Langsung ke konten utama

Mungkin Kitalah Power Rangersnya




Beberapa waktu yang lalu, iseng saja, saya menelusuri rekam jejak aktivitas daring diri sendiri. Tidak banyak yang bisa ditemukan selain kealayan yang murni. Cuman satu akun yang berhasil saya lacak, tentu saja takkan saya sebutkan di sini, tapi kalau kalian punya waktu luang untuk mencari, silakan. Tak ada yang menghalangi. Sebab, di sisi lain, saya masih berusaha dengan pengetahuan yang saya punya untuk melenyapkan aib tersebut.


Malu, jelas. Menyesal, sedikit banyak, iya. Saya ingin bertanya apa yang ada di pikiran saya waktu itu sampai-sampai dengan sadar membuat akun serta melontarkan pernyataan-pernyataan yang menyiksa logika saya yang sekarang. Tapi, tanpa pengalaman saya-yang-dulu, maka saya-yang-sekarang tidak akan seperti saat ini.

Seperti halnya power rangers—trivia, profesi tersebut sempat masuk ke dalam cita-cita yang saya impikan, namun perlahan menghilang saat mendekati masa akil baligh—kita semua berubah. Tak perlu jauh-jauh belasan tahun, saya-yang-kemarin saja bisa jadi sangat bertolak belakang dengan saya-yang-sedang-menulis-tulisan-ini. 

Bahkan, contoh lain, kerap kali saya menghapus caption atau twit sepersekian detik setelah saya mempublikasikannya. Saya merasa argument yang tertulis sudah tidak relevan lagi dan jika dibiarkan, bisa mengancam reputasi yang saya miliki. Itulah, manusia—yang mana adalah saya, kamu, kita, cie, berubah.

Maka, menjadikan masa lalu sebagai satu-satunya acuan penilaian terhadap seseorang tentulah hal yang arogan. Jika kita menilai Umar Bin Khattab dari masa lalunya saja, maka beliau adalah musuh umat Islam yang selayaknya dibenci karena sikap kerasnya terhadap Islam waktu itu dan ketidaksukaannya terhadap Rasullullah SAW. Namun, setelah berubah, setelah masuk Islam, Umar justru jadi salah satu orang yang paling dipercaya Rasulullah SAW dan berjuang teguh dalam Islam hingga akhir hayatnya.

Mungkin agak bersegmen penjelasannya, maaf. Itu contoh yang pertama kali terlintas di kepala. Saya rasa tak perlu contoh lain, sebab saya yakin kalian sudah paham dengan poin yang ingin saya sampaikan. Mungkin sekarang saya setuju sekali dengan pendapat di tulisan kali ini, tapi tidak ada yang menjamin saya akan tetap teguh pendirian dalam satu minggu ke depan, satu bulan ke depan, dan seterusnya. Sebab, setiap harinya dalam menjalani hidup, ada saja hal-hal yang baru saya ketahui dan mengubah cara pandang akan sesuatu.


Jadi, kesimpulannya, power rangers memang hanya rekaan, karena kita tak pernah benar-benar bertemu secara langsung, atau jangan-jangan mungkin kitalah power rangersnya—yang selalu berubah saat konflik datang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Move On / Let Go

Semua yang hidup akan mati. Semua yang datang akan pergi. Semua yang gagal salah Jokowi.  Move on adalah fase. Ia tak melulu berkaitan dengan proses pemulihan dari pasangan sebelumnya. Ia juga berkaitan dengan perdamaian dengan masa lalu dan kemungkinan di masa depan.  Move on adalah masa perpindahan. Penyesuaian dari satu kondisi satu dengan kondisi lainnya. Kondisi itu bisa berarti orang maupun tempat yang pernah punya keterikatan. Bisa pasangan, orang tua, kantor, rumah, dan hal-hal yang pernah jadi rutinitas. Maka, perpindahan perlu persiapan yang baik agar tidak terbebani selama di perjalanan. Dan beginilah saya menyikapi perpindahan: Tidak semuanya harus sesuai maumu Waktu kecil, saya bercita-cita ingin menjadi power rangers merah dan menjalani hari-hari dengan membasi kejahatan di bumi. Tapi, kenyataanya tidak bisa. Ada banyak hal yang menghalangi keinginan saya terwujud, salah satunya adalah logika akal sehat. Alhasil, kemauan (dan niat mulia) itu terpaksa saya kubur dalam-da

Batas Kesenangan di Dunia Maya

Demi kebaikan bersama, untuk sementara waktu, segala bentuk aktivitas kesenangan duniawi harus dikurangi. Tidak ada lagi kuliah pagi, ngopi-ngopi, judi, atau lomba karapan sapi. Alhasil, hasrat untuk bertahan hidup di tengah pandemi seperti saat ini membawa kita ke tempat yang sama: internet. Akibat ruang gerak di dunia nyata yang dibatasi, kebanyakan dari kita pun beralih ke dunia maya. Tentu saja hal tersebut berbanding lurus dengan lama durasi mereka menggenggam gawai yang mereka punya. Saya juga jadi lebih sering menengok Instagram, Twitter, YouTube, dan ehem, TikTok. Aku suka boring goyang mama.. eh maaf.

Tiga Pilihan Presiden Indonesia, Siapa Bisa Dipercaya?

Tidak ada. Politisi semestinya tidak diberi kepercayaan utuh – sebagus apapun kinerjanya di masa lalu dan rencana-rencana yang diwacanakan untuk masa depan. Ia patut untuk terus dicurigai, dikritik, dan dituntut atas kekuasaan yang akan/telah dimilikinya. Lord Acton, guru besar Universitas Cambridge, pernah bilang: power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely . Kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut cenderung akan korup secara absolut. Kabar baiknya, rakyat punya hak untuk terus mengawasi kekuasaan yang telah dimandatkan pada penguasa. Hal itu dijamin undang-undang. Tapi, hal itu tidak akan terjadi jika penguasa tidak memberi ruang untuk dikritik tuannya dan melihat segala bentuk kritik sebagai ancaman atas kekuasaannya. Seorang teman pernah bilang kalau saja saya tahu orang-orang di balik ketiga pasangan dari capres dan cawapres yang tersedia ditambah lagi rekam jejak yang menyertai mereka, saya pasti takut dan enggan untuk memihak ketiga