-hal yang mungkin
tidak diperlukan lagi. Jadi, mungkin, sampah-sampah dalam pikiran akan saya
tuangkan jadi tulisan lalu mempublikasikannya di blog ini. Ya, blog ini adalah
tempat sampah dari pikiran saya.
Benar sekali, kadang juga mikir kenapa dulu ambil ipa padahal gak kepake sekarang. Tapi setelah direnungi itu juga jalan buat jadi diri kita saat ini. hmm
BalasHapusNda ada yang perlu disesali, ya kan:)
Hapus