Langsung ke konten utama

Permisi Pak Pol, Saya Mau Melapor

 

Dari demo tahun lalu di depan DPRD Surabaya

Saat ini, pelbagai jenis elemen masyarakat—buruh, mahasiswa, pelajar dan mereka yang peduli akan kesejahteraan di masa depan terancam UU Cipta Kerja—bersama-sama turun ke jalan menuntut keadilan. Sialnya, alih-alih tuntutan untuk mencabut produk cacat kolaborasi antara Pemerintah dan DPR terpenuhi, justru pukulan dan tendangan tanpa kompromi tanpa ampun yang diberikan. Pak Polisi tahu tidak pelakunya siapa?

Saya selalu berusaha untuk berprasangka baik kepada aparat yang bertugas, tapi alangkah terkejutnya saya ketika mengetahui pelaku mempunyai ciri-ciri yang sama persis dengan Pak Polisi. Baju coklat keabu-abuan, memakai helm, membawa tongkat, lalu tameng dan mobil bertuliskan ‘polisi’. Persis seperti model polisi yang saya jumpai di poster-poster jelek bikinan hubungan masyarakat polisi.

Sikap skeptis masih menghadang saya untuk langsung menuduh.

Tak hanya ciri-ciri yang serupa, saya juga mendapati video-video ‘polisi’ yang sedang menunjukkan keahliannya dalam memukuli dan menendang rakyat yang sudah dalam keadaan tidak berdaya. Apa ada pelatihan khusus sehingga tampak cakap sekali saat membuat babak belur anak orang?

Selain itu, tersebar kabar juga ‘polisi’ membawa paksa demonstran tanpa keterangan yang jelas. Meringkus siapapun yang dianggap berbahaya walau belum ada bukti nyata. Di saat bersamaan, orang tua harap-harap cemas di mana anak kesayangannya berada.

Rakyat yang menuntut keadilan pada negara justru disambut dengan sikap represif penuh amarah aparat. Gas air mata yang sudah kedaluarsa tetap dilemparkan ke para demonstran. Lebih parah dari itu, arah lempar yang harusnya ke atas justru langsung sejajar ke kerumuman. Hal itu sangat membahayakan jika langsung mengenai area vital.

Terima kasih internet. Banyak informasi baru yang bisa saya dapat dari video-video amatir yang beredar. Sesuatu yang tidak pernah saya temukan di buku pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan mengenai tugas polisi. Setahu dan seingat saya, polisi bertugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; dan. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Terpuji sekali, ya? Sekilas terlintas bayangan kemakmuran Indonesia di masa depan dengan mobil-mobil terbang ketika polisi benar-benar menjalankan tugasnya. Tapi, dalam praktiknya, ternyata beda sekali.

entah siapa yang salah. Apa penyusun buku Pendidikan Kewarganegaraan tidak merevisi bukunya lagi sehingga isinya sudah tak relevan dengan keadaan sekarang? Apa memang begitulah tugas polisi kenyataannya—yang mana kebalikan dari apa yang telah tertuang di undang-undang?

Dahulu, saya punya pandangan segan dan kagum pada polisi. Semua bersumber dari materi dari buku yang saya pelajari di sekolah. Ketika kenyataan yang ditemui berbeda, saya merasa terdoktrin dengan sesuatu yang salah.

Sekarang asosiasi yang muncul di kepala ketika mendengar kata polisi adalah beringas, kotor, semena-mena, dan sejenisnya. Dan program ‘86’ yang menampilkan polisi yang lemah lembut tak mampu mengubah pandangan saya sekarang. Saya tahu betul banyak hal yang tidak ditampilkan, hal-hal yang hanya memperburuk citra dan tak boleh diketahui masyarakat luas.

Bahkan, Gus Dur pernah bilang kalau hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia, yakni polisi tidur, patung polisi, dan Hoegeng. Saya tak begitu pandai matematika dan ilmu penalaran, tapi jika hanya ada 3 polisi jujur, lantas sisanya apa? Bagaimana mungkin kita menggantungkan keamanan dan kenyamanan kepada polisi-polisi yang tidak jujur dan mungkin gemar memukuli rakyat?

Satu pertanyaan lagi: kemana saya harus melapor jika pelaku represif yang gemar memukuli rakyat yang menagih keadilan benar-benar polisi? Mengingat hukum di keluarga saya jauh lebih tegas dari negara.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Move On / Let Go

Semua yang hidup akan mati. Semua yang datang akan pergi. Semua yang gagal salah Jokowi.  Move on adalah fase. Ia tak melulu berkaitan dengan proses pemulihan dari pasangan sebelumnya. Ia juga berkaitan dengan perdamaian dengan masa lalu dan kemungkinan di masa depan.  Move on adalah masa perpindahan. Penyesuaian dari satu kondisi satu dengan kondisi lainnya. Kondisi itu bisa berarti orang maupun tempat yang pernah punya keterikatan. Bisa pasangan, orang tua, kantor, rumah, dan hal-hal yang pernah jadi rutinitas. Maka, perpindahan perlu persiapan yang baik agar tidak terbebani selama di perjalanan. Dan beginilah saya menyikapi perpindahan: Tidak semuanya harus sesuai maumu Waktu kecil, saya bercita-cita ingin menjadi power rangers merah dan menjalani hari-hari dengan membasi kejahatan di bumi. Tapi, kenyataanya tidak bisa. Ada banyak hal yang menghalangi keinginan saya terwujud, salah satunya adalah logika akal sehat. Alhasil, kemauan (dan niat mulia) itu terpaksa saya kubur dalam-da

Batas Kesenangan di Dunia Maya

Demi kebaikan bersama, untuk sementara waktu, segala bentuk aktivitas kesenangan duniawi harus dikurangi. Tidak ada lagi kuliah pagi, ngopi-ngopi, judi, atau lomba karapan sapi. Alhasil, hasrat untuk bertahan hidup di tengah pandemi seperti saat ini membawa kita ke tempat yang sama: internet. Akibat ruang gerak di dunia nyata yang dibatasi, kebanyakan dari kita pun beralih ke dunia maya. Tentu saja hal tersebut berbanding lurus dengan lama durasi mereka menggenggam gawai yang mereka punya. Saya juga jadi lebih sering menengok Instagram, Twitter, YouTube, dan ehem, TikTok. Aku suka boring goyang mama.. eh maaf.

Tiga Pilihan Presiden Indonesia, Siapa Bisa Dipercaya?

Tidak ada. Politisi semestinya tidak diberi kepercayaan utuh – sebagus apapun kinerjanya di masa lalu dan rencana-rencana yang diwacanakan untuk masa depan. Ia patut untuk terus dicurigai, dikritik, dan dituntut atas kekuasaan yang akan/telah dimilikinya. Lord Acton, guru besar Universitas Cambridge, pernah bilang: power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely . Kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut cenderung akan korup secara absolut. Kabar baiknya, rakyat punya hak untuk terus mengawasi kekuasaan yang telah dimandatkan pada penguasa. Hal itu dijamin undang-undang. Tapi, hal itu tidak akan terjadi jika penguasa tidak memberi ruang untuk dikritik tuannya dan melihat segala bentuk kritik sebagai ancaman atas kekuasaannya. Seorang teman pernah bilang kalau saja saya tahu orang-orang di balik ketiga pasangan dari capres dan cawapres yang tersedia ditambah lagi rekam jejak yang menyertai mereka, saya pasti takut dan enggan untuk memihak ketiga