Langsung ke konten utama

[Cerpen] Kunang-Kunang dan Akhir Bahagia


Semesta sedang mengejekku. Tak ada senja kali ini, tapi itu bukan alasan kenapa aku telah menghabiskan dua gelas kopi dan beberapa batang rokok dalam beberapa jam belakangan. Ada sesuatu yang lebih serius, bahwa hari ini aku baru saja dipecat dari pekerjaanku, tepat di hari yang sama kucing peliharaanku meninggal terlindas motor di jalan depan tempat tinggalku, dan memang pantas kulampiaskan segala rasa susah dan resah di sini, di kedai kopi dekat perempatan yang ramai pengunjung namun sepi dari hingar bingar dunia. Tak ada tawa atau ceria yang terdengar dari masing-masing orang yang memutuskan untuk duduk dan minum kopi di sini. Wajah-wajah mereka murung, beberapa terlihat melamun, membuang pandangan ke luar kedai, kepada lalu lintas yang acuh. Kedai ini seperti tempat pelarian bagi orang-orang yang kesal dengan dunia dan perlu tempat untuk merenung. Karena, sejauh ini, itulah yang bisa kuamati. Dan aku, seperti yang kau tahu, adalah bagian dari mereka.


Awan pekat mulai menutupi langit. Gelap. Pilu. Seolah semesta mengejek kami, kaum yang stres dengan segala masalah di dunia, dan tertawa diatas penderitaan kami. Aku kesal dengan semesta, tapi di sisi lain aku tak bisa mengendalikan cuaca, maka jam-jam berikutnya aku hanya bisa memandangi jalanan yang diguyur hujan. Lalu menyaksikan sebuah kecelakaan antara pengendara sepeda motor dan sebuah truk.

Orang-orang keluar dari tempat persembunyiannya. Beberapa sigap berlari ke tempat kejadian, beberapa lainnya hanya sampai di teras-teras toko atau tempat teduh lainnya, mengamati dari kejauhan. Didorong rasa penasaran, kutinggalkan mejaku dan keluar dari kedai untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana akhir dari kejadian tersebut.

Kerumunan kian banyak dan lalu lintas tersendat. Beberapa pengendara melambankan laju kendaraan mereka, menengok ke tempat kejadian, lalu melanjutkan perjalanan seolah tak terjadi apa-apa. Hujan semakin deras mengguyur. Beberapa genangan berwarna kemerah-merahan dan kurasa itu pertanda bahwa ada yang bernasib buruk kali ini.

Berdesak-desakan dengan orang-orang yang mungkin sama penasarannya denganku. Mereka seperti semut yang mengerubungi gula. Setelah mendapat pandangan yang cukup jelas, aku dapat melihat ada seseorang yang tergeletak berlumur darah dan seseorang berusaha melakukan pertolongan semampunya, walau terkesan sudah tak ada lagi harapan, karena siapapun yang ada di situ pasti dapat melihat dengan jelas bahwa darah masih mengucur dari kepala korban dan separuh tubuhnya luka-luka. Tidak ada tanda-tanda ia akan bangun lagi.

“Cepat telepon ambulan!” orang tadi, yang mencoba membangunkan korban dengan menepuk-nepuk kepala korban, berteriak sambil mengedarkan pandangan ke seluruh kerumunan. 

“Sedang dalam perjalanan!” sahut seseorang. 

Ternyata, ada yang masih manusiawi, karena beberapa orang lain terlihat lebih senang mendokumentasikan kejadian tersebut ketimbang mengambil tindakan penyelamatan. Sementara aku sendiri diam seribu bahasa. Tak ada yang bisa kuperbuat. Teleponku tak ada pulsa didalamnya dan pengetahuanku tentang upaya penyelamatan korban kecelakaan sangat minim.

“Menurutmu, apa orang itu punya kesempatan untuk hidup lagi?” Tiba-tiba temanku muncul.

“Hidup lagi?” Jawabku. “Kau mengatakannya seolah-olah dia sudah mati.”

“Lantas apa yang kau harapkan dari orang yang tertabrak truk kemudian terhempas sampai lima meter lebih?”

Temanku yang satu ini senang sekali membuntutiku kemana-kemana. Sebelumnya kami tak terlalu dekat. Hanya beberapa kali bertemu dalam kurun waktu bulan dan hanya bertegur sapa sesekali. Namun, akhir-akhir ini, dia seperti bayanganku sendiri. Menemani kala aku sedang banyak masalah dan mengumpat  bersama pada dunia dengan segala keruwetan yang ada. Walau tak selalu memberi solusi, setidaknya aku punya teman untuk dijadikan tempat keluh kesah.

Tak lama berselang ambulans datang, bersamaan dengan polisi yang tiba setelahnya. Korban langsung dibawa ke rumah sakit, sementara polisi sibuk mengamankan tempat kejadian perkara dan juga mengatur lalu lintas yang kacau. Sungguh hujan dan kecelakaan adalah akar segala keruwetan di jalanan.

Kerumunan satu persatu mulai membubarkan diri, sambil berbisik-bisik, menerka-nerka kronologis peristiwa tersebut. Samar-samar terdengar ada yang mengatakan rem blong adalah penyebab utamanya. Versi lain menyebutkan kalau kejadian itu murni salah si pengendara motor yang ceroboh menerobos lampu merah dan mengabaikan kelengkapan berkendara. Ia tak memakai helm, jaket, dan sangat diragukan ia membawa surat-surat berkendara.

“Dia bunuh diri.” Kata temanku memecah lamunanku.

Seperti masuk ke dalam kepalaku, temanku memberikan pernyataan yang tak terduga dan cukup membuat orang-orang disini diam kebingungan, namun sayang sekali, hanya aku yang bisa mendengarnya. Kami melangkah menjauh dan kembali masuk ke dalam kedai kopi dimana kutinggalkan segelas kopi yang tersisa setengah dan mungkin sudah mendingin.

“Apa maksud perkataanmu tadi?” Aku selalu penasaran dengan ucapan-ucapannya.

“Maksudku, kau salah jika menyebut peristiwa tadi sebuah kecelakaan. Karena kecelakaan terjadi karena ketidaksengajaan. Dengar baik-baik, potong lidahku kalau aku salah, orang tadi sepenuhnya sadar atas tindakannya.” Terangnya.

“Kenapa kau begitu yakin?”

“Kenapa kau begitu bodoh?” Katanya sambil memasang wajah yang siapapun ingin memukulnya. “Yang kau lihat belum tentu yang sebenarnya terjadi.”

            “Jelaskan kalau begitu.”

Dia membenarkan duduknya, seolah-olah akan menceritakan sesuatu yang amat penting dan tak seorang pun seharusnya tahu.

            “Sudah jelas kalau dia sengaja, mulai dari kebetulan-kebetulan yang begitu terang seperti tak membawa perlengkapan berkendara apapun dan yang paling akurat, karena aku melihatnya dengan  mataku sendiri, bukannya melamban ketika lampu merah ia malah melaju semakin kencang dan dialah yang menabrakkan diri ke sisi kiri truk. Dan sekelebat aku melihatnya tersenyum.”

            “Kau bercanda?

            “Sebenarnya ia meninggalkan semacam pesan pada secarik kertas, jika kau tadi jeli melihat. Mungkin berupa alasan kenapa ia sampai mengakhiri hidupnya dengan begitu tragis seperti itu. Namun, tak seorang pun akan membacanya, karena kertas itu telah melebur dalam genangan darahnya sendiri.”

            Hanya dia sendiri dan Tuhan yang tahu apa yang ada dalam kepalanya.  Seringkali kami bertentangan pendapat, kebanyakan dalam hal yang tak begitu penting, seperti apa ikan bisa tidur, apa bumi datar, apa kunang-kunang berasal dari mayat dan lain-lain dan bukannya berakhir dengan sebuah kesepakatan, masalah menjadi semakin rumit dan pada poin tersebut kami sepakat untuk tidak sepakat.

            Rumah kami berdekatan dan aku menawarinya untuk pulang bersama. Hujan sudah reda, hanya meninggalkan genangan di sepanjang jalan. Sepanjang perjalanan ia menjelaskan teorinya, bahwa peristiwa di perempatan tadi murni bunuh diri bukan kecelakaan, dan yang kulakukan hanya diam dan mencoba mengalihkan perhatian pada mural di dinding gang sempit yang kulalui. 

            Berbagai jenis gambar dan kata-kata tertata di dinding. Beberapa gambar membuatku takjub, bukan karena keindahan atau komposisi warna yang digunakan, melainkan yang kulihat adalah burung yang seharusnya tak dipamerkan, apalagi di tempat umum. Keberanian berpadu dengan kebodohan tentu tak bisa dikatakan sebagai karya seni. Tak jauh dari gambar memalukan itu, ada sebuah mural yang lebih pantas disebut seni. Digambarkan ada dua orang, samar-samar, menyatu, dan mememegang sebuah sabun berwarna merah muda. Di sampingnya tertulis : hanya saat kita telah kehilangan segalanya, kita baru akan bebas untuk melakukan apapun. Mungkin itu adalah mural yang paling memotivasi yang pernah ditulis di dinding gang dekat area perkuburan di seluruh penjuru kota.

Tiba-tiba sekejap kucing berbulu hitam melompat dari pagar area perkuburan, kubelokkan setir menjauhi arah jatuhnya namun kepalanya terlebih dulu terlindas ban depan. Darah bercucuran dan menodai mural tadi. Kucing hitam itu tergelak tak berdaya bersimbah dara. Matanya terbuka, cenderung melotot, dan mnegarah kepadaku. Tanganku gemetar dan keringat dingin mengalir dari dahi. Di saat aku membeku, temanku sudah turun dari motor dan tanpa takut, jijik, atau ngeri langsung mengangkat jasad kucing itu.

“Jangan jadi pengecut, cepat bantu aku menguburkannya.”

Pujian-pujian menjelang magrib mengiringi pemakaman kucing itu. Kami memilih menguburkannya di area perkuburan, dekat pagar. Tak ada orang yang tahu, atau mungkin ada, tapi tak ingin mengusik kami. Kami beri bebatuan diatas gundukan makam kucing itu. 

“Berdoalah agar tak ada kesialan yang menimpamu lagi.”

Aku tak tahu bagaimana doa untuk menolak sial, tapi bagaimanapun juga, aku pernah mendengar nasib seseorang setelah menabrak kucing. Ia terus-mererus mengalami kesialan dan baru berhenti ketika mencari jasad kucing yang ia tabrak dan menguburkannya lantas memanjatkan doa-doa agar semuanya akan kembali seperti semula. Dan aku tak ingin seperti dia. Maka, beberapa menit aku berdoa agar kucing yang kutabrak mendapat tempat yang lebih baik, tak perlu mencuri untuk makan, dan tinggal di tempat yang nyaman, mungkin surga atau semacamnya. Dan juga supaya aku dijauhkan dari malapetaka di hari-hariku selanjutnya.

Setelah mengatupkan kedua tangan, ketika kubuka aku melihat cahaya kerlap-kerlip di kejauhan. Tak banyak, namun cukup jelas dipandang dengan mata telanjang. Mereka berputar-putar di antara pohon kamboja. Mereka adalah kunang-kunang sibuk terbang seolah tanpa tujuan.

Mereka adalah salah satu dari sekian urusan sepele yang pernah kuributkan dengan temanku. Aku percaya bahwa mereka sedang berkerumun mencari makan dan tak ada hubungannya dengan hal-hal mistis seperti kehadiran makhluk halus atau semacamnya. Tapi, seperti yang kau tahu, temanku punya jalan berpikir yang melenceng dan tidak wajar. Mungkin sewaktu kecil kepalannya pernah terbentur benda tumbul atau terjatuh dari atap. Entahlah.

“Aku pernah mengatakan padamu kalau kunang-kunang berasal dari dalam tubuh mayat, dan sekarang kau melihatnya sendiri,” Katanya. “Selain itu, munculnya kunang-kunang juga menjadi pertanda bahwa sesuatu akan terjadi. Sesuatu yang buruk.”

“Cukup omong kosongmu. Ayo kita pulang.” Balasku. Ketus.

Sesaat kemudian, teleponku bordering, nomor yang muncul di layar terkesan asing bagiku dan ketika kuangkat, di seberang terdengar suara perempuan tersengguk-sengguk menangis. Pertanyaan pertama yang kulontarkan tentu saja siapa dia.

“Aku Bibi Azizah”

“Ada apa?”

“Ibumu meninggal.”

Semesta seolah berhenti berputar. Tak mampu lagi aku berkata-kata, membiarkan Bibi Azizah berbicara sendiri di ujung telepon. Kemudian kututup telepon itu.

 Aku tidak masalah dengan dipecat dari pekerjaanku, ditipu pelanggan dan baru saja menabrak kucing. Tapi meninggalnya ibuku adalah sesuatu yang sangat keterlaluan. Karena segala perjuangan yang kulakukan di kota brengsek ini hanya untuk dirinya. Penyembuhannya. Dan kini alasan itu telah tiada. Kini aku tak punya siapa-siapa lagi. Ayahku meninggal saat ibuku mengandungku di bulan ketiga dan sampai saat ini bayangan mengenai wajahnya tinggal buram. Samar. Hampir hilang.

Derita datang bertubi-tubi tak kenal waktu. Seolah bekerja bersama berusaha menjatuhkanku. Dan sepertinya, serentetan kesialan lainnya sudah menunggu untuk menghantam. Lalu, semesta kembali tertawa melihat pertarunganku dengan nasib. Seolah aku pecundang yang tak mampu bertahan dengan kesialan. 

“Aku sedih mengatakannya tapi hidup ini pilihan.” Kata temanku.

Aku diam.

“Dan terkadang, apapun pilihannya semua berakhir di tempat yang sama. Yang membedakan hanya jalan yang kau tempuh dan berapa banyak rintangan yang harus  kau hadapi. Dan orang yang menurutmu kecelakaan tadi, padahal adalah bunuh diri, sudah melakukan hal yang benar.” Dia mulai menyinggung teorinya tadi.

“Maksudmu?” Tanyaku.

            “Mengakhiri segala penderitaannya dan memilih sendiri bagaimana caranya untuk bertemu dengan ajal.”

            “Jadi kau ingin aku bunuh diri dan mati konyol?”

            “Tergantung kau menafsirkannya. Bisa jadi iya. Karena dengan begitu, semesta tak bisa mengejekmu lagi dan kesialan-kesialan yang menunggumu di masa depan takkan pernah terjadi jika kau telah tiada.”

            Aku sadar bahwa kami masih di area perkuburan dan malam kian larut dan gigitan nyamut mulai menjalar ke beberapa bagian tubuh. Kunang-kunang tadi hilang dari tempatnya ketika aku melihat mereka. Lenyap begitu saja dan meninggalkan pertanyaan di kepala. Apa mereka juga ikut campur dengan segala kesialan yang terjadi hari ini?

            Sebelum aku melihat makhluk halus dan kerasukan, aku memutuskan untuk segera pergi. Baru beberapa meter dari area perkuburan aku melaju, tercium bau busuk yang cukup menyengat dan kurasa ini bukan bau sampah, tapi lebih ke pada bangkai. Bulu kudukku perlahan berdiri dan semakin kencang motor melaju. Meninggalkan area perkuburan.

            Kesialan bisa menimpa siapa saja dan mereka antara menjadi semakin kuat atau malah semakin hancur. Selalu ada harapan, tapi juga kemungkinan kesialan lain juga siap menghadang. Perbandingannya sama. Dan terkadang hidup memberikanmu pilihan yang sulit.

            Aku berhenti di lampu merah, kereta akan lewat. 

            “Kau yakin dengan bunuh diri adalah jalan keluar yang terbaik?” Tanyaku pada temanku yang duduk di jok belakang.

            “Sayangnya, dalam kasusmu, itu memang satu-satunya jalan keluar.”

            “Kau teman yang brengsek.”

            “Mungkin kau benar, tapi aku selalu ada untukmu ketika kau susah, stres, dan perlu pelarian. Tak semua orang punya teman sepertiku. Lihatlah sekelilingmu.” Tampak banyak sekali orang yang murung dan letih. “Mereka bahkan tak bisa melihatku. Hanya kau. Karena kau istimewa dan kau tak berhak hidup sengsara terus-menerus dengan kesialan yang terjadi tiap hari. Maka percayalah, sebagai sahabatmu, aku tahu mana yang terbaik untukmu. Toh Ibumu, yang dulunya menjadi alasanmu berjuang kini telah pergi meninggalkanmu sendiri di dunia yang kejam ini.”

            Dia mungkin benar dalam beberapa hal yang dikatakan sebelumnya, tapi ini hidupku. Apapun keputusan yang kuambil, semuanya kehendakku. Tak ada campur tangan orang lain atau bahkan teman khayalan yang mengaku teman baikku sekalipun. 

Nasibku ada ditanganku. Dan dengan itu, aku sangat menanti kedatangan kereta. Bunyi sirine mengiringi sore itu. Tak akan ada lagi beban. Tak akan ada lagi kesialan. Karena semua akan berakhir hari ini. Saat ini juga.

Kereta api mendekat dan sesaat kemudian aku sudah menerobos pembatas dan berhenti tepat di jalur kereta. Semua orang panik dan berteriak, seolah-olah mereka tahu deritaku ketika aku meneruskan hidup. Peduli dengan hidupku. Tapi tidak. Mereka tak berhak mengacaukan rencanaku. Mereka tak punya hak untuk itu. Temanku sudah turun dari motor yang kami tumpangi dan berdiri tak  jauh dariku, dekat pembatas. Ia tersenyum dan melambai padaku, kemudian perlahan hilang dalam pandang. Kubalas senyumannya dan seketika tubuhku hancur dalam potongan-potongan.

Orang mungkin mengira itu kecelakaan, tapi kau adalah saksinya bahwa itu sama sekali bukan kecelakaan, karena kecelakaan terjadi karena ketidaksengajaan. Aku melakukannya sepenuhnya sadar. Dan jika kau jeli, kau melihatku tersenyum ketika aku melakukannya.***

                                                                                                     Catatan: Cerpen ini sebelumnya saya ikutkan ke lomba yang ada di sekolah dan mendapat tempat sebagai salah satu cerita yang hendak dibukukan oleh guru Bahasa Indonesia sekolah saya, tapi hingga lulus tak ada kabar, jadi saya pikir lebih baik saya bagikan di sini. Judul awal cerpen ini adalah Kunang-Kunang dan Upaya Mengakhiri Derita.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di Tribun Sixteenagers

Elang kebanggaan. Sumber: @sixteenagers Akan terkesan sombong dan bodoh kalau saya memukul rata bahwa semua yang membaca tulisan ini tahu apa itu sixteenagers. Oleh sebab itu, ada baiknya saya berikan sedikit penjelasan tentang nama itu. Sixteenagers adalah sebutan bagi siswa dan siswi SMA Negeri 16 Surabaya. Lebih spesifik lagi, pendukung segala macam perlombaan yang diikuti oleh sekolah. 

Tidurlah Anji, Selamat Malam

Photo by Bastien Jaillot on Unsplash Ketika teman-teman ramai mengobrol soal pelbagai macam strategi untuk mengalahkan musuh di game online, diam adalah opsi terbaik yang saya punya. Saya tak mau merusuh dan memang tak begitu tahu akan istilah-istilah asing semacam skin, ranked, dan sejenisnya. Bisa dibilang, level pengetahuan saya cukup memprihatinkan. Tapi, ketika topik pembicaraan beralih ke dunia film, mulut saya akan selalu terbuka untuk meladeni setiap cabang bahasannya. Meski tidak paham betul, setidaknya saya punya cukup bekal jika ditanyai tentang istilah seperti plot hole, spin-off, easter eggs, overshadow, dan lain-lain. Di sisi lain, teman-teman saya yang cenderung lebih senang bermain game akan lebih sering jadi pendengar, ketimbang pembicara. Sama halnya ketika saya diajak berdiskusi soal Dota atau PUBG.

Tiga Pilihan Presiden Indonesia, Siapa Bisa Dipercaya?

Tidak ada. Politisi semestinya tidak diberi kepercayaan utuh – sebagus apapun kinerjanya di masa lalu dan rencana-rencana yang diwacanakan untuk masa depan. Ia patut untuk terus dicurigai, dikritik, dan dituntut atas kekuasaan yang akan/telah dimilikinya. Lord Acton, guru besar Universitas Cambridge, pernah bilang: power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely . Kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut cenderung akan korup secara absolut. Kabar baiknya, rakyat punya hak untuk terus mengawasi kekuasaan yang telah dimandatkan pada penguasa. Hal itu dijamin undang-undang. Tapi, hal itu tidak akan terjadi jika penguasa tidak memberi ruang untuk dikritik tuannya dan melihat segala bentuk kritik sebagai ancaman atas kekuasaannya. Seorang teman pernah bilang kalau saja saya tahu orang-orang di balik ketiga pasangan dari capres dan cawapres yang tersedia ditambah lagi rekam jejak yang menyertai mereka, saya pasti takut dan enggan untuk memihak ketiga