Langsung ke konten utama

Semoga Kita Lolos dari Pandemi Kali Ini



Photo by visuals on Unsplash
Saya tidak pernah berencana untuk hidup di kala pandemi seperti sekarang. Sehingga saya tak tahu-menahu perihal langkah-langkah pencegahan wabah atau upaya pertahanan diri selama masa karantina. Untuk saat ini, satu-satunya rencana yang saya punya adalah, tentu saja, jangan sampai mati karena korona. 


Minimnya pengetahuan soal pandemi dan bagaimana cara hidup yang sehat memaksa saya untuk banyak membaca. Sejak wabah covid-19 ini menyeruak di Tiongkok pada awal tahun 2020, sedikit-demi-sedikit saya sudah mulai mencari tahu soal wabah ini. Seperti dari mana wabah ini, penyebabnya apa, sampai risiko terburuknya apa dan seterusnya.

Oh, teryata wabah ini sejenis flu. Gejalanya pun lumrah—bersin, batuk, demam—dan kemungkinan kena kerokan juga akan beres. Itu pemikiran saya waktu itu. Bahkan, ketika internet ramai, lebih spesifik lagi, warganet dalam negeri yang dengan cerdas dan lihainya membuat meme-meme seputar wabah ini, saya juga sempat tertawa. 

Lalu, saat fakta menyebutkan wabah ini dapat membunuh dan menular dengan cepat, saya mulai khawatir. Setelah itu, saya jadi merasa bersalah menertawakan lelucon coal covid-19. Lambat laun, kasus positif di Tiongkok membludak. Lebih buruk dari itu, virus sialan ini menyebar ke berbagai negara layaknya sedang promosi album baru.

Kemudian, Senin, 2 Maret 2020,  Pak Presiden mengumumkan kasus covid-19 pertama di Indonesia. Dua orang warga Depok positif terjangkit virus ini. Setelah ditelusuri lebih lanjut, mereka berdua tertular setelah sempat berinteraksi dengan orang Jepang yang datang ke Indonesia.
Saya semakin khawatir.

Di sisi lain, beberapa orang pemerintahan malah mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang bernada meremehkan penyebaran virus ini. Mulai dari anggota DPR Ribka Tjiptaning menyebut korona sebagai ‘Komunitas Rondo Mempesona’, lalu Menkopolhukam Mahfud MD menyebut Indonesia satu-satunya negara besar di Asia yang tidak kena korona, sampai kelakar Menhub yang bilang Indonesia kebal korona karena rajin makan nasi kucing. Banyak sebenarnya kalau kalian bersedia meluangkan waktu untuk mencari.

Diberi kata-kata seperti itu, jangankan covid-19, saya juga kesal sendiri mendengarnya.

Kemudian angka positif korona terus bertambah hingga menyebabkan hampir kita semua harus mengkarantina diri sendiri di rumah masing-masing. Seperti sekarang. Tanpa tahu sampai kapan. Penasaran, saya Kembali berselancar di dunia maya mencari bacaan tentang pandemi-pandemi yang pernah terjadi sebelumnya. 

Sejauh ini, menurut data yang disajikan Visual Capitalist, wabah black death adalah pandemi terparah yang pernah terjadi di sejarah umat manusia. Hanya dalam kurun waktu empat tahun, 1347-1351, total korban meninggal sampai 200 juta orang. Hampir seperti seluruh populasi orang Indonesia saat ini. Gila.

Sementara itu, tiga pandemic sebelum Covid-19: SARS, EBOLA, dan MERS juga memakan waktu yang cukup lama, namun korban yang tercatat tidak sebanyak Black Death. Terima kasih kemajuan teknologi kesehatan.

Detailnya seperti ini SARS (2002-2003) korban 770 jiwa, EBOLA (2014-2016) 11.000 jiwa, dan MERS (2015-sekarang) 850 jiwa. Sementara itu, Covid-19 yang baru saja muncul beberapa bulan telah menelan korban sebanyak 41.200 jiwa. Angka yang sangat mengkhawatirkan. Dan, sampai saat ini, vaksin yang terbukti ampuh menyudahi masa pandemi gara-gara virus ini masih belum ditemukan.

Sebenarnya, mortality rate covid-19 masih jauh dibawah wabah-wabah lainnya. Menurut salah satu jurnal di MDPI, mortality rate SARS 10%, MERS 37%, dan Covid-19 tidak sampai 5%. Hanya saja, penyebaran virus ini cepat sekali dan sifatnya seperti pemantik. Orang-orang yang sebelumnya punya riwayat penyakit sebelumnya akan lebih terancam kondisinya.

Sembari menunggu ilmuwan bereksperimen, satu-satunya pencegahan yang bisa dilakukan adalah memperlambat penyebaran covid-19 ini. Istilah-istilah asing yang baru saya dengar seperti social distancing, physical distancing, self-quarantine dan lockdown menjadi bahan bacaan saya sehari-hari.
Hampir tiga minggu saya berdiam diri di rumah Bersama adik. Kuliah dan sekolah kami sama-sama dilakukan secara daring. Sebagian besar waktu kami habiskan dengan main gim dan sesekali menuntaskan tanggungan tugas. Tapi, bagaimanapun juga, bosan rasanya. 

Bicara soal karantina atau isolasi diri, saya ingat film buatan Stanley Kubrick yang berjudul The Shining. Dalam film itu, intinya, ada satu keluarga—ayah, ibu, anak—tinggal  di sebuah hotel di area perhutanan untuk sementara waktu sebagai perawat atau penjaga di hotel tersebut, selama tempat itu diistirahatkan.

Terus apa hubugannya? Mereka hanya bertiga di hotel tersebut. Terisolasi dari dunia luar. Satu-satunya alat komunikasi hanya bisa menjangkau pos polisi dekat situ. Selain itu, mereka hanya menjalankan rutinitas berulang-ulang selama berhari-hari. Dan lama-kelamaan mereka hilang akal.

Saya belum menemukan teori yang mendukung pernyataan saya selanjutnya, tapi bisa jadi hal tersebut karena konsep isolasi itu sendiri orang bisa hilang kontrol. Sebagai makhluk sosial, kita butuh teman. Kita butuh berinteraksi. Kita butuh saling berkomunikasi. Itulah sebabnya World Health Organization (WHO) mengubah istilah social distancing menjadi physical distancing karena mereka ingin kita berkomunikasi atau besosialisasi meskipun terhalang batasan jarak. Bersosialisai bisa jadi obat ampuh untuk mengurangi rasa bosan di rumah seharian. Terlebih dengan bantuan segala aplikasi yang ada seperti Skype, Zoom, dan lain-lain.

Oke, saya ide saya sudah habis. Intinya jaga kesehatan selalu dan jangan lupa bersosialiasi meski terhalang jarak, ya. Semoga kita lolos dari pandemi kali ini seperti manusia di masa lalu. Amin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Move On / Let Go

Semua yang hidup akan mati. Semua yang datang akan pergi. Semua yang gagal salah Jokowi.  Move on adalah fase. Ia tak melulu berkaitan dengan proses pemulihan dari pasangan sebelumnya. Ia juga berkaitan dengan perdamaian dengan masa lalu dan kemungkinan di masa depan.  Move on adalah masa perpindahan. Penyesuaian dari satu kondisi satu dengan kondisi lainnya. Kondisi itu bisa berarti orang maupun tempat yang pernah punya keterikatan. Bisa pasangan, orang tua, kantor, rumah, dan hal-hal yang pernah jadi rutinitas. Maka, perpindahan perlu persiapan yang baik agar tidak terbebani selama di perjalanan. Dan beginilah saya menyikapi perpindahan: Tidak semuanya harus sesuai maumu Waktu kecil, saya bercita-cita ingin menjadi power rangers merah dan menjalani hari-hari dengan membasi kejahatan di bumi. Tapi, kenyataanya tidak bisa. Ada banyak hal yang menghalangi keinginan saya terwujud, salah satunya adalah logika akal sehat. Alhasil, kemauan (dan niat mulia) itu terpaksa saya kubur dalam-da

Batas Kesenangan di Dunia Maya

Demi kebaikan bersama, untuk sementara waktu, segala bentuk aktivitas kesenangan duniawi harus dikurangi. Tidak ada lagi kuliah pagi, ngopi-ngopi, judi, atau lomba karapan sapi. Alhasil, hasrat untuk bertahan hidup di tengah pandemi seperti saat ini membawa kita ke tempat yang sama: internet. Akibat ruang gerak di dunia nyata yang dibatasi, kebanyakan dari kita pun beralih ke dunia maya. Tentu saja hal tersebut berbanding lurus dengan lama durasi mereka menggenggam gawai yang mereka punya. Saya juga jadi lebih sering menengok Instagram, Twitter, YouTube, dan ehem, TikTok. Aku suka boring goyang mama.. eh maaf.

Tiga Pilihan Presiden Indonesia, Siapa Bisa Dipercaya?

Tidak ada. Politisi semestinya tidak diberi kepercayaan utuh – sebagus apapun kinerjanya di masa lalu dan rencana-rencana yang diwacanakan untuk masa depan. Ia patut untuk terus dicurigai, dikritik, dan dituntut atas kekuasaan yang akan/telah dimilikinya. Lord Acton, guru besar Universitas Cambridge, pernah bilang: power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely . Kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut cenderung akan korup secara absolut. Kabar baiknya, rakyat punya hak untuk terus mengawasi kekuasaan yang telah dimandatkan pada penguasa. Hal itu dijamin undang-undang. Tapi, hal itu tidak akan terjadi jika penguasa tidak memberi ruang untuk dikritik tuannya dan melihat segala bentuk kritik sebagai ancaman atas kekuasaannya. Seorang teman pernah bilang kalau saja saya tahu orang-orang di balik ketiga pasangan dari capres dan cawapres yang tersedia ditambah lagi rekam jejak yang menyertai mereka, saya pasti takut dan enggan untuk memihak ketiga