![]() |
Photo by Bastien Jaillot on Unsplash |
Ketika teman-teman ramai mengobrol soal pelbagai macam strategi untuk mengalahkan musuh di game online, diam adalah opsi terbaik yang saya punya. Saya tak mau merusuh dan memang tak begitu tahu akan istilah-istilah asing semacam skin, ranked, dan sejenisnya. Bisa dibilang, level pengetahuan saya cukup memprihatinkan.
Tapi, ketika topik pembicaraan beralih ke dunia film, mulut saya akan selalu terbuka untuk meladeni setiap cabang bahasannya. Meski tidak paham betul, setidaknya saya punya cukup bekal jika ditanyai tentang istilah seperti plot hole, spin-off, easter eggs, overshadow, dan lain-lain. Di sisi lain, teman-teman saya yang cenderung lebih senang bermain game akan lebih sering jadi pendengar, ketimbang pembicara. Sama halnya ketika saya diajak berdiskusi soal Dota atau PUBG.
Kami sama-sama tahu kapasitas yang kami miliki. Sebab, menyesatkan adalah satu-satunya hasil yang kita peroleh ketika membicarakan sesuatu di luar batas pengetahuan kita. Apalagi, tidak ada fondasi yang cukup kuat untuk menopang gagasan yang diusung. Cacat sejak dalam pemikiran.
Contoh lain, musisi sudah sebaiknya bergelut dengan nada-nada. Tak perlu merusuh di bidang keilmuan lain, kesehatan misalnya. Bukannya mutlak tidak boleh. Toh semua orang berhak menyuarakan opininya. Tapi alangkah terpujinya jika pernyataan yang diusung berdasar pada fakta yang sebenarnya, bukan teori yang jelas-jelas payah dan mengancam akal sehat. Apalagi jika sampai menyangkut keselamatan orang banyak.
Dengan kata lain, saya lebih menghargai jerih payah Anji membikin lagu-lagu yang belum tentu saya suka atau bahkan dengar, ketimbang dia memberitakan serta memberi panggung orang yang, katakanlah, tidak jelas asal-usulnya, untuk memproklamirkan sesuatu yang masih abu-abu dan tidak jelas keabsahannya. Meresahkan sekaligus membahayakan.
Hadi Pranoto, yang mengklaim telah menemukan antibodi yang mampu mencegah dan menyembuhkan covid, ternyata tidak memiliki keanggotaan di Ikatan Dokter Indonesia(IDI), tidak ada jurnal ilmiah di manapun darinya padahal yang bersangkutan bergelar profesor, dan ternyata dia pernah terlibat kasus dengan polisi sebab termasuk dalam keluarga yang mengadakan hajatan ketika pandemi. Saya tak begitu pintar, tapi rasanya dia bukan jenis orang yang kita percayai dan fasilitasi untuk mengibuli lebih banyak orang lagi.
Ada yang mengajurkan untuk membiarkan konten-konten meresahkan seperti milik Anji dan Hadi Pranoto, sebab dia percaya, lama-lama mereka akan sadar sendiri dan biar adsense-nya sedikit. Tapi, jika kita terus-terus membiarkannya, bukannya mereda, dia bisa semakin menjadi-jadi. Di tengah keadaan mengkhawatirkan seperti sekarang, satu-satunya yang kita perlukan adalah informasi yang sebenar-benarnya. Bukan hal bodoh berbau sensasi yang bisa saja memperumit masalah yang sudah ada.
Jika tidak bisa membantu, bukankah lebih baik untuk diam saja? Banyak baca buku, bikin lagu baru, berinteraksi dengan keluarga selagi masih bisa, atau mungkin Anji butuh istirahat, maka semoga segera dilakukan. Tidurlah, Anji. Selamat malam. Lupakan saja covid, toh katamu tidak seberbahaya itu.
Betul mas, kita bersuara kalau tidak tau apa yang kita suarakan, apalagi cuman "mbeo"
BalasHapusItu yang berbahaya. Bisa jadi timbul masalah benar atau tidaknya, bisa jadi salah dalam penerimaan orang lain yang menerimanya.
Nah, setuju sekali. Mending perdalam dulu pengetahuan atau kalu nggak gitu, bicara dari sudut pandang yang kita kuasai aja.
Hapus