Semesta sedang mengejekku. Tak ada senja kali ini, tapi itu bukan
alasan kenapa aku telah menghabiskan dua gelas kopi dan beberapa batang rokok
dalam beberapa jam belakangan. Ada sesuatu yang lebih serius, bahwa hari ini
aku baru saja dipecat dari pekerjaanku, tepat di hari yang sama kucing
peliharaanku meninggal terlindas motor di jalan depan tempat tinggalku, dan
memang pantas kulampiaskan segala rasa susah dan resah di sini, di kedai kopi
dekat perempatan yang ramai pengunjung namun sepi dari hingar bingar dunia. Tak
ada tawa atau ceria yang terdengar dari masing-masing orang yang memutuskan
untuk duduk dan minum kopi di sini. Wajah-wajah mereka murung, beberapa
terlihat melamun, membuang pandangan ke luar kedai, kepada lalu lintas yang
acuh. Kedai ini seperti tempat pelarian bagi orang-orang yang kesal dengan
dunia dan perlu tempat untuk merenung. Karena, sejauh ini, itulah yang bisa
kuamati. Dan aku, seperti yang kau tahu, adalah bagian dari mereka.
Awan pekat mulai menutupi langit. Gelap. Pilu. Seolah semesta mengejek
kami, kaum yang stres dengan segala masalah di dunia, dan tertawa diatas
penderitaan kami. Aku kesal dengan semesta, tapi di sisi lain aku tak bisa
mengendalikan cuaca, maka jam-jam berikutnya aku hanya bisa memandangi jalanan
yang diguyur hujan. Lalu menyaksikan sebuah kecelakaan antara pengendara sepeda
motor dan sebuah truk.
Orang-orang keluar dari tempat persembunyiannya. Beberapa sigap berlari
ke tempat kejadian, beberapa lainnya hanya sampai di teras-teras toko atau
tempat teduh lainnya, mengamati dari kejauhan. Didorong rasa penasaran,
kutinggalkan mejaku dan keluar dari kedai untuk melihat apa yang sebenarnya
terjadi dan bagaimana akhir dari kejadian tersebut.
Kerumunan kian banyak dan lalu lintas tersendat. Beberapa pengendara
melambankan laju kendaraan mereka, menengok ke tempat kejadian, lalu
melanjutkan perjalanan seolah tak terjadi apa-apa. Hujan semakin deras
mengguyur. Beberapa genangan berwarna kemerah-merahan dan kurasa itu pertanda
bahwa ada yang bernasib buruk kali ini.
Berdesak-desakan dengan orang-orang yang mungkin sama penasarannya
denganku. Mereka seperti semut yang mengerubungi gula. Setelah mendapat
pandangan yang cukup jelas, aku dapat melihat ada seseorang yang tergeletak
berlumur darah dan seseorang berusaha melakukan pertolongan semampunya, walau
terkesan sudah tak ada lagi harapan, karena siapapun yang ada di situ pasti dapat
melihat dengan jelas bahwa darah masih mengucur dari kepala korban dan separuh
tubuhnya luka-luka. Tidak ada tanda-tanda ia akan bangun lagi.
“Cepat telepon ambulan!” orang tadi, yang mencoba membangunkan korban
dengan menepuk-nepuk kepala korban, berteriak sambil mengedarkan pandangan ke
seluruh kerumunan.
“Sedang dalam perjalanan!” sahut seseorang.
Ternyata, ada yang masih manusiawi, karena beberapa orang lain terlihat
lebih senang mendokumentasikan kejadian tersebut ketimbang mengambil tindakan
penyelamatan. Sementara aku sendiri diam seribu bahasa. Tak ada yang bisa
kuperbuat. Teleponku tak ada pulsa didalamnya dan pengetahuanku tentang upaya
penyelamatan korban kecelakaan sangat minim.
“Menurutmu, apa orang itu punya kesempatan untuk hidup lagi?” Tiba-tiba
temanku muncul.
“Hidup lagi?” Jawabku. “Kau mengatakannya seolah-olah dia sudah mati.”
“Lantas apa yang kau harapkan dari orang yang tertabrak truk kemudian
terhempas sampai lima meter lebih?”
Temanku yang satu ini senang sekali membuntutiku kemana-kemana.
Sebelumnya kami tak terlalu dekat. Hanya beberapa kali bertemu dalam kurun
waktu bulan dan hanya bertegur sapa sesekali. Namun, akhir-akhir ini, dia
seperti bayanganku sendiri. Menemani kala aku sedang banyak masalah dan
mengumpat bersama pada dunia dengan
segala keruwetan yang ada. Walau tak selalu memberi solusi, setidaknya aku
punya teman untuk dijadikan tempat keluh kesah.
Tak lama berselang ambulans datang, bersamaan dengan polisi yang tiba
setelahnya. Korban langsung dibawa ke rumah sakit, sementara polisi sibuk
mengamankan tempat kejadian perkara dan juga mengatur lalu lintas yang kacau.
Sungguh hujan dan kecelakaan adalah akar segala keruwetan di jalanan.
Kerumunan satu persatu mulai membubarkan diri, sambil berbisik-bisik,
menerka-nerka kronologis peristiwa tersebut. Samar-samar terdengar ada yang
mengatakan rem blong adalah penyebab utamanya. Versi lain menyebutkan kalau
kejadian itu murni salah si pengendara motor yang ceroboh menerobos lampu merah
dan mengabaikan kelengkapan berkendara. Ia tak memakai helm, jaket, dan sangat
diragukan ia membawa surat-surat berkendara.
“Dia bunuh diri.” Kata temanku memecah lamunanku.
Seperti masuk ke dalam kepalaku, temanku memberikan pernyataan yang tak
terduga dan cukup membuat orang-orang disini diam kebingungan, namun sayang
sekali, hanya aku yang bisa mendengarnya. Kami melangkah menjauh dan kembali
masuk ke dalam kedai kopi dimana kutinggalkan segelas kopi yang tersisa
setengah dan mungkin sudah mendingin.
“Apa maksud perkataanmu tadi?” Aku selalu penasaran dengan
ucapan-ucapannya.
“Maksudku, kau salah jika menyebut peristiwa tadi sebuah kecelakaan.
Karena kecelakaan terjadi karena ketidaksengajaan. Dengar baik-baik, potong
lidahku kalau aku salah, orang tadi sepenuhnya sadar atas tindakannya.”
Terangnya.
“Kenapa kau begitu yakin?”
“Kenapa kau begitu bodoh?” Katanya sambil memasang wajah yang siapapun
ingin memukulnya. “Yang kau lihat belum tentu yang sebenarnya terjadi.”
“Jelaskan kalau begitu.”
Dia membenarkan duduknya, seolah-olah akan menceritakan sesuatu yang
amat penting dan tak seorang pun seharusnya tahu.
“Sudah jelas kalau dia sengaja,
mulai dari kebetulan-kebetulan yang begitu terang seperti tak membawa perlengkapan
berkendara apapun dan yang paling akurat, karena aku melihatnya dengan mataku sendiri, bukannya melamban ketika
lampu merah ia malah melaju semakin kencang dan dialah yang menabrakkan diri ke
sisi kiri truk. Dan sekelebat aku melihatnya tersenyum.”
“Kau bercanda?
“Sebenarnya ia meninggalkan semacam
pesan pada secarik kertas, jika kau tadi jeli melihat. Mungkin berupa alasan
kenapa ia sampai mengakhiri hidupnya dengan begitu tragis seperti itu. Namun,
tak seorang pun akan membacanya, karena kertas itu telah melebur dalam genangan
darahnya sendiri.”
Hanya dia sendiri dan Tuhan yang
tahu apa yang ada dalam kepalanya. Seringkali
kami bertentangan pendapat, kebanyakan dalam hal yang tak begitu penting,
seperti apa ikan bisa tidur, apa bumi datar, apa kunang-kunang berasal dari
mayat dan lain-lain dan bukannya berakhir dengan sebuah kesepakatan, masalah
menjadi semakin rumit dan pada poin tersebut kami sepakat untuk tidak sepakat.
Rumah kami berdekatan dan aku
menawarinya untuk pulang bersama. Hujan sudah reda, hanya meninggalkan genangan
di sepanjang jalan. Sepanjang perjalanan ia menjelaskan teorinya, bahwa peristiwa
di perempatan tadi murni bunuh diri bukan kecelakaan, dan yang kulakukan hanya
diam dan mencoba mengalihkan perhatian pada mural di dinding gang sempit yang
kulalui.
Berbagai jenis gambar dan kata-kata
tertata di dinding. Beberapa gambar membuatku takjub, bukan karena keindahan
atau komposisi warna yang digunakan, melainkan yang kulihat adalah burung yang
seharusnya tak dipamerkan, apalagi di tempat umum. Keberanian berpadu dengan
kebodohan tentu tak bisa dikatakan sebagai karya seni. Tak jauh dari gambar
memalukan itu, ada sebuah mural yang lebih pantas disebut seni. Digambarkan ada
dua orang, samar-samar, menyatu, dan mememegang sebuah sabun berwarna merah
muda. Di sampingnya tertulis : hanya saat
kita telah kehilangan segalanya, kita baru akan bebas untuk melakukan apapun.
Mungkin itu adalah mural yang paling memotivasi yang pernah ditulis di dinding gang
dekat area perkuburan di seluruh penjuru kota.
Tiba-tiba sekejap kucing berbulu hitam melompat dari pagar area
perkuburan, kubelokkan setir menjauhi arah jatuhnya namun kepalanya terlebih
dulu terlindas ban depan. Darah bercucuran dan menodai mural tadi. Kucing hitam
itu tergelak tak berdaya bersimbah dara. Matanya terbuka, cenderung melotot,
dan mnegarah kepadaku. Tanganku gemetar dan keringat dingin mengalir dari dahi.
Di saat aku membeku, temanku sudah turun dari motor dan tanpa takut, jijik,
atau ngeri langsung mengangkat jasad kucing itu.
“Jangan jadi pengecut, cepat bantu aku menguburkannya.”
Pujian-pujian menjelang magrib mengiringi pemakaman kucing itu. Kami
memilih menguburkannya di area perkuburan, dekat pagar. Tak ada orang yang
tahu, atau mungkin ada, tapi tak ingin mengusik kami. Kami beri bebatuan diatas
gundukan makam kucing itu.
“Berdoalah agar tak ada kesialan yang menimpamu lagi.”
Aku tak tahu bagaimana doa untuk menolak sial, tapi bagaimanapun juga,
aku pernah mendengar nasib seseorang setelah menabrak kucing. Ia terus-mererus
mengalami kesialan dan baru berhenti ketika mencari jasad kucing yang ia tabrak
dan menguburkannya lantas memanjatkan doa-doa agar semuanya akan kembali
seperti semula. Dan aku tak ingin seperti dia. Maka, beberapa menit aku berdoa
agar kucing yang kutabrak mendapat tempat yang lebih baik, tak perlu mencuri
untuk makan, dan tinggal di tempat yang nyaman, mungkin surga atau semacamnya.
Dan juga supaya aku dijauhkan dari malapetaka di hari-hariku selanjutnya.
Setelah mengatupkan kedua tangan, ketika kubuka aku melihat cahaya
kerlap-kerlip di kejauhan. Tak banyak, namun cukup jelas dipandang dengan mata
telanjang. Mereka berputar-putar di antara pohon kamboja. Mereka adalah
kunang-kunang sibuk terbang seolah tanpa tujuan.
Mereka adalah salah satu dari sekian urusan sepele yang pernah
kuributkan dengan temanku. Aku percaya bahwa mereka sedang berkerumun mencari
makan dan tak ada hubungannya dengan hal-hal mistis seperti kehadiran makhluk
halus atau semacamnya. Tapi, seperti yang kau tahu, temanku punya jalan
berpikir yang melenceng dan tidak wajar. Mungkin sewaktu kecil kepalannya
pernah terbentur benda tumbul atau terjatuh dari atap. Entahlah.
“Aku pernah mengatakan padamu kalau kunang-kunang berasal dari dalam
tubuh mayat, dan sekarang kau melihatnya sendiri,” Katanya. “Selain itu,
munculnya kunang-kunang juga menjadi pertanda bahwa sesuatu akan terjadi.
Sesuatu yang buruk.”
“Cukup omong kosongmu. Ayo kita pulang.” Balasku. Ketus.
Sesaat kemudian, teleponku bordering, nomor yang muncul di layar
terkesan asing bagiku dan ketika kuangkat, di seberang terdengar suara
perempuan tersengguk-sengguk menangis. Pertanyaan pertama yang kulontarkan
tentu saja siapa dia.
“Aku Bibi Azizah”
“Ada apa?”
“Ibumu meninggal.”
Semesta seolah berhenti berputar. Tak mampu lagi aku berkata-kata,
membiarkan Bibi Azizah berbicara sendiri di ujung telepon. Kemudian kututup
telepon itu.
Aku tidak masalah dengan dipecat
dari pekerjaanku, ditipu pelanggan dan baru saja menabrak kucing. Tapi
meninggalnya ibuku adalah sesuatu yang sangat keterlaluan. Karena segala
perjuangan yang kulakukan di kota brengsek ini hanya untuk dirinya.
Penyembuhannya. Dan kini alasan itu telah tiada. Kini aku tak punya siapa-siapa
lagi. Ayahku meninggal saat ibuku mengandungku di bulan ketiga dan sampai saat
ini bayangan mengenai wajahnya tinggal buram. Samar. Hampir hilang.
Derita datang bertubi-tubi tak kenal waktu. Seolah bekerja bersama
berusaha menjatuhkanku. Dan sepertinya, serentetan kesialan lainnya sudah
menunggu untuk menghantam. Lalu, semesta kembali tertawa melihat pertarunganku
dengan nasib. Seolah aku pecundang yang tak mampu bertahan dengan kesialan.
“Aku sedih mengatakannya tapi hidup ini pilihan.” Kata temanku.
Aku diam.
“Dan terkadang, apapun pilihannya semua berakhir di tempat yang sama.
Yang membedakan hanya jalan yang kau tempuh dan berapa banyak rintangan yang
harus kau hadapi. Dan orang yang
menurutmu kecelakaan tadi, padahal adalah bunuh diri, sudah melakukan hal yang
benar.” Dia mulai menyinggung teorinya tadi.
“Maksudmu?” Tanyaku.
“Mengakhiri segala penderitaannya
dan memilih sendiri bagaimana caranya untuk bertemu dengan ajal.”
“Jadi kau ingin aku bunuh diri dan
mati konyol?”
“Tergantung kau menafsirkannya. Bisa
jadi iya. Karena dengan begitu, semesta tak bisa mengejekmu lagi dan
kesialan-kesialan yang menunggumu di masa depan takkan pernah terjadi jika kau
telah tiada.”
Aku sadar bahwa kami masih di area
perkuburan dan malam kian larut dan gigitan nyamut mulai menjalar ke beberapa
bagian tubuh. Kunang-kunang tadi hilang dari tempatnya ketika aku melihat
mereka. Lenyap begitu saja dan meninggalkan pertanyaan di kepala. Apa mereka
juga ikut campur dengan segala kesialan yang terjadi hari ini?
Sebelum aku melihat makhluk halus
dan kerasukan, aku memutuskan untuk segera pergi. Baru beberapa meter dari area
perkuburan aku melaju, tercium bau busuk yang cukup menyengat dan kurasa ini
bukan bau sampah, tapi lebih ke pada bangkai. Bulu kudukku perlahan berdiri dan
semakin kencang motor melaju. Meninggalkan area perkuburan.
Kesialan bisa menimpa siapa saja dan
mereka antara menjadi semakin kuat atau malah semakin hancur. Selalu ada
harapan, tapi juga kemungkinan kesialan lain juga siap menghadang.
Perbandingannya sama. Dan terkadang hidup memberikanmu pilihan yang sulit.
Aku berhenti di lampu merah, kereta
akan lewat.
“Kau yakin dengan bunuh diri adalah
jalan keluar yang terbaik?” Tanyaku pada temanku yang duduk di jok belakang.
“Sayangnya, dalam kasusmu, itu
memang satu-satunya jalan keluar.”
“Kau teman yang brengsek.”
“Mungkin kau benar, tapi aku selalu
ada untukmu ketika kau susah, stres, dan perlu pelarian. Tak semua orang punya
teman sepertiku. Lihatlah sekelilingmu.” Tampak banyak sekali orang yang murung
dan letih. “Mereka bahkan tak bisa melihatku. Hanya kau. Karena kau istimewa
dan kau tak berhak hidup sengsara terus-menerus dengan kesialan yang terjadi
tiap hari. Maka percayalah, sebagai sahabatmu, aku tahu mana yang terbaik
untukmu. Toh Ibumu, yang dulunya menjadi alasanmu berjuang kini telah pergi
meninggalkanmu sendiri di dunia yang kejam ini.”
Dia mungkin benar dalam beberapa hal
yang dikatakan sebelumnya, tapi ini hidupku. Apapun keputusan yang kuambil,
semuanya kehendakku. Tak ada campur tangan orang lain atau bahkan teman
khayalan yang mengaku teman baikku sekalipun.
Nasibku ada ditanganku. Dan dengan itu, aku sangat menanti kedatangan
kereta. Bunyi sirine mengiringi sore itu. Tak akan ada lagi beban. Tak akan ada
lagi kesialan. Karena semua akan berakhir hari ini. Saat ini juga.
Kereta api mendekat dan sesaat kemudian aku sudah menerobos pembatas
dan berhenti tepat di jalur kereta. Semua orang panik dan berteriak,
seolah-olah mereka tahu deritaku ketika aku meneruskan hidup. Peduli dengan
hidupku. Tapi tidak. Mereka tak berhak mengacaukan rencanaku. Mereka tak punya
hak untuk itu. Temanku sudah turun dari motor yang kami tumpangi dan berdiri
tak jauh dariku, dekat pembatas. Ia
tersenyum dan melambai padaku, kemudian perlahan hilang dalam pandang. Kubalas
senyumannya dan seketika tubuhku hancur dalam potongan-potongan.
Orang mungkin mengira itu kecelakaan, tapi kau adalah saksinya bahwa
itu sama sekali bukan kecelakaan, karena kecelakaan terjadi karena
ketidaksengajaan. Aku melakukannya sepenuhnya sadar. Dan jika kau jeli, kau
melihatku tersenyum ketika aku melakukannya.***
Catatan: Cerpen ini sebelumnya saya ikutkan ke lomba yang ada di sekolah dan mendapat tempat sebagai salah satu cerita yang hendak dibukukan oleh guru Bahasa Indonesia sekolah saya, tapi hingga lulus tak ada kabar, jadi saya pikir lebih baik saya bagikan di sini. Judul awal cerpen ini adalah Kunang-Kunang dan Upaya Mengakhiri Derita.
- Baca Juga cerita lainnya: Kupu-Kupu Kuning dan Lembayung Senja
Komentar
Posting Komentar