Langsung ke konten utama

Ego dan Musik dalam Perjalanan

 
Saya belum melakukan penelitian secara saintifik terhadap pernyataan saya selanjutnya, tapi rasanya setiap kita memikirkannya setidaknya sekali seumur hidup. Pasti ada momen di mana kita berada dalam kendaraan, entah itu mobil, kereta, pesawat, andong, odong-odong, apapun itu, lalu melihat ke luar jendela sambil mengamati macam-macam aktivitas yang ada di luar dan secara tiba-tiba sebuah lagu serta cerita pengandaian langsung berputar di kepala.  Ya, seketika kita adalah model sebuah video klip musik.

Dalam perjalanan yang cukup jauh, saya tak begitu suka keheningan dan terus-terusan membaca pelbagai bacaan yang berada di sepanjang jalan--iklan sedot WC, janji-janji manis politisi, nama warung makan, dan sebagainya, sebab cepat atau lambat saya akan merasa pusing dan saya terlalu sayang untuk memuntahkan makanan dalam perut. Mubadzir istilahnya.

Di sisi yang lain, saya juga kurang pandai mengolah percakapan hingga berlangsung selama berjam-jam. Terlebih dengan penumpang lain yang mungkin tidak sepenuhnya saya kenal dan pahami soal apa-apa saja topik pembicaraan yang dia suka atau enggan dibahas atau sia-sia jika dibicarakan. Misal, tentu saya tidak akan ngobrol tentang manfaat memberi akses terhadap layanan streaming dengan KOMINFO, sebab mereka sepenuhnya tahu yang terbaik buat masyarakat Indonesia. Jadi, tak perlu repot-repot saya untuk menceramahi mereka. Mereka sudah paham betul Netlix hanya akan merusak moral bangsa dan kita harus menelan tayangan-tayangan terpuji di televisi nasional kita. Rumah Uya, misalnya.

Maka, satu-satunya solusi termudah adalah dengan memutar lagu saat di dalam mobil. Tapi, keputusan tersebut tidak sesederhana yang saya bayangkan. Atau memang saya saja yang suka memperumit keadaan, saya tidak tahu.

Maksud saya begini, katakanlah kita sedang berada dalam sebuah mobil, saya yakin setiap orang yang berada di dalamnya pasti punya selera musik yang berbeda. Mungkin ada irisan di mana ada beberapa lagu yang semuanya sama-sama tahu hingga semuanya menunjukkan suara emas masing-masing, tapi lama-kelamaan opsi tersebut akan berkurang bahkan habis pada satu titik di mana hanya pemilih lagu yang tahu suara siapa yang sedang diputar.

Saya sering mengalami hal tersebut. Saya memutar sebuah lagu yang sangat akrab di telinga. Mulai dari lirik sampai tarikan napas vokalisnya saya hapal betul. Namun, teman-teman lainnya diam tak merespon. Bahkan  menjentikkan jari atau mengangguk-anggukan kepala sebagai indikasi menikmati pun tidak. Pada saat itu saya merasa sangat egois sekali memaksa teman-teman mendengarkan sesuatu yang mungkin tidak mereka suka, tapi mereka terlalu sungkan untuk mengatakannya.
Tidak jarang pula teman seperjalanan saya memilih sebuah lagu yang sangat asing di telinga. Mulai dari genre sampai bahasa yang sama sekali tidak menghibur rasa keheningan saya. Ada perasaan agar lagu tersebut segera berakhir dan berganti lagu lain yang mungkin saya tahu, atau paling tidak, genrenya tidak jauh-jauh dari pendengaran saya biasanya.
Dua peristiwa yang sering terjadi. Keduanya mungkin tidak disengaja, tapi pada titik tertentu keduanya cukup mengganggu. Saya terjebak di antara tiga pilihan antara lain: pertama, mencoba sepenuh hati menikmati sesuatu yang tidak saya suka. Kedua, mengambil alih playlist dan persetan dengan telinga orang lain, lagu pilihan saya adalah yang terbaik. Ketiga, saya turun dari mobil.
Ya, mungkin ada satu lagi solusi. Memakai earphone. Cara yang bagus apabila musik dalam mobil dimatikan sekalian dan semuanya memakai earphone. Karena, jika tidak, suara dari earphone dan pengeras suara dalam mobil akan saling beradu dan korbannya adalah kewarasan saya.
Seringkali, untuk cari aman, saya memilih lagu-lagu indonesia tahun 2000-an untuk didengar dan dinyanyikan bersama. Tidak selalu berhasil, tapi menyenangkan ketika kami bernyanyi bersama sambil mengenang lagu-lagu hits saat kami masih kecil.
Atau mungkin semua dikembalikan dalam suasana hening yang hanya diisi deru mesin mobil dan sesekali klakson truk yang hendak menyalip. Ketimbang memberi makan ego sendiri dan mengesampingkan kondisi telinga teman seperjalanan.
Saya tidak tahu inti tulisan ini apa, tapi rasanya menyenangkan menulis sesuatu tanpa mencari narasumber dan berdasar jurnal. Cobalah kalau tidak percaya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Move On / Let Go

Semua yang hidup akan mati. Semua yang datang akan pergi. Semua yang gagal salah Jokowi.  Move on adalah fase. Ia tak melulu berkaitan dengan proses pemulihan dari pasangan sebelumnya. Ia juga berkaitan dengan perdamaian dengan masa lalu dan kemungkinan di masa depan.  Move on adalah masa perpindahan. Penyesuaian dari satu kondisi satu dengan kondisi lainnya. Kondisi itu bisa berarti orang maupun tempat yang pernah punya keterikatan. Bisa pasangan, orang tua, kantor, rumah, dan hal-hal yang pernah jadi rutinitas. Maka, perpindahan perlu persiapan yang baik agar tidak terbebani selama di perjalanan. Dan beginilah saya menyikapi perpindahan: Tidak semuanya harus sesuai maumu Waktu kecil, saya bercita-cita ingin menjadi power rangers merah dan menjalani hari-hari dengan membasi kejahatan di bumi. Tapi, kenyataanya tidak bisa. Ada banyak hal yang menghalangi keinginan saya terwujud, salah satunya adalah logika akal sehat. Alhasil, kemauan (dan niat mulia) itu terpaksa saya kubur dalam-da

Kenapa Harus Panjang Umur?

Lucile Randon--perempuan asal Prancis--merupakan manusia tertua di dunia yang masih hidup per April 2022, semenjak meninggalkan Kane Tanaka. Lucile saat ini berumur 118 tahun dan tampaknya akan terus mempertahankan gelar manusia tertua yang masih hidup—satu bulan menjelang ulang tahun yang ke-117, ia sempat terinveksi virus Covid-19, namun nyatanya hal itu tak mampu menghentikan waktu Lucile. Luar biasa. Saya tidak mengenal secara personal Lucile tapi saya bisa membayangkan betapa kesalnya dia jika lirik 'Panjang umurnya, panjang umurnya serta mulia'--tentu dalam bahasa Prancis--dinyanyikan saat ulang tahunnya. Paling tidak, itulah yang saya rasakan jika saya akan bernasib sama sepertinya. Umur harapan hidup Indonesia, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) hanya 71,85 pada tahun 2022. Artinya, rata-rata kita akan hidup selama 71 tahun—itupun jika tidak meninggal ditabrak odong-odong. Sekarang, bayangkan jika kamu hidup sehat, jauh dari celaka, dan dilindungi doa orang tua, hingga

Batas Kesenangan di Dunia Maya

Demi kebaikan bersama, untuk sementara waktu, segala bentuk aktivitas kesenangan duniawi harus dikurangi. Tidak ada lagi kuliah pagi, ngopi-ngopi, judi, atau lomba karapan sapi. Alhasil, hasrat untuk bertahan hidup di tengah pandemi seperti saat ini membawa kita ke tempat yang sama: internet. Akibat ruang gerak di dunia nyata yang dibatasi, kebanyakan dari kita pun beralih ke dunia maya. Tentu saja hal tersebut berbanding lurus dengan lama durasi mereka menggenggam gawai yang mereka punya. Saya juga jadi lebih sering menengok Instagram, Twitter, YouTube, dan ehem, TikTok. Aku suka boring goyang mama.. eh maaf.