Langsung ke konten utama

Berkarya: Ekspresi dan Ekspektasi


Waktu itu pukul sebelas malam. Tak ada kesibukan khusus yang saya lakukan hingga terjaga selarut itu, hanya mengamati linimasa akun media sosial saya, sebuah kebiasaan yang cukup sulit untuk dihilangkan. Kemudian, tiba-tiba, ponsel saya bergetar menandakan ada pesan masuk. Tentu bukan dari pacar saya, karena pasti ia sudah tidur sehabis azan isya, ditambah lagi saya tidak punya pacar. Oke. Pesan itu datang dari salah seorang teman. Berikut isi pesannya:



Saya sengaja menyembunyikan identitasnya, sebab saya takut namanya akan tenar apabila saya publikasikan di sini dan saya tak ingin dia menjadi orang yang sombong dan angkuh akibat keviralan yang fana. Terlepas dari itu, saya ingin menjaga harga dirinya. Dia pasti sangat putus asa untuk datang pada saya hanya demi meminta motivasi. Maksud saya, dari sekian banyak teman yang ia punya, paling tidak pasti ada orang yang lebih mumpuni untuk ditanyai perihal keluhannya ketimbang saya. Tapi, kenyataannya, dia memutuskan dengan sadar memilih bertanya pada saya, di situ saya merasa terhormat dan kalau bukan karena menjaga kejantanan, saya pasti telah menangis terharu. Sangat berlebihan.


Beruntung dalam bahasa Indonesia tidak ada pertanda khusus dalam kata ‘dia’ merujuk pada laki-laki atau perempuan. Jadi, semoga identitas teman saja menjadi rahasia dan harga dirinya tetap terjaga. 


Oya, tentu saja saya telah menjawab pertanyaannya dengan segala kata-kata bijak yang pernah saya baca atau dengar, agar mengesankan bahwa saya demikian. Dan untungnya, entah dia menyadari sandiwara saya atau memang benar-benar menerima perkataan saya, dia menanggapinya dengan serius, menurut saya setidaknya. Maka, tulisan ini adalah jawaban versi panjang atas pertanyaannya. Terima kasih telah memberi ide saya untuk menulis. 


Mari menjawab pertanyaan: kenapa saya berani menunjukkan karya-karya saya?


Sebelumnya, memang saya cukup rajin membagikan apa-apa hasil kreasi atau perwujudan ide saya ke media sosial, entah itu tulisan opini, puisi, coret-coretan, foto, video, dan semacamnya. Pantaskah disebut karya? Orang-orang yang berhak menilai dan itu bukan urusan saya. Fokus utama saya adalah mengekspresikan apa yang ada di dalam kepala dan apa yang sedang menjadi keresahan hati saya ke dalam medium yang suka.


Penilaian bagus tidaknya apa yang saya publikasinya sepenuhnya bukan kekhawatiran bagi saya. Saya tak pernah bilang karya saya bagus dan tak pernah mengharapkan dinilai orang demikian, meskipun, terus terang, sangat melegakan apabila ada orang memberikan apresiasi berupa pujian atau kritikan terhadap kreasi saya. Tapi, apresiasi adalah bonus. Sebab, kepuasan batin setelah menghasilkan sesuatu jauh lebih menyenangkan ketimbang kata-kata manis yang keluar dari mulut orang lain yang belum tentu tulus.


Penulis novel seri Harry Potter, J.K. Rowling, pernah mengatakan, “I just write what I wanted to write. I write what amuse me. It’s totally for myself.” Kata-kata itu juga saya katakan pada teman saya. Bagi saya, apa yang dikatakan Rowling tak hanya berlaku pada dunia tulis-menulis secara khusus, namun segala bentuk profesi yang menghasilkan suatu karya. Intinya, kita berkarya untuk diri kita sendiri.


Saya menulis apa yang ingin saya baca, saya memotret apa yang ingin saya lihat, saya bikin video yang ingin saya tonton dan semacamnya. Semuanya, pada dasarnya, kembali kepada kepuasan bagi diri saya sendiri. Terserah orang menyukai atau membecinya. Sekali lagi, itu bukan urusan saya.


Saya menyimpulkan banyak orang takut mempublikasikan karyanya karena takut dicibir dan dibilang jelek oleh orang lain. Hal tersebut sudah salah sedari awal. Bagian niat. Mereka berkarya untuk orang lain, bukan dirinya sendiri. Lagipula, apa batasan suatu karya bisa dikatakan jelek atau bagus? Itu penilaian yang sangat subjektif dan semestinya tak perlu terlalu dihiraukan. 


Selain sebagai sarana berekspresi, keberanian saya untuk mempublikasikan karya saya adalah mencoba menciptakan personal branding. Saya ingin menunjukkan sesuatu yang saya buat dan apa saja kemampuan yang saya miliki. Dengan begitu, akan muncul di pandangan orang-orang gambaran akan diri saya terhadap apa yang saya tekuni. Maksud saya, jika orang senang membagikan tulisannya, tentu orang tersebut senang menulis. Begitupun orang yang membagikan lagu cover, gambaran, video, dan medium karya lainnya.


Tak ada keinginan untuk dipandang sebagai orang yang jago, tapi hanya ingin orang-orang tahu, “Lihat, saya senang melakukan ini dan sedang belajar terus-menerus agar lebih baik.” Sebab, bagi saya, bersikap konsisten adalah salah satu elemen penting dalam proses pengembangan diri. Namun, di sisi lain, kita juga tak boleh terlalu berekspektasi terhadap karya yang kita buat. Sebab, kata Ernest Hemingway, “You must be prepared to work always without applause.”




Jika sudah terbentuk imej atau personal branding kita oleh orang-orang, kemudian, jika beruntung muncullah pelung-peluang yang dapat kita manfaatkan. Tahun lalu, saya diajak produksi film pendek milik kakak tingkat sebagai art director dengan foto-foto di instagram saya sebagai pertimbangan. Meski cuman bagian kecil, tapi saya mendapatkan pengalaman yang menyenangkan menggarap film secara serius dengan orang-orang yang lebih berpengalaman ketimbang saya. Kemudian, saya terpilih, bukan mencalonkan tapi ditunjuk, menjadi koor sie dokumentasi acara ospek jurusan, tentu bukan tanpa alasan dan pertimbangan. Lalu, dari kebiasaan saya membagikan tautan tulisan saya, seorang teman menunjukkan lowongan pekerjaan sebagai digital content creator di salah satu media, yang kemudian saya ambil dan ternyata lolos. Terkadang, peluang harus kita rangsang. Paansi.


Itu semua karena kebebalan saya menunjukkan karya saya ke media sosial. Maksud saya, mungkin ada orang yang lebih kompeten ketimbang saya, namun terlalu takut untuk mempublikasikannya, sehingga dunia tidak memperhitungkan keberadaannya. Jadi, mari tunjukkan karya atau kemampuan. Apapun itu. Sebab, semuanya butuh proses, dan berkreasi selagi bebas menurut kata hati adalah salah satu kepuasan batin yang menyenangkan.


Tapi, siapalah saya. Atau jangan-jangan kalian juga terlalu putus asa hingga memutuskan berkunjung ke sini mencari motivasi?

Baca Juga: Selera dan Menghargai Karya

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Move On / Let Go

Semua yang hidup akan mati. Semua yang datang akan pergi. Semua yang gagal salah Jokowi.  Move on adalah fase. Ia tak melulu berkaitan dengan proses pemulihan dari pasangan sebelumnya. Ia juga berkaitan dengan perdamaian dengan masa lalu dan kemungkinan di masa depan.  Move on adalah masa perpindahan. Penyesuaian dari satu kondisi satu dengan kondisi lainnya. Kondisi itu bisa berarti orang maupun tempat yang pernah punya keterikatan. Bisa pasangan, orang tua, kantor, rumah, dan hal-hal yang pernah jadi rutinitas. Maka, perpindahan perlu persiapan yang baik agar tidak terbebani selama di perjalanan. Dan beginilah saya menyikapi perpindahan: Tidak semuanya harus sesuai maumu Waktu kecil, saya bercita-cita ingin menjadi power rangers merah dan menjalani hari-hari dengan membasi kejahatan di bumi. Tapi, kenyataanya tidak bisa. Ada banyak hal yang menghalangi keinginan saya terwujud, salah satunya adalah logika akal sehat. Alhasil, kemauan (dan niat mulia) itu terpaksa saya kubur dalam-da

Kenapa Harus Panjang Umur?

Lucile Randon--perempuan asal Prancis--merupakan manusia tertua di dunia yang masih hidup per April 2022, semenjak meninggalkan Kane Tanaka. Lucile saat ini berumur 118 tahun dan tampaknya akan terus mempertahankan gelar manusia tertua yang masih hidup—satu bulan menjelang ulang tahun yang ke-117, ia sempat terinveksi virus Covid-19, namun nyatanya hal itu tak mampu menghentikan waktu Lucile. Luar biasa. Saya tidak mengenal secara personal Lucile tapi saya bisa membayangkan betapa kesalnya dia jika lirik 'Panjang umurnya, panjang umurnya serta mulia'--tentu dalam bahasa Prancis--dinyanyikan saat ulang tahunnya. Paling tidak, itulah yang saya rasakan jika saya akan bernasib sama sepertinya. Umur harapan hidup Indonesia, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) hanya 71,85 pada tahun 2022. Artinya, rata-rata kita akan hidup selama 71 tahun—itupun jika tidak meninggal ditabrak odong-odong. Sekarang, bayangkan jika kamu hidup sehat, jauh dari celaka, dan dilindungi doa orang tua, hingga

Batas Kesenangan di Dunia Maya

Demi kebaikan bersama, untuk sementara waktu, segala bentuk aktivitas kesenangan duniawi harus dikurangi. Tidak ada lagi kuliah pagi, ngopi-ngopi, judi, atau lomba karapan sapi. Alhasil, hasrat untuk bertahan hidup di tengah pandemi seperti saat ini membawa kita ke tempat yang sama: internet. Akibat ruang gerak di dunia nyata yang dibatasi, kebanyakan dari kita pun beralih ke dunia maya. Tentu saja hal tersebut berbanding lurus dengan lama durasi mereka menggenggam gawai yang mereka punya. Saya juga jadi lebih sering menengok Instagram, Twitter, YouTube, dan ehem, TikTok. Aku suka boring goyang mama.. eh maaf.