Demi kebaikan bersama, untuk
sementara waktu, segala bentuk aktivitas kesenangan duniawi harus dikurangi.
Tidak ada lagi kuliah pagi, ngopi-ngopi, judi, atau lomba karapan sapi. Alhasil,
hasrat untuk bertahan hidup di tengah pandemi seperti saat ini membawa kita ke
tempat yang sama: internet.
Akibat ruang gerak di dunia nyata
yang dibatasi, kebanyakan dari kita pun beralih ke dunia maya. Tentu saja hal
tersebut berbanding lurus dengan lama durasi mereka menggenggam gawai yang
mereka punya. Saya juga jadi lebih sering menengok Instagram, Twitter, YouTube,
dan ehem, TikTok.
Aku suka boring goyang
mama.. eh maaf.
Positifnya, akhirnya saya bisa
menonton video-video yang dahulu saya masukkan ‘watch later’ YouTube dan
membaca utas atau berita yang memenuhi tab likes akun Twitter saya.
Tidak semua memberi informasi baru, tapi paling tidak, cukup untuk
dikategorikan kegiatan positif saat berselancar di internet.
Selain itu, setiap harinya, ada
saja konten yang menghibur dan informatif yang saya temukan. Dan jika kita
perhatikan baik-baik, variasi konten yang lewat di linimasa juga semakin beragam.
Muncul template-template guyonan baru sampai tantangan berantai di media
sosial. Menurut saya, fenomena tersebut membentuk dua kemungkinan. Pertama,
saat karantina, orang-orang jadi lebih kreatif. Kedua, mereka sudah hampir
gila.
Tapi, dalam upaya melawan rasa
bosan akibat tak boleh keluar rumah, menurut saya sah-sah saja orang
bersenang-senang di dunia maya. Apapun medianya, bagaimanapun caranya. Entah
itu menari di tiktok atau mengisi bingo di Instagram stories. Boleh. Silakan.
Namun, sayangnya, di sisi lain, sepertinya
karantina juga bisa membuat orang lebih mudah marah-marah. Terlebih dalam dunia
maya, kita bisa mengutarakan apapun tanpa menunjukkan wujud asli kita. Orang
bisa jadi lebih garang, lalu menghilang begitu saja.
Tren ‘Until Tomorrow’ misalnya.
Tren di mana orang harus mengunggah foto aibnya di Instagram dan tidak boleh
menghapusnya selama kurang lebih dalam waktu 24 jam. Tidak Cuma itu. Ada
jebakan terselubung di dalamnya. Siapapun yang menyukai foto tersebut akan
mendapat pesan langsung dan punya kewajiban untuk melakukan hal yang serupa.
Kenapa saya tahu? Saya sempat
mendapat pesan langsung hasil tantangan tersebut. Apa saya melakukannya? Tidak. Kenapa? Pertama, tidak ada aba-aba sebelumna. Kedua, saya punya hak untuk menolak.
Saya mengira tantangan akan berhenti
ketika saya tidak mengikutinya. Ternyata tidak. Semakin parah malah. Lebih dari
dua hari, linimasa dihiasi pelbagai macam foto aib orang-orang yang saya ikuti.
Terus terang, saya agak bingung dan terganggu. Tapi, daripada marah-marah pada
hal yang tidak bisa saya kontrol—maksud saya, banyak sekali yang melakukan tren
tersebut, kawan sampai artis pun ikutan—jadi, saya lebih memilih untuk beralih
ke Twitter.
Selain twit-twit sampah tapi
lucu, cuitan provokatif dari buzzer, kita semua tahu Twitter adalah arena yang
cocok bagi mereka yang gemar mencari musuh daring. Ada saja keributan yang
terjadi. Bisa persinggungan antar selebtwit, bisa SJW yang digeruduk
ramai-ramai. Pelbagai variasi pertengkaran selalu terjadi setiap harinya, jika
kita ingin mencari.
Terus terang, satu bagian dalam
diri saya suka mengamati keributan yang terjadi di Twitter. Sebab, tanpa ikut
campur, saya mendapatkan pelbagi perspektif orang lain dalam menyikapi suatu
masalah. Menyenangkan dan menambah ilmu.
Tapi, tadi pagi saya menemukan
cuitan yang cukup menarik perhatian. Bahkan cuitan tersebut telah menjadi bahan
candaan dari banyak orang akibat kecacatan logika penulis cuitan tersebut.
Awalnya saya pikir cuitan
tersebut hanya candaan, namun begitu saya cari tahu, ternyata kalimat itu
terkesan serius. Ya, semua orang berhak mengutarakan pendapat, pasal 28 UUD
1945 menjamin hal itu. Namun, saya juga berhak memberikan pendapat saya
mengenai pendapat orang lain.
Cuitan tersebut memang fakta. Dalam
artian, setiap harinya ada orang yang kesulitan makan. Tapi mengatasi masalah
tersebut dengan mendorong orang lain untuk tidak mengunggah foto makanan adalah
solusi yang lucu. Analoginya, menurut saya, keliru di pelbagai level.
Dengan analogi yang sama, apa
saya tidak boleh berjalan, karena entah jauh di sana ada orang yang tak mampu
berjalan?
Memusingkan sesuatu yang di luar kontrol
memang tak seharusnya dilakukan. Selain buang-buang waktu, aktivitas tersebut
tak akan mengubah apapun. Justru menyiksa diri sendiri. Jadi, marilah kita
memberdayakan kemampuan kita untuk mengatasi sesuatu yang sepantasnya kita
atasi dan mempunyai kemungkinan untuk diubah.
Saya yang sekarang takkan mau
mengatur menjadi presiden AS karena itu di luar kontrol dan kewajiban sebagai
warga negara biasa. Dan memang saya tidak ada niatan menggulingkan Trump.
Lagipula, apa salahnya memfoto
makanan? Toh, bisa jadi, orang lain hanya mengapresiasi diri sendiri setelah
seharian bekerja keras. Maksud saya, kenapa harus sebegitu mengatur aktivitas
dunia maya orang lain. Terlebih, sekarang kita bisa memilih konten mana yang kita
kehendaki lewat di linimasa atau tidak, kenapa harus memusingkan kebahagiaan
orang lain?
Di tengah masa pandemi dan
karantina seperti sekarang, orang mungkin butuh pelampiasan. Pelarian. Dan mungkin
mereka mendapatkan kebahagiaan dari bermain di media sosial. Apapun itu. Tiktok,
bingo, until tomorrow, apapun. Bebas.
Sebab, batasan dari kesenangan
berekspresi di dunia nyata maupun maya adalah hak orang lain. Selama tidak
melewati hak orang lain, terserah. Dalam salah satu mata kuliah komunikasi yang
saya pelajari, lupa saya spesifiknya, ada teori yang namanya uses and
gratifications. Intinya, kita, masyarakat, sekarang dapat menentukan media
mana yang ingin kita tonton menyesuaikan kebutuhan dan kepuasan diri kita
sendiri.
Jadi, cukuplah mencampuri
kebahagiaan orang lain selama tidak mengganggu hak kita. Kalaupun mengganggu,
media sosial punya tombol mute atau block, asal kalian tahu. Terakhir: let
people enjoy things.
Sama nih ya, gara-gara disuruh di rumah,yang saya lakuakan juga berselancar di dunia maya, kadang sangking seringnya sampai kebanyakan informasi yang masuk, sampe bingung sendiri juga.
BalasHapusHooh, pusing nyaringnya. Makanya, beberapa jam sekali coba cari aktivitas lain haha
Hapus