Langsung ke konten utama

Mari Meromantisasi 2020

Tanpa perlu berdebat, kita semua mungkin sepakat bahwa 2020 adalah tahun yang bangsat. 

Ada rima '-at' pada kalimat di atas barangkali kalian tidak menyadarinya. Sesuatu yang sejak dulu ingin saya terapkan dalam setiap tulisan--memberinya rima. Selain enak didengar, rima juga mengesankan penulis memiliki kosa kata yang luar biasa banyak dan saya ingin dikenal sebagai orang berkosa-kata banyak. Sayangnya, tidak semua rencana berjalan seperti apa yang kita harapkan.

Bicara soal rusaknya rencana, tahun 2020 rasanya telah mengajarkan hal itu pada setiap kita. Di penghujung tahun, sebagian dari kita mungkin sudah kebal dan mati rasa dengan penundaan, pembatalan, pemberhentian, penolakan, kehilangan,dan kekhawatiran. Tidak ada lagi elemen kejut dari setiap hal yang terjadi karena kita telah melalui masa terburuk yang pernah ada.

Saya pribadi banyak kehilangan dan menemukan sesuatu tahun ini. 

Juli tahun ini saya kena pemutusan hubungan kerja dengan dalih efisiensi--meskipun saya memang berencana keluar di akhir tahun, tapi jelas hal itu terjadi di luar perkiraan. Setelah mendalami peran sebagai mahasiswa pada umumnya selama kurang lebih tiga bulan, akhirnya pada oktober, saya mendapat tempat kerja baru yang, sekali lagi, di luar perkiraan. 

Saya banyak kehilangan waktu untuk melatih kemampuan berinteraksi dengan orang lain. Tidak ada lagi nongkrong di kampus sampai magrib, berkeliaran di mall saat sela-sela jam kosong, atau  sekadar ngopi layaknya anak muda pada umumnya. Sebagai gantinya saya lebih banyak menghabiskan waktu dengan diri sendiri. Mengenal diri sendiri. Mengembangkan diri sendiri. Saya belajar menggambar digital dan banyak mendengar podcast. Apapun untuk tetap menjaga kewarasan.

Barangkali, kehilangan diperlukan untuk menyadarkan tentang apa yang sebenarnya kita miliki selama ini. Bertemu kawan, berpergian, akses, sentuhan fisik, dan lain-lain. Bahwa 'normal' adalah kemewahan yang tidak pernah kita perhatikan keberadaanya.

Tahun baru belum tentu berarti hal baik. Sebagian besar dari kita juga bersuka-cita saat hari pertama 2020, tapi apa yang kita peroleh? Tahun yang buruk dan segala keputusasaan di dalamnya. Tapi, kita tak punya pilihan lain selain berharap, 'kan?

Selamat tahun baru dan semoga kalian semua kuat menghadapi apapun yang akan terjadi nanti.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Move On / Let Go

Semua yang hidup akan mati. Semua yang datang akan pergi. Semua yang gagal salah Jokowi.  Move on adalah fase. Ia tak melulu berkaitan dengan proses pemulihan dari pasangan sebelumnya. Ia juga berkaitan dengan perdamaian dengan masa lalu dan kemungkinan di masa depan.  Move on adalah masa perpindahan. Penyesuaian dari satu kondisi satu dengan kondisi lainnya. Kondisi itu bisa berarti orang maupun tempat yang pernah punya keterikatan. Bisa pasangan, orang tua, kantor, rumah, dan hal-hal yang pernah jadi rutinitas. Maka, perpindahan perlu persiapan yang baik agar tidak terbebani selama di perjalanan. Dan beginilah saya menyikapi perpindahan: Tidak semuanya harus sesuai maumu Waktu kecil, saya bercita-cita ingin menjadi power rangers merah dan menjalani hari-hari dengan membasi kejahatan di bumi. Tapi, kenyataanya tidak bisa. Ada banyak hal yang menghalangi keinginan saya terwujud, salah satunya adalah logika akal sehat. Alhasil, kemauan (dan niat mulia) itu terpaksa saya kubur dalam-da

Batas Kesenangan di Dunia Maya

Demi kebaikan bersama, untuk sementara waktu, segala bentuk aktivitas kesenangan duniawi harus dikurangi. Tidak ada lagi kuliah pagi, ngopi-ngopi, judi, atau lomba karapan sapi. Alhasil, hasrat untuk bertahan hidup di tengah pandemi seperti saat ini membawa kita ke tempat yang sama: internet. Akibat ruang gerak di dunia nyata yang dibatasi, kebanyakan dari kita pun beralih ke dunia maya. Tentu saja hal tersebut berbanding lurus dengan lama durasi mereka menggenggam gawai yang mereka punya. Saya juga jadi lebih sering menengok Instagram, Twitter, YouTube, dan ehem, TikTok. Aku suka boring goyang mama.. eh maaf.

Tiga Pilihan Presiden Indonesia, Siapa Bisa Dipercaya?

Tidak ada. Politisi semestinya tidak diberi kepercayaan utuh – sebagus apapun kinerjanya di masa lalu dan rencana-rencana yang diwacanakan untuk masa depan. Ia patut untuk terus dicurigai, dikritik, dan dituntut atas kekuasaan yang akan/telah dimilikinya. Lord Acton, guru besar Universitas Cambridge, pernah bilang: power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely . Kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut cenderung akan korup secara absolut. Kabar baiknya, rakyat punya hak untuk terus mengawasi kekuasaan yang telah dimandatkan pada penguasa. Hal itu dijamin undang-undang. Tapi, hal itu tidak akan terjadi jika penguasa tidak memberi ruang untuk dikritik tuannya dan melihat segala bentuk kritik sebagai ancaman atas kekuasaannya. Seorang teman pernah bilang kalau saja saya tahu orang-orang di balik ketiga pasangan dari capres dan cawapres yang tersedia ditambah lagi rekam jejak yang menyertai mereka, saya pasti takut dan enggan untuk memihak ketiga