Langsung ke konten utama

Kenapa Saya Enggan Memelihara Hewan


How cute! Sumber: amazine.co

Mari berdiskusi. Kalian tak harus sepaham, saya takkan memaksa, dan semuanya akan baik-baik saja nantinya. Sebab kebanyakan masalah yang terjadi saat ini berakar pada perbedaan pendapat dan pihak-pihak yang berseteru memaksa lawannya untuk menyetujui pendapatnya, begitupun sebaliknya. Padahal, seperti yang dikatakan Albert Einstein, yang menyinggung teori relativitasnya, bahwa satu-satunya yang pasti di dunia ini adalah ketidakpastian. Jadi, semua tak mutlak. Begitupun pendapat tersebut, kalian bisa membantahnya atau menerimanya dengan lapang dada dan hidup kalian akan berjalan seperti biasa.



Baiklah.


Sering saya jumpai teman-teman menunjukkan keakraban mereka dengan hewan peliharaannya. Mungkin kucing, anjing, kelinci, burung, bahkan sugar glidder dan lain-lain(tuyul tak termasuk). Sebenarnya saya tak masalah. Cenderung senang dan kagum malah, karena mereka berbagi kasih dan sanggup merawat hewan-hewan tersebut. Memberikan makan, membersihkan kandang, memandikan dan tetek bengek lainnya. Di saat saya sendiri yang kadang bingung mengurusi hidup diri sendiri.


Meski begitu, saya ingin sekali memelihara hewan. Saya sangat tertarik dengan burung dan kucing. Jika burung, ia akan membuat rumah saya tak sepi dan setidaknya saya punya kegiatan kala pagi dan sore untuk memandikannya. Maksud saya dengan menyemprotnya, tanpa sabun, sambil saya sendiri mengenakan sarung dan kaus kutang, seperti yang bapak-bapak sekeliling rumah lakukan bara burung-burung peliharaan mereka.


Kucing. Jujur, saya agak geli, tapi membayangkan untuk menggendongnya dan bercengkerama di tempat tidur dengannya sungguh menyenangkan. Apalagi, seperti yang sering saya lihat di kartun, mungkin kucing saya bisa menangkap tikus yang sering berkeliaran di got-got depan rumah. Saya akan sangat mengistimewakannya. Asal tidak buang kotoran sembarangnya. Tentu saja.


Dulu, saya sempat banyak memelihara hewan. Mulai dari burung, ikan hias, sampai jangkrik (Tidak untuk pakan burung, tapi sebagai pengusir tikus di rumah saya dulu, waktu di desa). Dan yang paling meninggalkan kesan adalah ketika saya memelihara burung.


Saya mendapatkannya dari tetangga. Ada sarang burung jatuh dari pohon dan di dalamnya masih ada anak-anak burung. Saya diberi satu dan dipercaya untuk merawatnya. Umur saya waktu itu sekitar 8 atau 9 tahun, saya agak lupa, dan saya buta masalah merawat burung. Bahkan saya tidak tahu harus memberinya makan apa. Hingga, entah kenapa, saya memutuskan untuk memberinya makan beras. Karena dia tidak menolak ketika saya suapi, maka saya anggap dia menyukainnya. Maka, saya terus memberinya makan. Lalu, tak lama setelah itu, lehernya terpenuhi oleh berang yang tak sempat ia telan. Saya jelas dapat melihatnya karena bulu ditubuhnya belum begitu banyak. Kemudian saya berhenti memberinya makan dan memasukkannya ke dalam kandang yang terbuat dari dua bakul bekas hajatan yang di tumpuk jadi satu. Beberapa hari berselang, anak burung itu mati.


Saya terpukul dan merasa sangat bersalah atas kematiannya. Sejak saat itu saya selalu menolak kalau diberi atau disuruh merawat burung. Saya trauma. Kecuali burung saya sendiri.


Bagaimana kalau mereka mati?

Dari pengalaman tersebut, hingga saat ini, saya enggan untuk memelihara hewan. Apapun itu. Dan saya sangat kagum dengan teman-teman yang memutuskan untuk merawat dan menjaga hewan-hewan. Beberapa pernah bercerita kedekatan mereka dengan peliharannya, nama-namanya, bahkan ketika hewan mereka melahirkan, saya pernah ditawari untuk merawat salah satu anaknya, kemudian saya tolak. Hewannya. Yang memelihara saya terima. Bercanda itu.


Saya tidak bisa membayangkan kalau hewan peliharaan yang selama ini mereka rawat, mereka jaga baik-baik dari pergaulan bebas, mereka sayangi—karena sebagaimana makhluk hidup lainnya—mati. Cepat atau lambat, siap atau tidak siap, hewan peliharaan tersebut akan pergi, bagaimanapun caranya, atau kita yang pergi terlebih dahulu. Saya hanya tak sanggup membayangkan kesedihan yang mereka rasakan. Sebab itulah, saya tak mau memelihara hewan, karena saya rasa, saya tak mampu untuk merasa kehilangan, disaat saya punya pilihan untuk tidak memeliharannya.


Mereka tidak seharusnya menjadi hewan peliharaan

Bukan karena dilindungi undang-undang, tapi bagi saya memelihara adalah membatasi hidup hewan. Burung yang seharusnya terbang bebas di langit, harus mengabiskan sebagian besar waktunya di dalam sangkar yang lebarnya tak sampai satu meter. Memang diberi makan, tapi ketika si empunya memutuskan untuk melepasnya ke alam liar, apa ia bisa mencari makan sendiri? Hal yang sama terjadi pada hewan-hewan lainnya, baik yang dipelihara perseorangan maupun instansi.


Lebih dari peliharaan, ada juga hewan yang ‘dilatih’ menjadi hewan pertunjukkan. Macam lumba-lumba, singa, ular, dan gajah. Perlu kita tahu bahwa dalam proses ‘pelatihan’ tersebut ada saat dimana hewan-hewan itu dipaksa melakukan hal-hal yang sebenarnya bukan naluri murni mereka. Maksud saya, buat apa di kehidupan nyatanya,  lumba-lumba meloncati cincin api? Buat apa gajah bisa berhitung? Buat apa anjing laut bermain bola? Dan lain-lain. Semua hanya demi kepuasan manusia, mereka dieksploitasi habis-habisan. Kalau kalian mau, kalian bisa cari berita atau rekaman video tentang bagaimana hewan-hewan tersebut ‘dilatih’ dan kita bersorak ria melihatnya di suatu pertunjukkan.


Karena beberapa hewan memang seharusnya kita biarkan hidup bebas. Tak perlu mengerangkengnya, mendiktenya tentang apa yang seharusnya mereka lakukan dan tidak. Hewan peliharaan kadang hanya memuaskan batin kita saja tanpa kita memerhatikan kemampuan aslinya. Lain halnya dengan hewan ternak, karena mereka dipelihara untuk dimanfaatkan daging, telur, atau tenaga yang sudah menjadi tugasnya untuk meringankan beban manusia. 


Mengingatkan lagi, ini adalah diskusi. Kalian boleh sepakat atau tidak, terserah. Berakhir dengan sepakat untuk tidak sepakat pun tak apa. Dan jika kalian, mungkin sebagai pemelihara hewan, punya alasan untuk membantah argumen saya dan mengatakan saya seharusnya memelihara hewan, tentu saya akan senang. Karena, bagaimanapun juga, saya ingin memelihara unicorn.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Move On / Let Go

Semua yang hidup akan mati. Semua yang datang akan pergi. Semua yang gagal salah Jokowi.  Move on adalah fase. Ia tak melulu berkaitan dengan proses pemulihan dari pasangan sebelumnya. Ia juga berkaitan dengan perdamaian dengan masa lalu dan kemungkinan di masa depan.  Move on adalah masa perpindahan. Penyesuaian dari satu kondisi satu dengan kondisi lainnya. Kondisi itu bisa berarti orang maupun tempat yang pernah punya keterikatan. Bisa pasangan, orang tua, kantor, rumah, dan hal-hal yang pernah jadi rutinitas. Maka, perpindahan perlu persiapan yang baik agar tidak terbebani selama di perjalanan. Dan beginilah saya menyikapi perpindahan: Tidak semuanya harus sesuai maumu Waktu kecil, saya bercita-cita ingin menjadi power rangers merah dan menjalani hari-hari dengan membasi kejahatan di bumi. Tapi, kenyataanya tidak bisa. Ada banyak hal yang menghalangi keinginan saya terwujud, salah satunya adalah logika akal sehat. Alhasil, kemauan (dan niat mulia) itu terpaksa saya kubur dalam-da

Batas Kesenangan di Dunia Maya

Demi kebaikan bersama, untuk sementara waktu, segala bentuk aktivitas kesenangan duniawi harus dikurangi. Tidak ada lagi kuliah pagi, ngopi-ngopi, judi, atau lomba karapan sapi. Alhasil, hasrat untuk bertahan hidup di tengah pandemi seperti saat ini membawa kita ke tempat yang sama: internet. Akibat ruang gerak di dunia nyata yang dibatasi, kebanyakan dari kita pun beralih ke dunia maya. Tentu saja hal tersebut berbanding lurus dengan lama durasi mereka menggenggam gawai yang mereka punya. Saya juga jadi lebih sering menengok Instagram, Twitter, YouTube, dan ehem, TikTok. Aku suka boring goyang mama.. eh maaf.

Tiga Pilihan Presiden Indonesia, Siapa Bisa Dipercaya?

Tidak ada. Politisi semestinya tidak diberi kepercayaan utuh – sebagus apapun kinerjanya di masa lalu dan rencana-rencana yang diwacanakan untuk masa depan. Ia patut untuk terus dicurigai, dikritik, dan dituntut atas kekuasaan yang akan/telah dimilikinya. Lord Acton, guru besar Universitas Cambridge, pernah bilang: power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely . Kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut cenderung akan korup secara absolut. Kabar baiknya, rakyat punya hak untuk terus mengawasi kekuasaan yang telah dimandatkan pada penguasa. Hal itu dijamin undang-undang. Tapi, hal itu tidak akan terjadi jika penguasa tidak memberi ruang untuk dikritik tuannya dan melihat segala bentuk kritik sebagai ancaman atas kekuasaannya. Seorang teman pernah bilang kalau saja saya tahu orang-orang di balik ketiga pasangan dari capres dan cawapres yang tersedia ditambah lagi rekam jejak yang menyertai mereka, saya pasti takut dan enggan untuk memihak ketiga