Langsung ke konten utama

[Cerpen] Sebagaimana Hidup Sebenarnya


 
Photo by Maxime Brugel on Unsplash
Hidup, tak seperti narasi-narasi yang diciptakan dalam dunia fiksi yang cenderung berakhir bahagia, seringkali memberikan kejutan di setiap ceritanya. Sesuatu yang mungkin tak satupun dari kita mengharapkannya. Tapi, bagaimanapun juga, itulah kenyataannya. Itulah hidup yang sebenarnya.

Hari ketujuh sejak aku pergi dari rumah, aku memutuskan untuk kembali. Entahlah,  rasanya kabur bukan solusi yang tepat untuk atasi masalah. Bekal yang seadanya kubawa sudah menipis dan aku terlalu segan untuk meminta bantuan pada teman. Maka, dengan menumpang truk kambing aku pun pulang, siap menghadap segala kenyataan yang ada. Seburuk apapun itu.
Semenjak wabah korona sialan ini menyeruak, keluargaku kian rapuh. Baik dari sisi ekonomi maupun rasa untuk saling mengerti. Ayahku yang dulunya duduk nyaman di perusahaan periklanan, terpaksa memulai usaha sebagai pedagang nasi kotak sejak ia ditangguhkan dari pekerjaan, sembari tetap mencari lowongan yang sesuai dengan keahliannya.
“Mungkin memang sebaiknya aku bikin restoran saja dari dulu,” kelakarnya. “Toh aku punya darah koki dari nenekmu.” Aku tahu bahwa menafkahi keluarga selama pandemi bukanlah urusan remeh. Melihat roman mukanya yang selalu berusaha bahagia, membuatku selalu iba pada perjuangannya.
Sementara itu, ibuku yang punya klinik kecantikan rasanya  tak terlalu terganggu. Setidaknya itulah yang ia ceritakan padaku dan ayah. Ia selalu pulang membawa makanan dan bercerita soal pasien-pasien yang ia layani.  Meski begitu, beberapa kali ia pulang dengan wajah cemberut dan terlihat begitu kelelahan. “Pasien hari ini cukup banyak. Mereka ngotot ingin dilayani hari ini juga. Jadi, sedikit sekali waktu untuk istirahat,” jawabnya ketika kutanya, lalu ia bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Sementara aku sendiri, seminggu yang lalu memutuskan untuk pergi karena merasa tak banyak membantu. Terlebih, akulah beban yang benar-benar mengancam keadaan mereka. Itulah kenapa sore itu selepas magrib aku menyelinap keluar dari kamar. Saat rumah sedang sepi karena ayah pergi mengatar nasi dan ibu sibuk melayani pasien di kliniknya.
Semua baik-baik saja hingga suatu waktu ayah memergoki ibuku sedang tidur dengan laki-laki lain di kamar yang ada di kliniknya. Tepat sore hari seseaat aku pergi. Tidak ada satupun dari kami yang menyangka bahwa hal itu benar-benar terjadi dan tak punya kuasa memperbaikinya lagi.
Waktu itu ayah sedang mengantar pesanan nasi menggunakan mobil Avanza putih kesayangannya. Lalu, mengingat jarak dari rumah pemesan dan klinik ibu cukup dekat, ia putuskan untuk mampir sejenak. Dan ya, kejadian tersebut disaksikannya secara langsung. Ia langsung pergi sesaat ibu menyadari kehadirannya.
Kesal mengetahui ternyata pasien yang selama ini ibu ceritakan adalah lelaki-lelaki hidung belang, ayah bergegas pulang tanpa tahu apa yang harus ia lakukan nantinya. Ternyata, demi menyambung hidup keluarga, ibu rela menjadi pelacur. Perasaan ayah kalang kabut hingga ia tak memperhatikan lampu lalu lintas telah berubah jadi merah.
Ia meninggal di tempat dengan beberapa tulang patah akibat tertabrak sebuah mobil yang melaju dari arah kanannya. Aku sebenarnya berada tak jauh dari situ waktu itu, sedang menumpang truk pengangkut kambing, tapi tak ada hal yang bisa kuperbuat. Aku menyaksikan sendiri bagaimana peristiwa naas tersebut merenggut nyawanya. Hari sial itu terjadi sehabis isya, sesaat aku pergi.
Maka, di hari ke tujuh, aku berenana kembali untuk melihat kamarku untuk terakhir kalinya sebelum aku pergi ke tempat lainnya. Kamar di mana leherku terikat dan tubuhku menggantung. Sebenarnya, aku adalah salah satu dari sekian banyak orang yang terkena virus sialan itu. Semakin hari kesehatanku semakin menurun dan aku tak ingin menyalurkannya pada dua orang yang paling kusayang. Jadi, kuputuskan untuk mengakhiri penderitaan sekaligus mengamankan keluargaku.
Dan, ya, tubuhku masih di situ. Membusuk. Tak ada yang berubah sejak aku pergi. Sejak kepergok ayah, ibu tak berani pulang dan memilih pergi ke rumah temannya. Entah kemana ia sehabis itu. Sementara ayah, kalian tahu, sudah tak lagi bernyawa sama sepertiku.
Maka, di kamar inilah semua derita itu bermula dan berakhir.  Seperti yang kukatakan di awal, hidup tak seindah cerita-cerita fiksi yang kalian baca dan ingini. Terkadang ia berupa tragedi dan itulah yang memang sebenarnya terjadi.***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Move On / Let Go

Semua yang hidup akan mati. Semua yang datang akan pergi. Semua yang gagal salah Jokowi.  Move on adalah fase. Ia tak melulu berkaitan dengan proses pemulihan dari pasangan sebelumnya. Ia juga berkaitan dengan perdamaian dengan masa lalu dan kemungkinan di masa depan.  Move on adalah masa perpindahan. Penyesuaian dari satu kondisi satu dengan kondisi lainnya. Kondisi itu bisa berarti orang maupun tempat yang pernah punya keterikatan. Bisa pasangan, orang tua, kantor, rumah, dan hal-hal yang pernah jadi rutinitas. Maka, perpindahan perlu persiapan yang baik agar tidak terbebani selama di perjalanan. Dan beginilah saya menyikapi perpindahan: Tidak semuanya harus sesuai maumu Waktu kecil, saya bercita-cita ingin menjadi power rangers merah dan menjalani hari-hari dengan membasi kejahatan di bumi. Tapi, kenyataanya tidak bisa. Ada banyak hal yang menghalangi keinginan saya terwujud, salah satunya adalah logika akal sehat. Alhasil, kemauan (dan niat mulia) itu terpaksa saya kubur dalam-da

Batas Kesenangan di Dunia Maya

Demi kebaikan bersama, untuk sementara waktu, segala bentuk aktivitas kesenangan duniawi harus dikurangi. Tidak ada lagi kuliah pagi, ngopi-ngopi, judi, atau lomba karapan sapi. Alhasil, hasrat untuk bertahan hidup di tengah pandemi seperti saat ini membawa kita ke tempat yang sama: internet. Akibat ruang gerak di dunia nyata yang dibatasi, kebanyakan dari kita pun beralih ke dunia maya. Tentu saja hal tersebut berbanding lurus dengan lama durasi mereka menggenggam gawai yang mereka punya. Saya juga jadi lebih sering menengok Instagram, Twitter, YouTube, dan ehem, TikTok. Aku suka boring goyang mama.. eh maaf.

Tiga Pilihan Presiden Indonesia, Siapa Bisa Dipercaya?

Tidak ada. Politisi semestinya tidak diberi kepercayaan utuh – sebagus apapun kinerjanya di masa lalu dan rencana-rencana yang diwacanakan untuk masa depan. Ia patut untuk terus dicurigai, dikritik, dan dituntut atas kekuasaan yang akan/telah dimilikinya. Lord Acton, guru besar Universitas Cambridge, pernah bilang: power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely . Kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut cenderung akan korup secara absolut. Kabar baiknya, rakyat punya hak untuk terus mengawasi kekuasaan yang telah dimandatkan pada penguasa. Hal itu dijamin undang-undang. Tapi, hal itu tidak akan terjadi jika penguasa tidak memberi ruang untuk dikritik tuannya dan melihat segala bentuk kritik sebagai ancaman atas kekuasaannya. Seorang teman pernah bilang kalau saja saya tahu orang-orang di balik ketiga pasangan dari capres dan cawapres yang tersedia ditambah lagi rekam jejak yang menyertai mereka, saya pasti takut dan enggan untuk memihak ketiga