Langsung ke konten utama

Mengomentari 'Jujurly'


Saya mahasiswa Ilmu Komunikasi dan salah satu, jika bukan satu-satunya, materi yang saya ingat adalah tidak penting bagaimana bentuk atau cara pesan disampaikan, selama komunikan paham maknanya, maka sudah, tidak ada masalah yang perlu dibesar-besarkan. Contoh, dalam keseharian, kita tak begitu peduli kalimat yang keluar dari mulut sesuai panduan SPOK atau tidak, asal lawan bicara paham, selesai urusan. Sama halnya grammar bahasa Inggris yang kita pelajari mati-matian, ternyata tidak begitu penting dalam hal percakapan kasual.

Tapi saya tidak habis pikir dengan evolusi tata bahasa yang sedang terjadi saat ini. Tidak menyalahkan, tapi penasaran bagaimana runtutan sejarah hingga muncul kata-kata revolusioner serba meng-/me-, misal membagongkan, mengsedih, mengkaget, dan lain sejenisnya. Pelopornya jelas orang penting sehingga penyebaran penggunanya mengalahi distribusi dana bansos.

Belum beres mencerna tren meng-/me- yang diletakkan sekenanya, saya harus berhadapan dengan gelombang 'jujurly'. Luar biasa. Tak hanya pemain timnas yang dinaturalisasi, tapi juga kata. Ya, saya tahu, kok, dalam bahasa Indonesia juga ada fenomena saling serap kata dari bahasa asing. Setahu saya, kebanyakan pengalihan dari bahasa negara penjajah atau Arab--karena, kamu harusnya tahu kenapa. Jadi, tak perlu terlalu kaget ketika orang portugis menyebut bola sebagai bola, bendera jadi bendeira, dan lain-lain.

Tapi, 'jujurly' adalah sesuatu yang langka dan kita jelas generasi yang beruntung karena bisa mengalaminya secara langsung. Kata itu adalah adaptasi dari 'honestly' yang berarti sejujurnya, tapi ngomong 'sejujurnya' mungkin terlalu memakan waktu dan jauh dari kata keren dan kekinian. Lantas, seseorang dengan ide yang sangat cemerlang punya pikiran, 'Kenapa tidak kita gabung jadi 'jujurly'?

Siapapun orang itu, ia layak mendapatkan Nobel Prize.

Tapi, bagaimanapun juga, saya masih merasa belum terbiasa, aneh, dan menaruh curiga pada pengguna imbuhan meng-/me- seenaknya dan kaum 'jujurly'. Itu mungkin pilihan mereka, meskipun saya bingung terhadap pilihan itu, dan seperti yang saya bilang di paragraf pertama, tidak ada masalah selama pesan tersampaikan. Mesk begitu, saya tidak bisa bohong akan selalu berhati-hati saat berkomunikasi dengan kedua kaum tersebut, bahkan menjaga jarak. Saya takut kata-kata tersebut kode rahasia dengan rencana mengerikan di belakangnya.

Kamu boleh suka atau tidak. Sama halnya saya kurang suka pengguna meng-/me- seenaknya dan jujurly, tapi yang jelas, saya tak cukup kekinian untuk mengikuti perkembangan kata-kata ala muda-mudi sosialita. Saya memang agak kuno dan punya kecenderungan gelisah saat berkomunikasi dengan orang yang tak cukup paham penggunaan tanda koma serta kapan waktu yang tepat untuk memisah atau menggabung kata yang diawali di-.

Tapi, siapalah saya, pendapat ini tak perlu diambil hati. Kamu bisa terus menggunakan meng-/me- seenaknya atau jujurly di mana saja. Tulisan ini hanya cara saya melampiaskan kebingungan terhadap fenomena tersebut, selain memang kabur sejenak dari skripsi dan laporan magang.

Bahkan sampai akhir tulisan, terus terang, kenapa gituloh? Kenapa?

Heran.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Move On / Let Go

Semua yang hidup akan mati. Semua yang datang akan pergi. Semua yang gagal salah Jokowi.  Move on adalah fase. Ia tak melulu berkaitan dengan proses pemulihan dari pasangan sebelumnya. Ia juga berkaitan dengan perdamaian dengan masa lalu dan kemungkinan di masa depan.  Move on adalah masa perpindahan. Penyesuaian dari satu kondisi satu dengan kondisi lainnya. Kondisi itu bisa berarti orang maupun tempat yang pernah punya keterikatan. Bisa pasangan, orang tua, kantor, rumah, dan hal-hal yang pernah jadi rutinitas. Maka, perpindahan perlu persiapan yang baik agar tidak terbebani selama di perjalanan. Dan beginilah saya menyikapi perpindahan: Tidak semuanya harus sesuai maumu Waktu kecil, saya bercita-cita ingin menjadi power rangers merah dan menjalani hari-hari dengan membasi kejahatan di bumi. Tapi, kenyataanya tidak bisa. Ada banyak hal yang menghalangi keinginan saya terwujud, salah satunya adalah logika akal sehat. Alhasil, kemauan (dan niat mulia) itu terpaksa saya kubur dalam-da

Batas Kesenangan di Dunia Maya

Demi kebaikan bersama, untuk sementara waktu, segala bentuk aktivitas kesenangan duniawi harus dikurangi. Tidak ada lagi kuliah pagi, ngopi-ngopi, judi, atau lomba karapan sapi. Alhasil, hasrat untuk bertahan hidup di tengah pandemi seperti saat ini membawa kita ke tempat yang sama: internet. Akibat ruang gerak di dunia nyata yang dibatasi, kebanyakan dari kita pun beralih ke dunia maya. Tentu saja hal tersebut berbanding lurus dengan lama durasi mereka menggenggam gawai yang mereka punya. Saya juga jadi lebih sering menengok Instagram, Twitter, YouTube, dan ehem, TikTok. Aku suka boring goyang mama.. eh maaf.

Tiga Pilihan Presiden Indonesia, Siapa Bisa Dipercaya?

Tidak ada. Politisi semestinya tidak diberi kepercayaan utuh – sebagus apapun kinerjanya di masa lalu dan rencana-rencana yang diwacanakan untuk masa depan. Ia patut untuk terus dicurigai, dikritik, dan dituntut atas kekuasaan yang akan/telah dimilikinya. Lord Acton, guru besar Universitas Cambridge, pernah bilang: power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely . Kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut cenderung akan korup secara absolut. Kabar baiknya, rakyat punya hak untuk terus mengawasi kekuasaan yang telah dimandatkan pada penguasa. Hal itu dijamin undang-undang. Tapi, hal itu tidak akan terjadi jika penguasa tidak memberi ruang untuk dikritik tuannya dan melihat segala bentuk kritik sebagai ancaman atas kekuasaannya. Seorang teman pernah bilang kalau saja saya tahu orang-orang di balik ketiga pasangan dari capres dan cawapres yang tersedia ditambah lagi rekam jejak yang menyertai mereka, saya pasti takut dan enggan untuk memihak ketiga