Langsung ke konten utama

Jurnalis Warga dalam Bahaya, Dewan Pers Tutup Mata


Photo by Dmitriy Tyukov on Unsplash

Bayi yang setiap hari disuapi bubur dengan rasa yang sama lama-lama akan memberontak dan mogok makan. Mungkin ia  marah dengan sang ibu sebab dari sekian banyak bahan makanan yang dibawanya dari pasar, masakan itu-itu saja yang disajikan. Setelah tumbuh dewasa dan lepas dari bubur, bayi itu kembali dijejali oleh berita-berita serupa oleh media arus utama. Perasaan muak dan jenuh menjadi satu waktu itu. Sempat berpikir untuk mengasingkan diri di sebuah pulau dekat area reklamasi, muncullah mukjizat yang bernama jurnalisme warga. Hidupnya jadi lebih berwarna dan kabarnya sekarang dia hidup bahagia bersama keluarganya di area ring satu negeri ini.

Informasi adalah hak dan kebutuhan setiap orang. Tak peduli jabatan dan derajatnya di mata Tuhan. Namun, seringkali dalam praktiknya, ada kepentingan-kepentingan tertentu yang membuat informasi yang disampaikan tak lagi utuh. Dan sialnya, hampir semua media arus utama bersikap seolah saudara kembar yang saling tiru satu sama lain. Keberagaman sudut pandang yang semestinya diberikan kepada warga, justru disamakan dan diseragamkan.Warga geram dan menuntut keadilan.

Bak pahlawan super yang membawakan segalon air dingin pada pelancong yang terdampar di gurun Sahara, jurnalis warga memberikan angin segar pada masyarakat yang haus akan informasi dan berita yang tak picik sebelah. Jurnalisme warga sendiri adalah salah satu praktik jurnalistik yang memberikan ruang keped mereka yang bukan jurnalis profesional untuk menyampaikan peristiwa apa saja sebagai pelengkap berita yang ada di media arus utama (Lasica, 2003).

Ada dua versi mengenai kapan pertama kali jurnalisme warga populer di Indonesia. Pertama, Olivia Lewi Pramesti menyebutkan orang-orang mulai mempraktikkan jurnalisme warga pada kerusuhan Mei 1998. Mereka saling bertukar informasi dan kondisi melalui radio Sonora Jakarta. Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Moch. Nunung Kurniawan mengatakan bahwa puncak partisipasi pertama jurnalisme warga di Indonesia terjadi pada tahun 2000 yang dilakukan oleh Radio Elshinta Jakarta, dimana mereka mempunyai 100.000 pendengar yang aktif bertukar kabar dan informasi.

Praktik jurnalisme warga yang bermula lewat suara di radio, kini telah mewabah ke medium-medium lainnya, terutama televisi, cetak, dan online. Bahkan media arus utama menyediakan rubrik khusus bagi pada warga untuk ikut berpartisipasi dalam upaya penyampaian informasi. Beberapa contohnya antara lain Terminal Mojok milik Mojok.co, Kompasiana milik Kompas.com, lalu Yoursay dari Suara.com, Wideshot punya Metro TV dan banyak lagi.

Keberadaan jurnalisme warga tak kalah penting dengan pekerjaan jurnalis profesional. Sebab, jurnalisme warga menyuguhkan sudut pandang yang berbeda--karena umumnya mereka tidak terikat dengan pihak manapun dan tidak membawa kepentingan apapun selain mengabarkan peristiwa sebenar-benarnya, dan mereka juga mampu menjangkau daerah-daerah yang tak terjamah oleh jurnalisme profesional.

Meski memiliki peran yang cukup signifikan dalam laju perputaran informasi di media, nyatanya jurnalis warga masih belum memiliki jaminan keamanan seperti kawan-kawan jurnalis arus utama. Sebab, keberadaan mereka tidak dilindungi oleh UU Pers Nomor 40 Tahun 1999. Sehingga, nasibnya sangat rentan di medan liputan. Bayangkan, jurnalis arus utama yang jelas-jelas memiliki kartu pers dan dilindungi UU saja kerap jadi sasaran represif oknum-oknum tertentu--yang umumnya berpenampilan persis seperti polisi, bagaimana dengan jurnalis warga yang umumnya berangkat dengan bekal nurani saja?

Tak melulu melalui media arus utama, jurnalis warga juga bisa berkabar melalui media sosial. Salah satu di antaranya adalah bagaimana pengikut Radio Suara Surabaya yang rutin memberi informasi mengenai kondisi jalan, kecelakaan, pencurian, dan semacamnya. Kekuatan keterikatan antarwarga sebenarnya potensi yang perlu dilindungi dengan baik. Iya, Dewan Pers, permintaan itu ditujukan spesial untuk kalian. Bukalah mata kalian.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencoba merangkul jurnalis warga sebagai anggota dengan tujuan untuk menanamkan etika terhadap jurnalis warga sesuai hasil kongres AJI ke-IX di Bukittinggi. Mengingat masih ada pandangan terkait produk jurnalistik yang dihasilkan dianggap tidak bermutu dan terverifikasi dari sumber yang kompeten. Langkah sederhana AJI patut diapresiasi dan akan jadi lebih baik apabila Pemerintah dan Dewan Pers megawal dan melindungi kebebasan berpendapat warganya.

UU Pers yang selama ini terlihat seperti pajangan semata harus segera diperbaiki. Sebab penerapannya yang setengah-setengah dalam menandang kasus yang terjadi di lapangan. Jurnalis arus utama yang direpresi saat melakukan tugasnya secara resmi tak mendapat keadilan. Jurnalis warga yang mengabarkan berita sebagai pengimbang informasi di media arus utama semakin tergencet keselamatannya, entah oleh UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau sikap represif aparat.

Memangnya mau sampai kapan arus informasi di Indonesia harus menuruti apa kata yang berkuasa? Berita yang disiarkan tidak sepenuhnya fakta? Dan harus berapa banyak nyawa yang perlu dikorbankan sampai para jurnalis, baik arus utama dan warga, memperoleh perlindungan yang nyata? 

Saya tunggu jawaban kalian, Dewan Pers.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Move On / Let Go

Semua yang hidup akan mati. Semua yang datang akan pergi. Semua yang gagal salah Jokowi.  Move on adalah fase. Ia tak melulu berkaitan dengan proses pemulihan dari pasangan sebelumnya. Ia juga berkaitan dengan perdamaian dengan masa lalu dan kemungkinan di masa depan.  Move on adalah masa perpindahan. Penyesuaian dari satu kondisi satu dengan kondisi lainnya. Kondisi itu bisa berarti orang maupun tempat yang pernah punya keterikatan. Bisa pasangan, orang tua, kantor, rumah, dan hal-hal yang pernah jadi rutinitas. Maka, perpindahan perlu persiapan yang baik agar tidak terbebani selama di perjalanan. Dan beginilah saya menyikapi perpindahan: Tidak semuanya harus sesuai maumu Waktu kecil, saya bercita-cita ingin menjadi power rangers merah dan menjalani hari-hari dengan membasi kejahatan di bumi. Tapi, kenyataanya tidak bisa. Ada banyak hal yang menghalangi keinginan saya terwujud, salah satunya adalah logika akal sehat. Alhasil, kemauan (dan niat mulia) itu terpaksa saya kubur dalam-da

Kenapa Harus Panjang Umur?

Lucile Randon--perempuan asal Prancis--merupakan manusia tertua di dunia yang masih hidup per April 2022, semenjak meninggalkan Kane Tanaka. Lucile saat ini berumur 118 tahun dan tampaknya akan terus mempertahankan gelar manusia tertua yang masih hidup—satu bulan menjelang ulang tahun yang ke-117, ia sempat terinveksi virus Covid-19, namun nyatanya hal itu tak mampu menghentikan waktu Lucile. Luar biasa. Saya tidak mengenal secara personal Lucile tapi saya bisa membayangkan betapa kesalnya dia jika lirik 'Panjang umurnya, panjang umurnya serta mulia'--tentu dalam bahasa Prancis--dinyanyikan saat ulang tahunnya. Paling tidak, itulah yang saya rasakan jika saya akan bernasib sama sepertinya. Umur harapan hidup Indonesia, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) hanya 71,85 pada tahun 2022. Artinya, rata-rata kita akan hidup selama 71 tahun—itupun jika tidak meninggal ditabrak odong-odong. Sekarang, bayangkan jika kamu hidup sehat, jauh dari celaka, dan dilindungi doa orang tua, hingga

Batas Kesenangan di Dunia Maya

Demi kebaikan bersama, untuk sementara waktu, segala bentuk aktivitas kesenangan duniawi harus dikurangi. Tidak ada lagi kuliah pagi, ngopi-ngopi, judi, atau lomba karapan sapi. Alhasil, hasrat untuk bertahan hidup di tengah pandemi seperti saat ini membawa kita ke tempat yang sama: internet. Akibat ruang gerak di dunia nyata yang dibatasi, kebanyakan dari kita pun beralih ke dunia maya. Tentu saja hal tersebut berbanding lurus dengan lama durasi mereka menggenggam gawai yang mereka punya. Saya juga jadi lebih sering menengok Instagram, Twitter, YouTube, dan ehem, TikTok. Aku suka boring goyang mama.. eh maaf.