Langsung ke konten utama

Percaya Polisi

ACAB. All cops are bastards. Semua polisi adalah bajingan. 

Belakangan kata-kata itu populer di pelbagai medium--terutama media sosial. Alasannya? Banyak. Dua di antarannya adalah kasus polisi menembak polisi yang berkelit entah ke mana hingga yang terbaru tragedi kemanusiaan di Stadion Kanjuruhan, Malang.

Munculnya seruan ACAB, apapun alasan yang melatarbelakanginya, jelas perwujudan sikap murka masyarakat terhadap polisi dan hal-hal buruk yang menyertainya. Sebab, polisi, bagaimanapun juga, adalah instrumen kenegaraan yang mestinya memiliki martabat yang terlalu agung untuk dihina. Lalu, kenapa bisa begitu?

Ada ekspektasi dan realita yang bertolak belakang antara harapan masyarakat dengan hal-hal yang dilakukan oleh polisi di lapangan.

Tugas pokok polisi menurut pasal 13 dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 antara lain:

a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;

b. menegakkan hukum; dan

c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat

Hanya orang dungu yang tidak setuju dengan rumusan tugas pokok polisi dalam undang-undang tersebut. Semuanya penting dan bertujuan baik pada masyarakat. Bayangkan masa depan yang aman, tentram, dan penuh kelembutan. Semua birokrasi berjalan dengan lancar dan transparan. Istilah ACAB mungkin tak akan pernah terdengar di telinga masyarakat Indonesia. Begitulah jika tugas pokok tersebut dilaksanakan dengan baik.

Tapi, hidup kadang-kadang ente kadang-kadang ente alias tidak selalu sesuai dengan apa yang kita mau.

Apa yang tersebar di masyarakat justru hal-hal buruk soal polisi. Contohnya? Gampang saja, tinggal buka mata. Oh, tidak, tunggu dulu, pelaku tidak mewakili semangat dan nama baik kepolisian. Pelaku adalah oknum yang bergerak atas inisiatif pribadi tanpa melibatkan institusi yang menaunginya.

Perbedaan antara tugas pokok dengan apa yang terjadi di masyarakat adalah akar ketidakpercayaan masyarakat terhadap polisi. Klaim pada diri sendiri yang telah sesuai prosedur, justru bertolak belakang dengan praktiknya.

Ketidaksinkronan seperti itu terlalu lucu untuk dicerna akal sehat. Hal itu seperti Messi bilang kalau dia benci sepakbola setelah meraih 7 Ballon d'Or. Terlalu bodoh untuk bisa mempercayainya.

Divisi Humas Polri harus bekerja keras untuk memulihkan brand/citra polisi yang baik agar sesuai dengan Undang-Undang. Tapi, membangun citra tak semudah bikin konten narsis yang mengagungkan diri sendiri. Sebab, apa yang saya pelajari soal branding, bahwa citra bukan tentang apa yang kita katakan tentang diri kita, tapi apa yang audiens pikirkan tentang kita.

Maka, cara terbaik untuk mengembalikan citra polisi yang humanis dan pantang menyelewengkan kewenangan adalah menunjukkan dalam keseharian. Berikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat. Biarkan masyarakat yang menilai dan menyebarkan kabar baik dari mulut ke mulut. 

Langkah pertama yang bisa dilakukan Divisi Humas Polri adalah melakukan survei kepuasan kinerja pada masyarakat. Jangan menutup kuping pada kritik dan saran. Denial pada kenyataan tidak akan berakhir baik. Narsis berlebihan itu kebiasaan buruk yang perlu dikurang-kurangi.

Bagaimana mungkin masyarakat percaya polisi saat apa yang terjadi sudah-sudah justru bertolak belakang dengan kata-kata manis Divisi Humas Polri?

Tugas berat Kepolisian untuk menata ulang ketidakberesan yang terjadi di dalamnya. Singkirkan semua 'oknum' dan pelan-pelan kembalikan kepercayaan masyarakat dengan bukti nyata bukan cuma kata-kata belaka. Ini adalah saran dari warga negara yang pengin hidup santai tanpa takut diciduk atas dasar masalah sepele.

Jika tidak, maka selamanya ACAB akan terus relevan untuk disuarakan dengan lantang.

Satu lagi, tolong perbaiki tampilan laman resmi Polri. Membingungan dan menyurutkan minat baca.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tidurlah Anji, Selamat Malam

Photo by Bastien Jaillot on Unsplash Ketika teman-teman ramai mengobrol soal pelbagai macam strategi untuk mengalahkan musuh di game online, diam adalah opsi terbaik yang saya punya. Saya tak mau merusuh dan memang tak begitu tahu akan istilah-istilah asing semacam skin, ranked, dan sejenisnya. Bisa dibilang, level pengetahuan saya cukup memprihatinkan. Tapi, ketika topik pembicaraan beralih ke dunia film, mulut saya akan selalu terbuka untuk meladeni setiap cabang bahasannya. Meski tidak paham betul, setidaknya saya punya cukup bekal jika ditanyai tentang istilah seperti plot hole, spin-off, easter eggs, overshadow, dan lain-lain. Di sisi lain, teman-teman saya yang cenderung lebih senang bermain game akan lebih sering jadi pendengar, ketimbang pembicara. Sama halnya ketika saya diajak berdiskusi soal Dota atau PUBG.

Di Tribun Sixteenagers

Elang kebanggaan. Sumber: @sixteenagers Akan terkesan sombong dan bodoh kalau saya memukul rata bahwa semua yang membaca tulisan ini tahu apa itu sixteenagers. Oleh sebab itu, ada baiknya saya berikan sedikit penjelasan tentang nama itu. Sixteenagers adalah sebutan bagi siswa dan siswi SMA Negeri 16 Surabaya. Lebih spesifik lagi, pendukung segala macam perlombaan yang diikuti oleh sekolah. 

Tiga Pilihan Presiden Indonesia, Siapa Bisa Dipercaya?

Tidak ada. Politisi semestinya tidak diberi kepercayaan utuh – sebagus apapun kinerjanya di masa lalu dan rencana-rencana yang diwacanakan untuk masa depan. Ia patut untuk terus dicurigai, dikritik, dan dituntut atas kekuasaan yang akan/telah dimilikinya. Lord Acton, guru besar Universitas Cambridge, pernah bilang: power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely . Kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut cenderung akan korup secara absolut. Kabar baiknya, rakyat punya hak untuk terus mengawasi kekuasaan yang telah dimandatkan pada penguasa. Hal itu dijamin undang-undang. Tapi, hal itu tidak akan terjadi jika penguasa tidak memberi ruang untuk dikritik tuannya dan melihat segala bentuk kritik sebagai ancaman atas kekuasaannya. Seorang teman pernah bilang kalau saja saya tahu orang-orang di balik ketiga pasangan dari capres dan cawapres yang tersedia ditambah lagi rekam jejak yang menyertai mereka, saya pasti takut dan enggan untuk memihak ketiga