![]() |
Saya tidak pernah berencana untuk hidup di kala pandemi seperti
sekarang. Sehingga saya tak tahu-menahu perihal langkah-langkah pencegahan wabah atau
upaya pertahanan diri selama masa karantina. Untuk saat ini, satu-satunya
rencana yang saya punya adalah, tentu saja, jangan sampai mati karena korona.
Minimnya pengetahuan soal pandemi dan bagaimana cara hidup
yang sehat memaksa saya untuk banyak membaca. Sejak wabah covid-19 ini
menyeruak di Tiongkok pada awal tahun 2020, sedikit-demi-sedikit saya sudah
mulai mencari tahu soal wabah ini. Seperti dari mana wabah ini, penyebabnya
apa, sampai risiko terburuknya apa dan seterusnya.
Oh, teryata wabah ini sejenis flu. Gejalanya pun lumrah—bersin,
batuk, demam—dan kemungkinan kena kerokan juga akan beres. Itu pemikiran saya
waktu itu. Bahkan, ketika internet ramai, lebih spesifik lagi, warganet dalam
negeri yang dengan cerdas dan lihainya membuat meme-meme seputar wabah
ini, saya juga sempat tertawa.
Lalu, saat fakta menyebutkan wabah ini dapat membunuh dan
menular dengan cepat, saya mulai khawatir. Setelah itu, saya jadi merasa
bersalah menertawakan lelucon coal covid-19. Lambat laun, kasus positif di
Tiongkok membludak. Lebih buruk dari itu, virus sialan ini menyebar ke berbagai
negara layaknya sedang promosi album baru.
Kemudian, Senin, 2 Maret 2020, Pak Presiden mengumumkan kasus covid-19
pertama di Indonesia. Dua orang warga Depok positif terjangkit virus ini. Setelah
ditelusuri lebih lanjut, mereka berdua tertular setelah sempat berinteraksi dengan
orang Jepang yang datang ke Indonesia.
Saya semakin khawatir.
Di sisi lain, beberapa orang pemerintahan malah mengeluarkan
pernyataan-pernyataan yang bernada meremehkan penyebaran virus ini. Mulai dari
anggota DPR Ribka Tjiptaning menyebut korona sebagai ‘Komunitas Rondo Mempesona’,
lalu Menkopolhukam Mahfud MD menyebut Indonesia satu-satunya negara besar di
Asia yang tidak kena korona, sampai kelakar Menhub yang bilang Indonesia kebal
korona karena rajin makan nasi kucing. Banyak sebenarnya kalau kalian bersedia
meluangkan waktu untuk mencari.
Diberi kata-kata seperti itu, jangankan covid-19, saya juga
kesal sendiri mendengarnya.
Kemudian angka positif korona terus bertambah hingga
menyebabkan hampir kita semua harus mengkarantina diri sendiri di rumah
masing-masing. Seperti sekarang. Tanpa tahu sampai kapan. Penasaran, saya Kembali
berselancar di dunia maya mencari bacaan tentang pandemi-pandemi yang pernah
terjadi sebelumnya.
Sejauh ini, menurut data yang disajikan Visual Capitalist, wabah
black death adalah pandemi terparah yang pernah terjadi di sejarah umat
manusia. Hanya dalam kurun waktu empat tahun, 1347-1351, total korban meninggal
sampai 200 juta orang. Hampir seperti seluruh populasi orang Indonesia saat
ini. Gila.
Sementara itu, tiga pandemic sebelum Covid-19: SARS, EBOLA,
dan MERS juga memakan waktu yang cukup lama, namun korban yang tercatat tidak
sebanyak Black Death. Terima kasih kemajuan teknologi kesehatan.
Detailnya seperti ini SARS (2002-2003) korban 770 jiwa,
EBOLA (2014-2016) 11.000 jiwa, dan MERS (2015-sekarang) 850 jiwa. Sementara
itu, Covid-19 yang baru saja muncul beberapa bulan telah menelan korban
sebanyak 41.200 jiwa. Angka yang sangat mengkhawatirkan. Dan, sampai saat ini,
vaksin yang terbukti ampuh menyudahi masa pandemi gara-gara virus ini masih
belum ditemukan.
Sebenarnya, mortality rate covid-19 masih jauh dibawah wabah-wabah
lainnya. Menurut salah satu jurnal di MDPI, mortality rate SARS 10%, MERS 37%,
dan Covid-19 tidak sampai 5%. Hanya saja, penyebaran virus ini cepat sekali dan
sifatnya seperti pemantik. Orang-orang yang sebelumnya punya riwayat penyakit
sebelumnya akan lebih terancam kondisinya.
Sembari menunggu ilmuwan bereksperimen, satu-satunya
pencegahan yang bisa dilakukan adalah memperlambat penyebaran covid-19 ini.
Istilah-istilah asing yang baru saya dengar seperti social distancing, physical
distancing, self-quarantine dan lockdown menjadi bahan bacaan saya
sehari-hari.
Hampir tiga minggu saya berdiam diri di rumah Bersama adik. Kuliah
dan sekolah kami sama-sama dilakukan secara daring. Sebagian besar waktu kami
habiskan dengan main gim dan sesekali menuntaskan tanggungan tugas. Tapi, bagaimanapun
juga, bosan rasanya.
Bicara soal karantina atau isolasi diri, saya ingat film
buatan Stanley Kubrick yang berjudul The Shining. Dalam film itu, intinya, ada satu
keluarga—ayah, ibu, anak—tinggal di sebuah
hotel di area perhutanan untuk sementara waktu sebagai perawat atau penjaga di
hotel tersebut, selama tempat itu diistirahatkan.
Terus apa hubugannya? Mereka hanya bertiga di hotel
tersebut. Terisolasi dari dunia luar. Satu-satunya alat komunikasi hanya bisa
menjangkau pos polisi dekat situ. Selain itu, mereka hanya menjalankan rutinitas
berulang-ulang selama berhari-hari. Dan lama-kelamaan mereka hilang akal.
Saya belum menemukan teori yang mendukung pernyataan saya
selanjutnya, tapi bisa jadi hal tersebut karena konsep isolasi itu sendiri
orang bisa hilang kontrol. Sebagai makhluk sosial, kita butuh teman. Kita butuh
berinteraksi. Kita butuh saling berkomunikasi. Itulah sebabnya World Health
Organization (WHO) mengubah istilah social distancing menjadi physical
distancing karena mereka ingin kita berkomunikasi atau besosialisasi meskipun
terhalang batasan jarak. Bersosialisai bisa jadi obat ampuh untuk mengurangi
rasa bosan di rumah seharian. Terlebih dengan bantuan segala aplikasi yang ada
seperti Skype, Zoom, dan lain-lain.
Oke, saya ide saya sudah habis. Intinya jaga kesehatan selalu
dan jangan lupa bersosialiasi meski terhalang jarak, ya. Semoga kita lolos dari
pandemi kali ini seperti manusia di masa lalu. Amin.
Komentar
Posting Komentar