Langsung ke konten utama

The Idea of Being Loved

Hati-hati dengan apa yang kamu lihat setiap hari. Sebab, cepat atau lambat, hal-hal itu akan mempengaruhi pikiran dan mengaburkan kenyataan.

Jika kamu senang menyekoki diri dengan konten-konten konspirasi cocoklogi setiap hari, maka besar kemungkinan pikiranmu akan jadi kacau dan bebal pada kebenaran--persetan dengan bukti konkret yang diberikan. 

Jika kamu hobi mendengarkan ceramah tanpa mendampingi diri akal sehat, maka bisa saja, tanpa disadari, panutan yang selama ini kamu anggap sebagai juru selamat ternyata tak lebih dari orang yang gila akan martabat.

Hati-hati dengan apa yang kamu lihat setiap hari. 

Jika kamu kerap menemui cuplikan film yang memamerkan kemesraan hingga membuatmu merasa kesepian, iri, dan dengki, maka berhentilah. Keluar. Lihat matahari dan cium bau tahi kucing yang sudah mengering tiga hari--biar kamu ingat bahwa kenyataan kadang tidak semenye-menye itu.

Takutnya, jika terus-terusan mememnuhi diri dengan konten-konten kemesraan--yang bisa jadi settingan--pikiran akan kacau. Muncul standarisasi soal kemesraan dan cinta. Jika dia tidak mengirimi bunga melati setiap malam jumat, berarti dia tidak cinta. Jika dia tidak membangunkan 1000 candi dalam semalam, jelas dia tidak sayang. Padahal, setiap orang jelas punya cara dan keterbatasan tertentu dalam menunjukkan perasaan.

Oleh sebab itu, suatu waktu, saya melempar pertanyaan di Instagram Story soal the idea of being loved. Kira-kira begini: Do you really love your partner or you just love the idea of being loved?

Apa kamu benar-benar mencintai pasanganmu atau hanya mencintai pemikiran bahwa kamu dicintai?

Contoh terbaik untuk menjelaskan the idea of being loved adalah kelakukan Tom dalam film 500 Days of Summer. Jika kamu belum menonton film tersebut, berhenti di sini. Pergi. Selanjutnya bakal saya ceritakan poin penting dari film yang berhasil memecah belah penontonnya menjadi dua kubu: Tim Tom atau Tim Summer?

Ringkasan cerita: Tom bertemu dengan Summer di kantor. Ternyata mereka mempunyai banyak kecocokan dan sering menghabiskan waktu bersama. Tom merasa Summer adalah belahan jiwanya. Kemudian Tom, dalam ekspektasinya, perlu digarisbawahi karena penting, merasa bahwa Summer merasakan hal yang sama. Hal itu menangkis semua kemungkinan terburuk mengenai hubungan mereka.

Namun, pada akhirnya, Summer tidak memiliki rasa yang sama--setidaknya tidak seyakin apa yang dimiliki Tom kepadanya. Dan cerita mereka berhenti di situ. Seolah membuat Summer berada di pihak yang jahat dan Tom adalah pihak yang disakiti.

Salah satu tanda pendewasaan adalah menyadari bahwa Summer tidak sepenuhnya salah. Justru Tom-lah yang menyakiti dirinya sendiri dengan segala ekspektasi dan pengandaian yang ia ciptakan selama dekat dengan Summer.

Tom loves the idea of being loved by Summer, but reality is often disappointing.

Saya berasumsi kamu telah paham soal the idea of being loved. Jadi, baca kembali pertanyaan berikut dan pikirkan baik-baik jawabannya: Do you really love your partner or you just love the idea of being loved?

Jangan jadi jahat dengan mementingkan diri sendiri. Berharap pasangan melakukan semua adegan romantis yang kamu temui di sosial media. Berusaha punya pasangan hanya karena pengen punya pasangan, tapi tidak benar-benar mencintai seutuhnya.

Menurut saya, kamu benar-benar mencintai pasanganmu saat pasanganmu melakukan hal paling biasa sekalipun, seperti tersenyum atau sekadar benapas, kamu merasa dia tetap spesial--dengan atau tanpa telur. 

Tapi, buat apa juga mendengar saran soal percintaan dari jomblo kan ya?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tidurlah Anji, Selamat Malam

Photo by Bastien Jaillot on Unsplash Ketika teman-teman ramai mengobrol soal pelbagai macam strategi untuk mengalahkan musuh di game online, diam adalah opsi terbaik yang saya punya. Saya tak mau merusuh dan memang tak begitu tahu akan istilah-istilah asing semacam skin, ranked, dan sejenisnya. Bisa dibilang, level pengetahuan saya cukup memprihatinkan. Tapi, ketika topik pembicaraan beralih ke dunia film, mulut saya akan selalu terbuka untuk meladeni setiap cabang bahasannya. Meski tidak paham betul, setidaknya saya punya cukup bekal jika ditanyai tentang istilah seperti plot hole, spin-off, easter eggs, overshadow, dan lain-lain. Di sisi lain, teman-teman saya yang cenderung lebih senang bermain game akan lebih sering jadi pendengar, ketimbang pembicara. Sama halnya ketika saya diajak berdiskusi soal Dota atau PUBG.

Hal-hal Pernah dan Mungkin akan Terjadi

Suatu siang saya mengobrol dengan seorang teman. Kemudian terlintas pertanyaan, oh tidak, saya sudah mempersiapkannya sebagai opsi darurat apabila kami kehabisan topik pembicaraan. Saya bertanya: Apa kekuatan yang pengen kamu punya dan kenapa? Dia menjawab, "Kamu nanya? Iya? Aku kasih tahu, ya.." Dia jawab teleportasi. Perpindahan super cepat dari satu tempat ke tempat lain--menembus ruang dan waktu. Rasanya, dia menyukai ide bahwa dia bisa pergi ke mana saja, kapan saja, dan tidak perlu berurusan dengan kemacetan, orang-orang tak sabaran, dan perempatan Gedangan. Sementara itu, saya menjawab pertanyaan yang sama dengan berharap memiliki kekuatan untuk mampu mengontrol pikiran diri sendiri. Bukan, bukan seperti Profesor Xaxier dalam semesta X-Men yang mampu membaca pikiran dan memanipulasi orang lain. Saya hanya ingin mengontrol pikiran diri sendiri. Terdengar tolol dan egois memang. Tapi jika dipikir-pikir lagi, semua hal yang telah, sedang, dan mungkin akan saya lakukan ber

Opinimu Tidak Sepenting Itu

Ada golongan orang yang merasa satu hari tidak cukup hanya 24 jam saja. Terlalu banyak urusan yang perlu diselesaikan, tapi terlalu sedikit waktu yang disediakan. Kemudian, di sisi lain, ada juga golongan orang yang seolah memiliki seluruh waktu di dunia. Salah satu tandanya adalah mereka mempunyai keleluasaan menggunakan waktu untuk beradu opini dengan orang asing di media sosial--yang kenal saja tidak. Saya adalah orang yang termasuk ke dalam golongan pertama dan iri dengan golongan kedua. Saya membayangkan orang-orang yang berada di golongan kedua--orang-orang yang aktif memberi dan meributkan opini, terutama hal-hal yang tidak sejalan dengan pola pikirnya--adalah mereka yang pintar mengatur waktu dan telah menyelesaikan seluruh tanggungannya di hari itu. Alhasil mereka punya waktu lebih untuk meladeni semua opini yang berseberangan dengannya. "Buah durian tidak enak," tulis si A di media sosialnya. "Eits, padahal buah durian itu enak, loh. Rasanya unik, baunya asyik,