Langsung ke konten utama

Move On / Let Go

Semua yang hidup akan mati. Semua yang datang akan pergi. Semua yang gagal salah Jokowi. 

Move on adalah fase. Ia tak melulu berkaitan dengan proses pemulihan dari pasangan sebelumnya. Ia juga berkaitan dengan perdamaian dengan masa lalu dan kemungkinan di masa depan. 

Move on adalah masa perpindahan. Penyesuaian dari satu kondisi satu dengan kondisi lainnya. Kondisi itu bisa berarti orang maupun tempat yang pernah punya keterikatan. Bisa pasangan, orang tua, kantor, rumah, dan hal-hal yang pernah jadi rutinitas.

Maka, perpindahan perlu persiapan yang baik agar tidak terbebani selama di perjalanan. Dan beginilah saya menyikapi perpindahan:

Tidak semuanya harus sesuai maumu

Waktu kecil, saya bercita-cita ingin menjadi power rangers merah dan menjalani hari-hari dengan membasi kejahatan di bumi. Tapi, kenyataanya tidak bisa. Ada banyak hal yang menghalangi keinginan saya terwujud, salah satunya adalah logika akal sehat. Alhasil, kemauan (dan niat mulia) itu terpaksa saya kubur dalam-dalam. 

Waktu remaja, saya bertanya-tanya kenapa setiap laki-laki harus merelakan kemaluannya disunat? Tidak bisakah dibiarkan saja agar saya tidak pernah merasakan sakit selama berminggu-minggu? Lagi-lagi, kenyataannya tidak bisa. 

Waktu sedikit dewasa, saya sempat menjalin hubungan dengan beberapa perempuan dan berharap bisa terus berjalan baik selamanya. Dan lagi-lagi, tidak bisa. Tidak semuanya harus sesuai dengan kemauan saya sendiri. Ada banyak faktor lain yang harus dikompromi untuk menjaga kewarasan.

Sadar bahwa kita tak punya kendali penuh atas semua yang terjadi adalah salah satu cara untuk hidup lebih tenang. Jadi, menurut Mas Kun, relakanlah yang tak seharusnya untukmu.

Semua akan berakhir dengan kebaikan

Saya selalu berpikiran bahwa apapun yang terjadi punya alasan dan rasanya semuanya akan berakhir dengan kebaikan. Daripada sumpah serapah menyesali keterlambatan masuk kantor, saya lebih memilih berpikir: mungkin jika saya berangkat 1 menit lebih awal, saya akan mengalami kecelakaan di perjalanan.

Hal yang sama juga saya terapkan apabila menyikapi hal-hal buruk lainnya. Kepergian mendadak, kesialan berkelanjutan, dan hal-hal menyedihkan lainnya. Selalu ada hal yang lebih baik. Pasangan yang lebih baik, rumah yang lebih baik, kantor yang lebih baik, dan hal-hal baik lainnya.

Tentu semuanya tidak selalu berjalan sesuai rencana, seperti penjelasan di poin sebelumnya, tapi setidaknya berpikir positif akan membuat diri sedikit lebih tenang. Energi bisa dimanfaatkan dengan baik ketimbang menyesali hal-hal yang lalu.

Kita tidak punya apa-apa 

Susah merelakan itu bermuara dari rasa memiliki yang berlebihan. Jika motor saya tiba-tiba hilang, jelas energi saya bakal terkuras untuk meruntut skenario terbaik untuk menemukannya kembali. Tanya teman, lapor polisi, chat mantan, bikin pengumunan, semua kemungkinan akan diusahakan. Apa yang dirasa penting akan selalu punya tempat untuk didahulukan.

Tapi, bagaimana dengan skenario dimana sesuatu yang kita anggap penting bukan benda mati? Bagaimana jika dia punya kesadaran sendiri untuk menentukan kemauannya sendiri? 

Ada masa dimana kita tak punya apa-apa, lalu punya apa-apa. Seharusnya, saat apa-apa itu hilang, kita tidak apa-apa.

Maka, pemahaman terkait ketidakpunyaan atas apapun juga perlu disadari. Semua yang hidup akan mati. Semua yang datang akan pergi. Semua yang gagal salah Jokowi.

Sibuk lebih hidup

Waktu luang terlalu banyak tidak akan memberi apapun kecuali pikiran-pikiran sesat. Saya tidak tahu dengan kamu, tapi saya sendiri kadang tidak bisa mengontrol pikiran sendiri. Tiba-tiba ia penasaran tentang kabar Bio Paolin, lalu ia bertanya apa saya benar-benar anak kandung dari orang tua, kemudian dalam sekejap telah ada draft yang berisi segala aib masa lalu yang jika dipikir lagi tak akan bisa menyakiti lagi jika saya tidak menyediakan waktu bagi pikiran untuk mengungkitnya kembali.

Sibuk, baik dengan kewajiban maupun kesukaan, sedikit banyak akan mengalihkan perhatian soal sedih akibat berpisah dari apapun itu. Mulailah membaca buku-buku, belajar menjadi, atau bercocok tanam ganja, apapun yang menjaga pikiranmu tetap sibuk dan mengabaikan cerita-cerita buruk.

Move on / let go

Sebelum move on atau berpindah, ada satu tahap yang sebaiknya tidak dilewatkan yaitu let go atau merelakan. Merelakan semua yang terjadi, semua yang menyakiti, semua yang pergi, semua yang hilang, semuanya. 

Berpindah tanpa menyelesaikan masalah di masa lalu hanya akan membebani masa depan. Uhuy.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tiga Pilihan Presiden Indonesia, Siapa Bisa Dipercaya?

Tidak ada. Politisi semestinya tidak diberi kepercayaan utuh – sebagus apapun kinerjanya di masa lalu dan rencana-rencana yang diwacanakan untuk masa depan. Ia patut untuk terus dicurigai, dikritik, dan dituntut atas kekuasaan yang akan/telah dimilikinya. Lord Acton, guru besar Universitas Cambridge, pernah bilang: power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely . Kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut cenderung akan korup secara absolut. Kabar baiknya, rakyat punya hak untuk terus mengawasi kekuasaan yang telah dimandatkan pada penguasa. Hal itu dijamin undang-undang. Tapi, hal itu tidak akan terjadi jika penguasa tidak memberi ruang untuk dikritik tuannya dan melihat segala bentuk kritik sebagai ancaman atas kekuasaannya. Seorang teman pernah bilang kalau saja saya tahu orang-orang di balik ketiga pasangan dari capres dan cawapres yang tersedia ditambah lagi rekam jejak yang menyertai mereka, saya pasti takut dan enggan untuk memihak ketiga...

Tak Apa Tak Tahu Semuanya

Terkadang ketidaktahuan justru memberikan ketenangan.  Sementara itu, di sisi lain, upaya untuk mengetahui segalanya malah mengundang rasa gelisah. Hadirnya internet memberikan akses tanpa batas terhadap informasi. Lantas media sosial melengkapinya dengan alur penyebaran yang lebih masif dan cepat.  Setiap membuka media sosial kita disuguhkan dengan beragam informasi. Mungkin tidak semuanya berguna dan relevan, tapi kita harus menerimanya. Kita seolah dipaksa untuk mengikuti setiap peristiwa yang ada agar tetap dianggap dalam pergaulan. Pagi ini topiknya peran suami-istri dalam rumah tangga, nanti malam berubah soal hubungan budaya dan hak asasi manusia dalam penyelenggaraan Piala Dunia, lalu saat belum paham betul, orang-orang sudah beralih ke misteri meninggalkan keluarga di Kalideres.  Dua-puluh-empat jam sehari di depan layar rasanya tidak cukup untuk mengikuti semua yang terjadi. Selalu ada rasa resah karena takut ketinggalan berita. Fear of missing out . FOMO. Kenap...

Hal-hal Pernah dan Mungkin akan Terjadi

Suatu siang saya mengobrol dengan seorang teman. Kemudian terlintas pertanyaan, oh tidak, saya sudah mempersiapkannya sebagai opsi darurat apabila kami kehabisan topik pembicaraan. Saya bertanya: Apa kekuatan yang pengen kamu punya dan kenapa? Dia menjawab, "Kamu nanya? Iya? Aku kasih tahu, ya.." Dia jawab teleportasi. Perpindahan super cepat dari satu tempat ke tempat lain--menembus ruang dan waktu. Rasanya, dia menyukai ide bahwa dia bisa pergi ke mana saja, kapan saja, dan tidak perlu berurusan dengan kemacetan, orang-orang tak sabaran, dan perempatan Gedangan. Sementara itu, saya menjawab pertanyaan yang sama dengan berharap memiliki kekuatan untuk mampu mengontrol pikiran diri sendiri. Bukan, bukan seperti Profesor Xaxier dalam semesta X-Men yang mampu membaca pikiran dan memanipulasi orang lain. Saya hanya ingin mengontrol pikiran diri sendiri. Terdengar tolol dan egois memang. Tapi jika dipikir-pikir lagi, semua hal yang telah, sedang, dan mungkin akan saya lakukan ber...