Langsung ke konten utama

Waktu Berpikir

Kapan terakhir kali kamu meluangkan waktu untuk membiarkan pikiranmu menentukan maunya sendiri? 

Ada dua situasi yang bisa membantu menjawab pertanyaan di atas. Pertama, ingat-ingat kembali saat di mana handphone kehabisan daya---kalau pun ada daya yang tersisa, sinyal dan internet adalah mitos belaka. Situasi kedua adalah saat buang hajat dan tak ada apapun yang bisa dibaca untuk membunuh waktu selain coretan 'Joko love Mega' di belakang pintu. 

Kira-kira apa yang memenuhi pikiran?

Bayangan akan rencana-rencana di masa depan? Atau hal-hal memalukan yang terjadi di masa lalu? Apapun bisa terpikirkan. Semestinya memang begitu. Kontrol penuh atas jalan pikiran ada di diri sendiri. Bukan mengikuti opini yang sedang populer.

Misal, kita bisa saja ikut marah dan melontarkan setiap kosakata kotor yang kita punya pada satu hal yang jelas-jelas tak ada kaitannya dengan kita. Penyebabnya sepele, ada twit yang kebetulan lewat di linimasa dan bernada negatif pada satu orang tertentu. Kemudian, saat tahu bahwa twit itu diamini ribuan orang, maka opini tersebut seolah-olah menjadi fakta mutlak yang tak terbantahkan.

Misal lagi, setiap detik, jutaan konten membanjiri media sosial. Mulai dari Twitter, Tiktok, Instagram, Facebook, MiChat, apapun. Dan setiap swipe, kita mendapat konten baru, meski otak belum mencerna konten yang telah kita lihat 3 detik yang lalu. 

Satu lagi, berapa banyak barang yang sebenarnya tidak kamu butuhkan, tapi akibat saran orang asing kamu berakhir dengan membelinya? Berapa kali kamu memenuhi terkena umpan orang-orang yang menamai dirinya influencer--padahal setiap kita adalah memiliki pengaruh bagi orang lain? Berapa kali penyesalan kamu rasakan dari keputusan yang serba dadakan?

Begitu seterusnya hingga kita tak pernah memberikan waktu berpikir untuk pikiran sendiri. Semuanya terstimulasi dari hal-hal yang kita lihat secara berkala, hal-hal yang mungkin tak ada hubungannya sama sekali dengan keberlangsungan hidup kita. Tapi menyita begitu banyak waktu yang semestinya bisa dimanfaatkan lebih baik.

Oh, jelas. Manusia tidak bisa lepas dari pengaruh hal-hal eksternal dalam pembentukan pikiran. Tapi, setidaknya, harus ada waktu berpikir sendiri. Mempertimbangkan baik-buruk sendiri. Mencerna apa yang ada. Memaknai peristiwa-peristiwa. Seperti yang sedang saya lakukan saat ini: menulis.

Menulis dapat membantu melatih fokus dan menuangkan pikiran ke dalam bentuk yang lebih menyenangkan untuk dinikmati. Biar riuh yang ada di kepala keluar sebagai tulisan. Meskipun, jika diruntut baik-baik, tidak ada poin yang bisa diambil darinya. Meski begitu, ini adalah upaya yang layak dicoba untuk berlatih mengendalikan pikiran.

Paling tidak, inilah hasilnya ketika saya meluangkan waktu untuk membiarkan pikiran menentukan maunya sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tiga Pilihan Presiden Indonesia, Siapa Bisa Dipercaya?

Tidak ada. Politisi semestinya tidak diberi kepercayaan utuh – sebagus apapun kinerjanya di masa lalu dan rencana-rencana yang diwacanakan untuk masa depan. Ia patut untuk terus dicurigai, dikritik, dan dituntut atas kekuasaan yang akan/telah dimilikinya. Lord Acton, guru besar Universitas Cambridge, pernah bilang: power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely . Kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut cenderung akan korup secara absolut. Kabar baiknya, rakyat punya hak untuk terus mengawasi kekuasaan yang telah dimandatkan pada penguasa. Hal itu dijamin undang-undang. Tapi, hal itu tidak akan terjadi jika penguasa tidak memberi ruang untuk dikritik tuannya dan melihat segala bentuk kritik sebagai ancaman atas kekuasaannya. Seorang teman pernah bilang kalau saja saya tahu orang-orang di balik ketiga pasangan dari capres dan cawapres yang tersedia ditambah lagi rekam jejak yang menyertai mereka, saya pasti takut dan enggan untuk memihak ketiga...

Tak Apa Tak Tahu Semuanya

Terkadang ketidaktahuan justru memberikan ketenangan.  Sementara itu, di sisi lain, upaya untuk mengetahui segalanya malah mengundang rasa gelisah. Hadirnya internet memberikan akses tanpa batas terhadap informasi. Lantas media sosial melengkapinya dengan alur penyebaran yang lebih masif dan cepat.  Setiap membuka media sosial kita disuguhkan dengan beragam informasi. Mungkin tidak semuanya berguna dan relevan, tapi kita harus menerimanya. Kita seolah dipaksa untuk mengikuti setiap peristiwa yang ada agar tetap dianggap dalam pergaulan. Pagi ini topiknya peran suami-istri dalam rumah tangga, nanti malam berubah soal hubungan budaya dan hak asasi manusia dalam penyelenggaraan Piala Dunia, lalu saat belum paham betul, orang-orang sudah beralih ke misteri meninggalkan keluarga di Kalideres.  Dua-puluh-empat jam sehari di depan layar rasanya tidak cukup untuk mengikuti semua yang terjadi. Selalu ada rasa resah karena takut ketinggalan berita. Fear of missing out . FOMO. Kenap...

Hal-hal Pernah dan Mungkin akan Terjadi

Suatu siang saya mengobrol dengan seorang teman. Kemudian terlintas pertanyaan, oh tidak, saya sudah mempersiapkannya sebagai opsi darurat apabila kami kehabisan topik pembicaraan. Saya bertanya: Apa kekuatan yang pengen kamu punya dan kenapa? Dia menjawab, "Kamu nanya? Iya? Aku kasih tahu, ya.." Dia jawab teleportasi. Perpindahan super cepat dari satu tempat ke tempat lain--menembus ruang dan waktu. Rasanya, dia menyukai ide bahwa dia bisa pergi ke mana saja, kapan saja, dan tidak perlu berurusan dengan kemacetan, orang-orang tak sabaran, dan perempatan Gedangan. Sementara itu, saya menjawab pertanyaan yang sama dengan berharap memiliki kekuatan untuk mampu mengontrol pikiran diri sendiri. Bukan, bukan seperti Profesor Xaxier dalam semesta X-Men yang mampu membaca pikiran dan memanipulasi orang lain. Saya hanya ingin mengontrol pikiran diri sendiri. Terdengar tolol dan egois memang. Tapi jika dipikir-pikir lagi, semua hal yang telah, sedang, dan mungkin akan saya lakukan ber...