Langsung ke konten utama

Hati-hati di Jalan

Pada Jumat, 21 Januari 2022, sebuah truk tronton yang membawa kapur pembersih air seberat 20 ton mengalami rem blong dan menabrak 20 kendaraan yang sedang diam menunggu lampu merah. Setidaknya ada 5 korban meninggal dan belasan mengalami luka-luka pada kejadian malang di Balikpapan itu.

Empat hari yang lalu, tepatnya Senin, 18 Juli 2022, kejadian serupa kembali terulang. Sebuah truk pengangkut bahan bakar kehilangan kendali saat melewati turunan di jalan alternatif Cibubur dan menghantam beberapa kendaraan yang berada di depannya. Total ada 10 korban yang meninggal.

Jalan raya adalah salah satu batas hidup dan mati yang terlampau jelas untuk tidak disadari.

Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia mencatat setidaknya ada dua sampai tiga orang korban kecelakaan lalu lintas yang meninggal setiap jamnya. Jika dipikirkan baik-baik, data itu seharusnya cukup untuk membuat bulu kuduk berdiri selama kita berada di jalan raya. 

Rasa aman tidak pernah menjadi suatu kepastian saat berada di jalan raya. Kamu bisa memakai helm berstandar nasional maupun galaksi, memastikan setiap jengkal kendaraan berfungsi dengan baik, serta membekali diri dengan doa-doa keselamatan berbagai kepercayaan. Sayangnya, saat di jalan, nyawamu tak hanya ada di tanganmu, tapi juga tangan setiap orang yang berada di jalan. 

Begitupun sebaliknya, menjaga nyawa diri sendiri secara tidak langsung juga menjaga nyawa orang lain.

Hampir setiap berkendara, otak saya tanpa sadar membayangkan hal-hal buruk yang bisa saja terjadi. Baik sendiri atau bersama teman-teman lain. Rem blong, terserempet odong-odong, atau tertabrak kereta kelinci. Bahkan, jika memang takdirnya saya mati di jalan, saya berharap untuk mati dalam sekejap. Shush. Tanpa rasa sakit. Hilang begitu saja. 

Tapi, jika ditanya bagaimana cara mati idaman, saya menginginkan itu terjadi saat waktu tidur. Tanpa sakit sebelumnya. Tidak merepotkan keluarga yang masih hidup. Tidak perlu mengeluarkan biaya perawatan. Mati dengan tenang. 

Sayangnya, sebagai manusia pada umumnya, memilih cara mati rasanya bukan hak istimewa yang bisa saya manfaatkan. Jadi, terserah bagaimana nanti. Semoga tidak merepotkan.

Balik lagi tentang mati di perjalanan.

Setiap perjalanan bisa jadi perjalanan terakhir. Adanya kemungkinan tersebut membuat setiap "Hati-hati di jalan" atau "Kabari kalau sudah sampai, ya!" jadi lebih dari sekadar rutinitas basa-basi sebelum berpergian. Beberapa orang mungkin benar-benar memaknainya dengan sepenuh hati. Maka, resapi dengan sepenuh hati pula.

Komentar

  1. Untuk paragraf terakhir, dulu aku selalu menganggap remeh kalo dibilangin "nanti kabarin ya kl udah sampe" dan sejenisnya. Ngeyel emg dulu aku itu, cuman sekarang sebisa mungkin aku juga berkabar ke teman2 kl aku sudah sampai di rumah dgn aman just in case aja hehe

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tiga Pilihan Presiden Indonesia, Siapa Bisa Dipercaya?

Tidak ada. Politisi semestinya tidak diberi kepercayaan utuh – sebagus apapun kinerjanya di masa lalu dan rencana-rencana yang diwacanakan untuk masa depan. Ia patut untuk terus dicurigai, dikritik, dan dituntut atas kekuasaan yang akan/telah dimilikinya. Lord Acton, guru besar Universitas Cambridge, pernah bilang: power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely . Kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut cenderung akan korup secara absolut. Kabar baiknya, rakyat punya hak untuk terus mengawasi kekuasaan yang telah dimandatkan pada penguasa. Hal itu dijamin undang-undang. Tapi, hal itu tidak akan terjadi jika penguasa tidak memberi ruang untuk dikritik tuannya dan melihat segala bentuk kritik sebagai ancaman atas kekuasaannya. Seorang teman pernah bilang kalau saja saya tahu orang-orang di balik ketiga pasangan dari capres dan cawapres yang tersedia ditambah lagi rekam jejak yang menyertai mereka, saya pasti takut dan enggan untuk memihak ketiga...

Tak Apa Tak Tahu Semuanya

Terkadang ketidaktahuan justru memberikan ketenangan.  Sementara itu, di sisi lain, upaya untuk mengetahui segalanya malah mengundang rasa gelisah. Hadirnya internet memberikan akses tanpa batas terhadap informasi. Lantas media sosial melengkapinya dengan alur penyebaran yang lebih masif dan cepat.  Setiap membuka media sosial kita disuguhkan dengan beragam informasi. Mungkin tidak semuanya berguna dan relevan, tapi kita harus menerimanya. Kita seolah dipaksa untuk mengikuti setiap peristiwa yang ada agar tetap dianggap dalam pergaulan. Pagi ini topiknya peran suami-istri dalam rumah tangga, nanti malam berubah soal hubungan budaya dan hak asasi manusia dalam penyelenggaraan Piala Dunia, lalu saat belum paham betul, orang-orang sudah beralih ke misteri meninggalkan keluarga di Kalideres.  Dua-puluh-empat jam sehari di depan layar rasanya tidak cukup untuk mengikuti semua yang terjadi. Selalu ada rasa resah karena takut ketinggalan berita. Fear of missing out . FOMO. Kenap...

Hal-hal Pernah dan Mungkin akan Terjadi

Suatu siang saya mengobrol dengan seorang teman. Kemudian terlintas pertanyaan, oh tidak, saya sudah mempersiapkannya sebagai opsi darurat apabila kami kehabisan topik pembicaraan. Saya bertanya: Apa kekuatan yang pengen kamu punya dan kenapa? Dia menjawab, "Kamu nanya? Iya? Aku kasih tahu, ya.." Dia jawab teleportasi. Perpindahan super cepat dari satu tempat ke tempat lain--menembus ruang dan waktu. Rasanya, dia menyukai ide bahwa dia bisa pergi ke mana saja, kapan saja, dan tidak perlu berurusan dengan kemacetan, orang-orang tak sabaran, dan perempatan Gedangan. Sementara itu, saya menjawab pertanyaan yang sama dengan berharap memiliki kekuatan untuk mampu mengontrol pikiran diri sendiri. Bukan, bukan seperti Profesor Xaxier dalam semesta X-Men yang mampu membaca pikiran dan memanipulasi orang lain. Saya hanya ingin mengontrol pikiran diri sendiri. Terdengar tolol dan egois memang. Tapi jika dipikir-pikir lagi, semua hal yang telah, sedang, dan mungkin akan saya lakukan ber...