Langsung ke konten utama

Life at Zetizen: Awal Mula

 

Salah satu foto awal bareng seluruh kru Zetizen.

Cerita yang baik selalu memberikan penjelasan yang runtut dari setiap peristiwa yang terjadi. Oleh sebab itu, sebelum masuk dalam bagian bagaimana saya bisa menghabiskan hampir dua tahun waktu hidup saya menulis dan membuat konten di Zetizen, ada baiknya kita mundur jauh ke belakang dahulu.Sebab, saya tak ingin mempersulit hidup kalian yang sudah berantakan.


Mungkin ceritanya akan panjang dan, bisa jadi, setelah kalian membaca ini, tak ada hal yang bisa diambil, selain upaya menyia-nyiakan waktu. Terlebih lagi, saya juga tidak sedang tergesa-gesa dan akan mencoba memikirkan sebaik mungkin pilihan kata yang tertulis supaya meminimalisir kekeliruan. Maap.

Jauh sebelum saya tahu Zetizen, saya sudah senang membaca dan sesekali menulis sampah dan mempublikasikannya dengan bangga di blog. Keluarga dan teman dekat, sebagaimana mestinya, mengagung-agungkan hal tersebut. Sedikit yang saya tahu, ketika saya Kembali untuk menjenguk tulisan-tulisan lama, alih-alih bangga, justru malu dan jijik yang saya rasakan. Dari situ saya sadar, beberapa orang hanya mengatakan sesuatu yang ingin kita dengar, bukan yang sebenar-benarnya.

Tapi, sisi baik dari kebiasaan buruk itu adalah kata-kata mereka membuat saya percaya diri dan meneruskan apa yang sudah saya mulai. Bahkan jauh lebih yakin dari sebelumnya. Terlebih lagi saat tahu ucapan salah satu ulama besar Al-Ghazali: “Jika kau bukan anak raja, juga bukan anak ulama besar, maka menulislah!”

Lambat laun, membaca dan menulis menjadi jawaban pola yang saya lontarkan saat ditanya soal hobi. Dan ketika pertanyaan beralih soal cita-cita, jawaban saya adalah penulis. Entah novel atau wartawan.Terdengar intelek memang.

Suatu waktu, di SMA ada penyuluhan soal kuliah dan masa depan dari lembaga psikologi, dalam salah satu sesi, kami diberi buku dan pada bagian paling belakang ada satu halaman kosong. Kami disuruh menuliskan apa-apa saja keinginan yang mau kita capai dalam beberapa tahun ke depan. Mereka ingin kami ingin menulis dengan cukup detail hingga keterangan tahun dan umur berapa kita harus mewujudkannya.

Salah dua keinginan saya adalah menjadi wartawan dan mempunyai pekerjaan sambilan saat kuliah. Ajaibnya, dua hal itu benar-benar terjadi. Jika saya tahu demikian, saya harusnya menulis: Kasus Munir, Wiji Thukul, Marsinah, dan lain-lain bisa terungkap. Tentu sangat melegakan.

Oke. Cukup kilas baliknya.


 

Tiba-tiba, Arga, teman saya, suatu malam, mengabari lewat DM Instagram bahwa Zetizen sedang mencari content creator dan reporter. Bisa saja dia memberi tahu orang lain atau bahkan tidak memberi tahu siapapun. Tapi, barangkali karena kebiasaan saya yang senang membagikan tautan tulisan dari blog di hampir seluruh media sosial, nama saya terlintas di pikirannya.

Itulah kenapa saya sering masa bodo soal tanggapan orang dan menghilangkan keraguan saat memilih menunjukan kesenangan saya di media sosial. Kita tidak pernah tahu kapan, siapa, dan bagaimana kesempatan menghampiri. Arga seperti pemberi wahyu bagi saya.

Saya tidak langsung mengirimkan CV dan portofolio seperti yang diimbau Zetizen. Malah, awalnya, tidak ada antusias sedikitpun. Saya mencari free template CV di google dan tanpa memberi foto diri lalu mengirimkannya begitu saja dua atau satu hari sebelum batas akhir. Tanpa berespektasi lebih, dua minggu kemudian, saya dapat email untuk lanjut ke proses wawancara. Salah satu pencapaian yang membanggakan di semester satu perkuliahan. Selain bisa masuk jurusan terketat di soshum. Hehe.

Kemampuan bercakap yang memalukan, terlebih pada orang baru, sempat membuat saya berniat tidak menghadiri panggilan wawancara itu. Tapi, apa serunya? Saya beranikan diri datang ke Graha Pena—yang sebelumnya saya masuki hanya untuk salat di lantai dua di sela-sela pertandingan di DBL Surabaya—dan naik ke lantai 4, di mana kantor Jawa Pos. Gila, kata saya waktu itu.

Lift terbuka dan langsung berhadapan dengan meja resepsionis. Sempat celingak-celinguk, saya ditanyai satpam, “Ada perlu apa ya, mas?”

“Wawancara Zetizen, Pak.”

“Oh, tunggu di sini aja. Nanti dipanggil.” Katanya sambal sikap lilin. Tentu tidak begitu.

Lalu saya menunggu antrean bersama beberapa calon kru lain di sofa. Satu per satu dipanggil masuk ke ruangan kecil depan meja resepsionis. Deg-degan, jelas. Tapi, sebagaimana biasanya, saya sok tenang sambil scroll media sosial.

Saat giliran saya, saya masuk dan langsung berhadapan dengan Mba Ratri dan Mba Diana--yang kemudian saya tahu adalah supervisor dari Zetizen. Sudah. Mulailah pertanyaan basa-basi seperti nama, hobi, dan alasan melamar. Melamar pekerjaan, tentu saja.

Waktu itu saya menyertakan review film Aruna dan Lidahnya yang saya ambil sekenanya dari blog saya. Saya masih ingat kalau Mba Ratri suka dengan gaya penulisan review tersebut. Hehehe, kata saya dalam hati. Singkat cerita, wawancara selesai dan mereka bilang kalau akan segera memberi kabar apabila saya lolos tahap wawancara itu. 

Oke. Ternyata saya lolos. 

Tahap selanjutnya, saya disuruh bikin perencanaan konten untuk instagram Zetizen. Sembilan kotak. Dengan otak brilian yang saya punya, saya meminjam akun instagram kelompok prakarya SMA dan menggunakannya sebagai media presentasi. Tunggu, bukan itu saja momen terbaiknya. Terus baca.

Ketika hari H, saya bersama satu kandidat lain harus mempresentasikan konsep konten di depan Mba Diana dan Mba Ratri, ditambah Mba Nofika dari grafis dan Mba Cece dari content creator Zetizen. Teman saya membawa laptop dan mempersiapkannya dengan desain-desain menarik di PPT. Semestara saya begini (desainnya saya buat di Instagram Stories):

Masih ada sampai sekarang.
 

Sialan. Goblok sekali.

Tapi, sebagaimana biasanya, saya berusaha tetap tenang padahal rasanya pengin loncat dari lantai empat saking malunya. Terlebih lagi, ternyata bukan begitu konsep yang mereka harapkan. Saya seharusnya bikin konsep seperti kotak pertama bahas film, kotak kedua love life, dan semacamnya. Mungkin mereka melihat saya diam tak banyak bicara, tapi saya sedang sibuk memaki ketololan saya sendiri dalam hati.

Bahkan, saya masih ingat Mba Cece mengingatkan kalau saya terkesan cengengesan dan beruntung Zetizen bukan tipe kantor yang tegas dan serius ketika wawancara. Dia juga menyarankan agar lebih mempersiapkan diri sebelum wawancara di manapun itu. Saya iya-iya saja. Ya Allah, maaf mba-mba sekalian.

Entah tidak ada pilihan lain dan terpaksa, tapi:


 

Lalu dimulailah perjalanan saya mulai dari reporter, cditor, dan digital content creator di Zetizen selama hampir dua tahun. Mungkin cerita ini berlanjut, mungkin tidak. Mungkin akan bercerita saat insiden-insiden saat peliputan, dapur Zetizen dan Jawa Pos, dan mitos-mitos Graha Pena, tapi mungkin juga tidak. Yang jelas, saya cuman mau bilang, kalau kalian juga bisa subscribe/langganan blog ini, nanti akan ada notifikasi bila saya unggah tulisan lain.

Hehe.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Move On / Let Go

Semua yang hidup akan mati. Semua yang datang akan pergi. Semua yang gagal salah Jokowi.  Move on adalah fase. Ia tak melulu berkaitan dengan proses pemulihan dari pasangan sebelumnya. Ia juga berkaitan dengan perdamaian dengan masa lalu dan kemungkinan di masa depan.  Move on adalah masa perpindahan. Penyesuaian dari satu kondisi satu dengan kondisi lainnya. Kondisi itu bisa berarti orang maupun tempat yang pernah punya keterikatan. Bisa pasangan, orang tua, kantor, rumah, dan hal-hal yang pernah jadi rutinitas. Maka, perpindahan perlu persiapan yang baik agar tidak terbebani selama di perjalanan. Dan beginilah saya menyikapi perpindahan: Tidak semuanya harus sesuai maumu Waktu kecil, saya bercita-cita ingin menjadi power rangers merah dan menjalani hari-hari dengan membasi kejahatan di bumi. Tapi, kenyataanya tidak bisa. Ada banyak hal yang menghalangi keinginan saya terwujud, salah satunya adalah logika akal sehat. Alhasil, kemauan (dan niat mulia) itu terpaksa saya kubur dalam-da

Batas Kesenangan di Dunia Maya

Demi kebaikan bersama, untuk sementara waktu, segala bentuk aktivitas kesenangan duniawi harus dikurangi. Tidak ada lagi kuliah pagi, ngopi-ngopi, judi, atau lomba karapan sapi. Alhasil, hasrat untuk bertahan hidup di tengah pandemi seperti saat ini membawa kita ke tempat yang sama: internet. Akibat ruang gerak di dunia nyata yang dibatasi, kebanyakan dari kita pun beralih ke dunia maya. Tentu saja hal tersebut berbanding lurus dengan lama durasi mereka menggenggam gawai yang mereka punya. Saya juga jadi lebih sering menengok Instagram, Twitter, YouTube, dan ehem, TikTok. Aku suka boring goyang mama.. eh maaf.

Tiga Pilihan Presiden Indonesia, Siapa Bisa Dipercaya?

Tidak ada. Politisi semestinya tidak diberi kepercayaan utuh – sebagus apapun kinerjanya di masa lalu dan rencana-rencana yang diwacanakan untuk masa depan. Ia patut untuk terus dicurigai, dikritik, dan dituntut atas kekuasaan yang akan/telah dimilikinya. Lord Acton, guru besar Universitas Cambridge, pernah bilang: power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely . Kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut cenderung akan korup secara absolut. Kabar baiknya, rakyat punya hak untuk terus mengawasi kekuasaan yang telah dimandatkan pada penguasa. Hal itu dijamin undang-undang. Tapi, hal itu tidak akan terjadi jika penguasa tidak memberi ruang untuk dikritik tuannya dan melihat segala bentuk kritik sebagai ancaman atas kekuasaannya. Seorang teman pernah bilang kalau saja saya tahu orang-orang di balik ketiga pasangan dari capres dan cawapres yang tersedia ditambah lagi rekam jejak yang menyertai mereka, saya pasti takut dan enggan untuk memihak ketiga