Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Keresahan

Mari Bertengkar tentang Selera Musik

Kamu tidak harus menyukai apa yang orang sukai dan, begitu pula sebaliknya, kamu tidak bisa memaksa orang mendengar apa yang menurutmu enak didengar.  Suatu waktu saya meminta teman-teman di Instagram untuk menulis topik di open question story. Kebiasaan untuk menambah relasi dan berdiskusi (baca: caper). Setelah itu, saya akan memberikan opini tentang apapun itu dengan serampangan. Ada yang memberi topik soal pelet, representasi muslim di industri hiburan barat, dan mermaid--tanpa memberi konteks apapun, asu kamu ya, Gaby. Beberapa saya tanggapi dengan bercanda, sisanya saya pikir matang-matang untuk mencegah blunder yang mencederai imej. Selain itu, saya juga berharap orang akan mengira bahwa saya orang pintar dan berbudi pekerti yang luhur. Padahal, untuk topik-topik yang asing di pikiran, saya pasti riset kecil-kecilan dulu. Ya, minimal bersumber dari 72 jurnal yang terindeks scopus dan tervalidasi oleh mba senjatanuklir. Umumnya, setelah saya memberi opini, tidak ada yang mem...

Hal-hal Pernah dan Mungkin akan Terjadi

Suatu siang saya mengobrol dengan seorang teman. Kemudian terlintas pertanyaan, oh tidak, saya sudah mempersiapkannya sebagai opsi darurat apabila kami kehabisan topik pembicaraan. Saya bertanya: Apa kekuatan yang pengen kamu punya dan kenapa? Dia menjawab, "Kamu nanya? Iya? Aku kasih tahu, ya.." Dia jawab teleportasi. Perpindahan super cepat dari satu tempat ke tempat lain--menembus ruang dan waktu. Rasanya, dia menyukai ide bahwa dia bisa pergi ke mana saja, kapan saja, dan tidak perlu berurusan dengan kemacetan, orang-orang tak sabaran, dan perempatan Gedangan. Sementara itu, saya menjawab pertanyaan yang sama dengan berharap memiliki kekuatan untuk mampu mengontrol pikiran diri sendiri. Bukan, bukan seperti Profesor Xaxier dalam semesta X-Men yang mampu membaca pikiran dan memanipulasi orang lain. Saya hanya ingin mengontrol pikiran diri sendiri. Terdengar tolol dan egois memang. Tapi jika dipikir-pikir lagi, semua hal yang telah, sedang, dan mungkin akan saya lakukan ber...

Percaya Polisi

ACAB. All cops are bastards . Semua polisi adalah bajingan.  Belakangan kata-kata itu populer di pelbagai medium--terutama media sosial. Alasannya? Banyak. Dua di antarannya adalah kasus polisi menembak polisi yang berkelit entah ke mana hingga yang terbaru tragedi kemanusiaan di Stadion Kanjuruhan, Malang. Munculnya seruan ACAB, apapun alasan yang melatarbelakanginya, jelas perwujudan sikap murka masyarakat terhadap polisi dan hal-hal buruk yang menyertainya. Sebab, polisi, bagaimanapun juga, adalah instrumen kenegaraan yang mestinya memiliki martabat yang terlalu agung untuk dihina. Lalu, kenapa bisa begitu? Ada ekspektasi dan realita yang bertolak belakang antara harapan masyarakat dengan hal-hal yang dilakukan oleh polisi di lapangan. Tugas pokok polisi menurut pasal 13 dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 antara lain: a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. menegakkan hukum; dan c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat Hanya orang du...

Jasa Screenshot iPhone dan 7 Dosa Pokok Manusia

Orang yang jeli melihat peluang akan berumur panjang. Ia menilai hidup sebagai ladang subur yang bisa ditanami apa saja dengan waktu panen yang tak mengenal musim--sebab ia selalu punya cara untuk mengatasi masalah dan mengambil untung. Alhasil, keturunan ke-9-nya bisa saja tetap hidup makmur tanpa memusingkan UMR seperti orang-orang kebanyakan. Dan salah satu orang jenius yang mampu melihat peluang adalah pencetus jasa screenshot iPhone.  Terdengar konyol, tapi percayalah, alih-alih mobil terbang, ide seperti itulah yang layak diapresiasi dan diberi penghargaan jika perlu. Mari kita bedah kenapa ide itu brilian dan bagaimana cara melihat peluang untuk dimanfaatkan. Prinsip dasar laju perekonomian adalah adanya konsep supply (penawaran) dan demand (permintaan). Penawaran akan selalu hadir selama ada permintaan. Maka, munculnya jasa screenshot iPhone ini, secara tidak langsung, menunjukkan bahwa di luar sana, ada orang-orang yang menganggap hasil screenshot dari iPhone memiliki nil...

Hati-hati di Jalan

Pada Jumat, 21 Januari 2022, sebuah truk tronton yang membawa kapur pembersih air seberat 20 ton mengalami rem blong dan menabrak 20 kendaraan yang sedang diam menunggu lampu merah. Setidaknya ada 5 korban meninggal dan belasan mengalami luka-luka pada kejadian malang di Balikpapan itu. Empat hari yang lalu, tepatnya Senin, 18 Juli 2022, kejadian serupa kembali terulang. Sebuah truk pengangkut bahan bakar kehilangan kendali saat melewati turunan di jalan alternatif Cibubur dan menghantam beberapa kendaraan yang berada di depannya. Total ada 10 korban yang meninggal. Jalan raya adalah salah satu batas hidup dan mati yang terlampau jelas untuk tidak disadari. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia mencatat setidaknya ada dua sampai tiga orang korban kecelakaan lalu lintas yang meninggal setiap jamnya. Jika dipikirkan baik-baik, data itu seharusnya cukup untuk membuat bulu kuduk berdiri selama kita berada di jalan raya.  Rasa aman tidak pernah menjadi suatu kepastian saat bera...

Waktu Berpikir

Kapan terakhir kali kamu meluangkan waktu untuk membiarkan pikiranmu menentukan maunya sendiri?  Ada dua situasi yang bisa membantu menjawab pertanyaan di atas. Pertama, ingat-ingat kembali saat di mana handphone kehabisan daya---kalau pun ada daya yang tersisa, sinyal dan internet adalah mitos belaka. Situasi kedua adalah saat buang hajat dan tak ada apapun yang bisa dibaca untuk membunuh waktu selain coretan 'Joko love Mega' di belakang pintu.  Kira-kira apa yang memenuhi pikiran? Bayangan akan rencana-rencana di masa depan? Atau hal-hal memalukan yang terjadi di masa lalu? Apapun bisa terpikirkan. Semestinya memang begitu. Kontrol penuh atas jalan pikiran ada di diri sendiri. Bukan mengikuti opini yang sedang populer. Misal, kita bisa saja ikut marah dan melontarkan setiap kosakata kotor yang kita punya pada satu hal yang jelas-jelas tak ada kaitannya dengan kita. Penyebabnya sepele, ada twit yang kebetulan lewat di linimasa dan bernada negatif pada satu orang tertentu. Kem...

Move On / Let Go

Semua yang hidup akan mati. Semua yang datang akan pergi. Semua yang gagal salah Jokowi.  Move on adalah fase. Ia tak melulu berkaitan dengan proses pemulihan dari pasangan sebelumnya. Ia juga berkaitan dengan perdamaian dengan masa lalu dan kemungkinan di masa depan.  Move on adalah masa perpindahan. Penyesuaian dari satu kondisi satu dengan kondisi lainnya. Kondisi itu bisa berarti orang maupun tempat yang pernah punya keterikatan. Bisa pasangan, orang tua, kantor, rumah, dan hal-hal yang pernah jadi rutinitas. Maka, perpindahan perlu persiapan yang baik agar tidak terbebani selama di perjalanan. Dan beginilah saya menyikapi perpindahan: Tidak semuanya harus sesuai maumu Waktu kecil, saya bercita-cita ingin menjadi power rangers merah dan menjalani hari-hari dengan membasi kejahatan di bumi. Tapi, kenyataanya tidak bisa. Ada banyak hal yang menghalangi keinginan saya terwujud, salah satunya adalah logika akal sehat. Alhasil, kemauan (dan niat mulia) itu terpaksa saya kubur...

Mengomentari 'Jujurly'

Saya mahasiswa Ilmu Komunikasi dan salah satu, jika bukan satu-satunya, materi yang saya ingat adalah tidak penting bagaimana bentuk atau cara pesan disampaikan, selama komunikan paham maknanya, maka sudah, tidak ada masalah yang perlu dibesar-besarkan. Contoh, dalam keseharian, kita tak begitu peduli kalimat yang keluar dari mulut sesuai panduan SPOK atau tidak, asal lawan bicara paham, selesai urusan. Sama halnya grammar bahasa Inggris yang kita pelajari mati-matian, ternyata tidak begitu penting dalam hal percakapan kasual. Tapi saya tidak habis pikir dengan evolusi tata bahasa yang sedang terjadi saat ini. Tidak menyalahkan, tapi penasaran bagaimana runtutan sejarah hingga muncul kata-kata revolusioner serba meng-/me-, misal membagongkan, mengsedih, mengkaget, dan lain sejenisnya. Pelopornya jelas orang penting sehingga penyebaran penggunanya mengalahi distribusi dana bansos. Belum beres mencerna tren meng-/me- yang diletakkan sekenanya, saya harus berhadapan dengan gelombang '...

Urusanmu, Urusanmu

Saya berniat mengajukan permohohan pada negara untuk memperpanjang waktu dalam sehari, sebab dua pulu empat jam rasanya terlalu cepat untuk mengikuti perkembangan duniawi. Instastory teman sekaligus mantan, kabar simpang siur aungan dajal di Aceh, serta rumah tangga penyanyi yang tak saya kenal secara pribadi. Mereka terlalu penting untuk dilewatkan begitu saja. Saya bisa jadi bahan cemoohan jika tak sanggup mengobrol soal stok saham atau clubhouse.

Jurnalis Warga dalam Bahaya, Dewan Pers Tutup Mata

Photo by Dmitriy Tyukov on Unsplash Bayi yang setiap hari disuapi bubur dengan rasa yang sama lama-lama akan memberontak dan mogok makan. Mungkin ia  marah dengan sang ibu sebab dari sekian banyak bahan makanan yang dibawanya dari pasar, masakan itu-itu saja yang disajikan. Setelah tumbuh dewasa dan lepas dari bubur, bayi itu kembali dijejali oleh berita-berita serupa oleh media arus utama. Perasaan muak dan jenuh menjadi satu waktu itu. Sempat berpikir untuk mengasingkan diri di sebuah pulau dekat area reklamasi, muncullah mukjizat yang bernama jurnalisme warga. Hidupnya jadi lebih berwarna dan kabarnya sekarang dia hidup bahagia bersama keluarganya di area ring satu negeri ini.

Meraba Pedoman Ospek yang Ideal

Kita sedang terpuruk dengan keberadaan covid-19, tapi alih-alih memfokuskan diri untuk bersatu mengalahkan virus sialan itu, kebanyakan dari kita teralihkan dengan isu-isu lain yang silih berganti mencuat. Hampir setiap hari ada saja perkara yang menyita perhatian dan mengikis kewarasan. Profesor gadungan, polemik anjay, dan yang masih hangat, pelaksanaan ospek. Sebenarnya selalu ada opsi untuk tidak acuh dengan segala hal yang terjadi. Apapun masalahnya. Namun, dalam kasus tertentu, melepaskan uneg-uneg justru jadi salah satu cara yang ampuh untuk menjaga kewarasan. Maka duduklah saya di depan laptop dan mulai mengomentari ospek kampus. Layaknya musim perkawinan tapir, perdebatan antara kubu pro dan kontra pelaksanaan ospek ini selalu terjadi setiap tahunnya. Dan, menurut saya, selama mereka hanya menjatuhkan kubu lain dan menutup telinga sendiri, maka perseteruan ini mungkin berlanjut sampai cucu ke-7 saya lahir. Mereka perlu duduk di satu forum, mungkin dengan pihak instansi di mana...

Tidurlah Anji, Selamat Malam

Photo by Bastien Jaillot on Unsplash Ketika teman-teman ramai mengobrol soal pelbagai macam strategi untuk mengalahkan musuh di game online, diam adalah opsi terbaik yang saya punya. Saya tak mau merusuh dan memang tak begitu tahu akan istilah-istilah asing semacam skin, ranked, dan sejenisnya. Bisa dibilang, level pengetahuan saya cukup memprihatinkan. Tapi, ketika topik pembicaraan beralih ke dunia film, mulut saya akan selalu terbuka untuk meladeni setiap cabang bahasannya. Meski tidak paham betul, setidaknya saya punya cukup bekal jika ditanyai tentang istilah seperti plot hole, spin-off, easter eggs, overshadow, dan lain-lain. Di sisi lain, teman-teman saya yang cenderung lebih senang bermain game akan lebih sering jadi pendengar, ketimbang pembicara. Sama halnya ketika saya diajak berdiskusi soal Dota atau PUBG.

Cara Bodoh Tapi Jitu Raih Sensasi

Bagaimana jika ‘mempertontonkan kebodohan’ sudah menjadi salah satu opsi untuk meraih popularitas? Dan, sialnya, cara tersebut memang ampuh sekali. Siapa biang keladi yang harus kita cac maki? Saya khawatir, korona ini, selain mengancam nyawa, juga berpotensi merusak akal sehat. Mungkin korona bukan penyebab satu-satunya, tapi mari kita melihat beberapa hari belakangan. Setidaknya ada dua kebodohan yang mengusik kehidupan kita yang tengah kacau ini.

Normal Yang Baru

Tidak ada yang mengira akan berada dalam kondisi seperti saat ini. Ruang gerak diawasi, interaksi dibatasi, dan rencana-rencana yang sudah kita susun rapi-rapi harus kembali disimpan lagi.  Tidak ada yang memperingati bahwa tawa kita di kedai kopi, tugas kuliah yang kita umpati, dan sikap politisi yang kita habisi dengan caci maki adalah aktivitas terakhir sebelum pandemi. Tidak ada yang menjamin semua akan Kembali seperti semula. hal-hal yang ditunda, waktu-waktu yang lalu, dan upaya-upaya pemulihan, belum tentu mengembalikan normal yang pernah kita alami 

Mungkin Kitalah Power Rangersnya

Photo by Francisco Delgado on Unsplash Beberapa waktu yang lalu, iseng saja, saya menelusuri rekam jejak aktivitas daring diri sendiri. Tidak banyak yang bisa ditemukan selain kealayan yang murni. Cuman satu akun yang berhasil saya lacak, tentu saja takkan saya sebutkan di sini, tapi kalau kalian punya waktu luang untuk mencari, silakan. Tak ada yang menghalangi. Sebab, di sisi lain, saya masih berusaha dengan pengetahuan yang saya punya untuk melenyapkan aib tersebut.

Batas Kesenangan di Dunia Maya

Demi kebaikan bersama, untuk sementara waktu, segala bentuk aktivitas kesenangan duniawi harus dikurangi. Tidak ada lagi kuliah pagi, ngopi-ngopi, judi, atau lomba karapan sapi. Alhasil, hasrat untuk bertahan hidup di tengah pandemi seperti saat ini membawa kita ke tempat yang sama: internet. Akibat ruang gerak di dunia nyata yang dibatasi, kebanyakan dari kita pun beralih ke dunia maya. Tentu saja hal tersebut berbanding lurus dengan lama durasi mereka menggenggam gawai yang mereka punya. Saya juga jadi lebih sering menengok Instagram, Twitter, YouTube, dan ehem, TikTok. Aku suka boring goyang mama.. eh maaf.

Atur Saja Gaya Pakaianmu Sendiri

Perlu diakui, menilai penampilan orang lain adalah kegiatan yang menyenangkan. Kita tak perlu menempuh pendidikan khusus agar mahir mengaplikasikannya. Sekali pandang saja sudah lebih dari cukup untuk mencari titik lemah dan keunggulan gaya berbusana orang lain, tentu saja tanpa perlu mempertimbangkan alas an-alasan dibalik pemilihannya, karena kita tak punya waktu untuk itu. Sebab kita hanya melihat apa yang terlihat.

Ego dan Musik dalam Perjalanan

  Saya belum melakukan penelitian secara saintifik terhadap pernyataan saya selanjutnya, tapi rasanya setiap kita memikirkannya setidaknya sekali seumur hidup. Pasti ada momen di mana kita berada dalam kendaraan, entah itu mobil, kereta, pesawat, andong, odong-odong, apapun itu, lalu melihat ke luar jendela sambil mengamati macam-macam aktivitas yang ada di luar dan secara tiba-tiba sebuah lagu serta cerita pengandaian langsung berputar di kepala.  Ya, seketika kita adalah model sebuah video klip musik. Dalam perjalanan yang cukup jauh, saya tak begitu suka keheningan dan terus-terusan membaca pelbagai bacaan yang berada di sepanjang jalan--iklan sedot WC, janji-janji manis politisi, nama warung makan, dan sebagainya, sebab cepat atau lambat saya akan merasa pusing dan saya terlalu sayang untuk memuntahkan makanan dalam perut. Mubadzir istilahnya.

Berkarya: Ekspresi dan Ekspektasi

Waktu itu pukul sebelas malam. Tak ada kesibukan khusus yang saya lakukan hingga terjaga selarut itu, hanya mengamati linimasa akun media sosial saya, sebuah kebiasaan yang cukup sulit untuk dihilangkan. Kemudian, tiba-tiba, ponsel saya bergetar menandakan ada pesan masuk. Tentu bukan dari pacar saya, karena pasti ia sudah tidur sehabis azan isya, ditambah lagi saya tidak punya pacar. Oke. Pesan itu datang dari salah seorang teman. Berikut isi pesannya:

Pendukung Seutuhnya

Tadi malam adalah final liga champions yang mempertemukan Liverpool dan Real Madrid. Sama-sama klub yang luar biasa yang juga punya pendukung fanatik di seluruh dunia. Maka, bisa dibilang, pertandingan tersebut adalah salah satu pertandingan yang paling bergengsi dan penuh bintang tahun ini. Tapi, sebagaimana pertandingan-pertandingan umumnya di kompetisi lain, apapaun itu, apalagi di partai final, tentulah harus ada yang menang dan kalah. Dan tadi malam, publik Liverpool harus mengakui keunggulan lawannya dengan skor 1-3, serta kemenangan tersebut mengantarkan Real Madrid menjadi juara UCL yang ke-13 dan menjadi klub pertama yang menjuarai ajang tersebut tiga tahun beruntun. Luar biasa.