Langsung ke konten utama

Cara Bodoh Tapi Jitu Raih Sensasi

Bagaimana jika ‘mempertontonkan kebodohan’ sudah menjadi salah satu opsi untuk meraih popularitas? Dan, sialnya, cara tersebut memang ampuh sekali. Siapa biang keladi yang harus kita cac maki?

Saya khawatir, korona ini, selain mengancam nyawa, juga berpotensi merusak akal sehat. Mungkin korona bukan penyebab satu-satunya, tapi mari kita melihat beberapa hari belakangan. Setidaknya ada dua kebodohan yang mengusik kehidupan kita yang tengah kacau ini.


Pertama, kasus di mana salah seorang selebram atau youtuber yang kebetulan diundang youtuber lainnya dalam suatu wawancara. Harusnya semua baik-baik saja, namun amarah warganet yang Budiman tersulut Ketika ia memberikan pernyataan yang seolah-olah meremehkan korona.

Terus terang, saya belum sempat menonton secara lengkap video tersebut—karena sudah dihapus, dan yang tersisa hanya potongan di mana yang bersangkutan melonntarkan kekhilafannya. Padahal, untuk mengkritik harusnya saya tahu seluruh durasi utuh sehingga tak ada konteks yang terlewat. Biar tak seceroboh Buni Yani.

Upaya yang saya lakukan untuk mencari konteks ialah membaca beberapa twit, berita, serta menonton video klarifikasinya di akun youtube Dedi Mizwar, eh maaf, Deddy Corbuzier. Hasilnya? Tetap. Bodoh sekali.

Namun, sebagaimana manusia, toh normal untuk khilaf dan melakukan kebodohan. Saya juga pernah. Sering. Bedanya, kebodohan saya, sejauh ini, hanya mengancam imej dan keselamatan diri sendiri saja.

Setelah saya pikir, pelontar pernyataan itu tidak sepenuhnya bertanggung jawab atas ketololan yang tersebar luas. Lalu siapa? Siapa lagi kalau bukan youtuber yang mengundangnya dan mengedit lalu mempublikasikan isi wawancara itu kepada publik lewat kanalnya.

Saya tak begitu tahu alur produksi youtuber, tapi pengalaman saya, dalam proses pengeditan kita punya kuasa untuk memotong dan memilih bagian mana yang layak tayang. Dan mengingat video tersebut sudah tayang, logikanya, video tersebut sudah ditata sedemikian rupa sehingga bentuk apapun yang keluar sudah melalui persetujuan dan perizinan yang ada.

Dan bagian di mana pernyataan tolol itu tetap dibiarkan, di saat mereka punya kesempatan untuk menghilangkannya. Maksudnya apa? Apa hal tersebut sengaja dilakukan untuk mencari sensasi serta memancing amarah warganet yang tak pernah salah?

Mari kita lanjut ke contoh kasus yang kedua. Kebetulan masih hangat karena terjadi kemarin.

Menurut kalian, apabila ada orang yang rela menjual keperawanannya senilai 2M dengan dalih hasilnya akan disumbangkan kepada penanganan covid-19, kira-kira bagaimana?

Reaksi pertama, saya berusaha mencermati ucapan dan caption yang ia tulis, sebab waktu itu sehabis sahur dan kesadaran saya belum terlalu sempurna. Siapa tahu video tersebut hanya rekaan orang iseng. Dan ternyata, Ketika saya ubek-ubek sumber lain, semuanya menampilkan hal yang sama. Perempuan itu benar-benar menawarkan keperawanannya.

Reaksi kedua, diam. Sekali lagi, saya tak berani cepat-cepat mengambil kesimpulan. Saya menunggu klarifikasi. Sebab begitulah polanya. Seseorang melakukan kebodohan, tak lama berselang, setelah dihujat warganet, pasti membuat klarifikasi yang diselingi dengan permintaan maaf.

Dan ya, perempuan itu ahirnya menjelaskan maksudnya sehari setelahnya. Ia berdalih tindakannya tersebut merupakan bentuk sarkasme dan protes terhadap pemerintah terkait penanganan covid-19. Selebihnya, ia juga menjelaskan bahwa semuanya hanya bercandaan semata. Sementara saya bingung setengah mati di mana letak lucunya. Bisa jadi kami punya referensi humor yang berbeda. Bisa jadi.

Kesal dengan pemerintah? Tentu. Saya juga. Mungkin sebagian orang Indonesia juga sama. Tapi, yang saya bingungkan, kenapa harus keperawanan? Meskipun hal tersebut merupakan seutuhnya hak dia, karena memang tubuhnya sendiri. Tapi, kenapa? Maksud saya, banyak kok hal lain yang bisa dilelang, toh dia juga selebgram. Tas, sepatu, dan beragam perhiasan lainnya. Atau, jika memang berniat bercanda, cobalah sesuatu yang lebih kreatif lagi. Lelang otak misalnya. Kalau ada.

Beberapa komentar saling bersaut-sautan, seperti harga diri perempuan, kebebasan terhadap diri sendiri, dan tentu saja kaum beragama. Semuanya sama-sama memberikan pemahaman dan sudut pandang baru bagi saya. Mantap.

Sekali lagi, bagaimana jika ‘mempertontonkan kebodohan’ sudah menjadi salah satu opsi untuk meraih popularitas? Dan, sialnya, cara tersebut memang ampuh sekali.

Mungkin di sisi lain mereka cukup cerdas memanfaatkan aktivitas kebanyakan dari kita yang senang menyebar berita kontroversi, namun kelihatannya mereka tak cukup pintar mengukur segala kemungkinan yang terjadi.

Jika rencana ‘mempertontonkan kebodohan’ memang benar adanya, tentu kita juga turut andil dalam menyukseskannya, apabila kita ikut-ikutan membahas nama, menyebarkannya, dan memberinya panggung terbuka.

Saya sendiri sebisa mungkin tidak membicarakan orang-orang tolol yang sengaja mencari sensasi. Mungkin dengan tidak menyebutkan namanya, turut serta menghujat secara langsung, dan hal-hal lain yang bisa jadi malah diharapkan oleh pelakunya. Cukup mengamati saja, selama hak yang saya punya tidak terancam dan perbuatannya tidak benar-benar merusak tatanan masyarakat yang sudah ada.

Setiap kita juga pernah khilaf, dan mungkin mereka juga. Bisa jadi. Dan saya juga mungkin sebenarnya jauh lebih bodoh ketimbang mereka—jika kepintaran dinilai dari besarnya IQ—namun, saya tidak cukup bodoh untuk menyebarluaskan informasi sesat atau kebodohan saya hanya demi engagement semata. Tidak.

Mungkin derajat mereka jauh lebih tinggi dari saya. Toh saya juga benci merasa lebih baik, lebih suci, dari orang lain. Cuman, rasanya agak gatal di tangan untuk tidak menanggapi suatu kebodohan. Sebab, selain virus, kebodohan juga bisa menular. Semoga kewarasan kita tetap terjaga sampai semua ini selesai.

Komentar

  1. Menanggapi untuk kasus yang pertama, saya rasa kalian pihak yang merasa dirugikan harusnya berfikir terlebih dahulu sebelum menghujat dan menghakimi kesalahan orang lain. Mental seseorang yang bahkan sudah kalian anggap setangguh baja bisa juga hancur berkeping-keping karena ucapan dan tindakan jari tangan kalian yang 'menurut saya' lebih bodoh dari pada seseorang yang mengungkapkan apa yang dia rasakan dan kebetulan saja kurang atau bahkan sangat salah. Tetapi bukannya bertindak sebagai manusia makhluk sosial yang seharusnya saling mengingatkan dan memaafkan, kalian malah menganggap hal itu adalah 'cara bodoh tapi jitu raih sensasi' mohon maaf jika komentar saya menyinggung beberapa pernyataan anda, tetapi jika anda saja bisa mengungkapkan apa yg anda rasakan dan pikir benar, kenapa saya tidak? Sekian terimakasih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Senang rasanya ada yang berkomentar, saya anggap kamu kamu sudah membaca semua kata yang sata tulis di atas. Ya, kelalaian memang selalu mengintai manusia dan saya pehum akan hal itu. Dan, barangkali terlewat, saya tidak punya dendam pribadi dengan alasan apapun kepada pihak tertentu. Mereka bertindak, saya berkomentar. Dan yang saya garis bawahi adalah unsur kesengajaan dari kedua contoh. Selebihnya hanya bentuk keresahan pribadi. Kalau kamu merasa tersinggung, ya tidak apa. Boleh-boleh saja. Terlebih, kamu juga meninggalkan komentar, yang mana bisa saya jadikan bahan evaluasi. Terima kasih, have a good day!

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Move On / Let Go

Semua yang hidup akan mati. Semua yang datang akan pergi. Semua yang gagal salah Jokowi.  Move on adalah fase. Ia tak melulu berkaitan dengan proses pemulihan dari pasangan sebelumnya. Ia juga berkaitan dengan perdamaian dengan masa lalu dan kemungkinan di masa depan.  Move on adalah masa perpindahan. Penyesuaian dari satu kondisi satu dengan kondisi lainnya. Kondisi itu bisa berarti orang maupun tempat yang pernah punya keterikatan. Bisa pasangan, orang tua, kantor, rumah, dan hal-hal yang pernah jadi rutinitas. Maka, perpindahan perlu persiapan yang baik agar tidak terbebani selama di perjalanan. Dan beginilah saya menyikapi perpindahan: Tidak semuanya harus sesuai maumu Waktu kecil, saya bercita-cita ingin menjadi power rangers merah dan menjalani hari-hari dengan membasi kejahatan di bumi. Tapi, kenyataanya tidak bisa. Ada banyak hal yang menghalangi keinginan saya terwujud, salah satunya adalah logika akal sehat. Alhasil, kemauan (dan niat mulia) itu terpaksa saya kubur dalam-da

Batas Kesenangan di Dunia Maya

Demi kebaikan bersama, untuk sementara waktu, segala bentuk aktivitas kesenangan duniawi harus dikurangi. Tidak ada lagi kuliah pagi, ngopi-ngopi, judi, atau lomba karapan sapi. Alhasil, hasrat untuk bertahan hidup di tengah pandemi seperti saat ini membawa kita ke tempat yang sama: internet. Akibat ruang gerak di dunia nyata yang dibatasi, kebanyakan dari kita pun beralih ke dunia maya. Tentu saja hal tersebut berbanding lurus dengan lama durasi mereka menggenggam gawai yang mereka punya. Saya juga jadi lebih sering menengok Instagram, Twitter, YouTube, dan ehem, TikTok. Aku suka boring goyang mama.. eh maaf.

Tiga Pilihan Presiden Indonesia, Siapa Bisa Dipercaya?

Tidak ada. Politisi semestinya tidak diberi kepercayaan utuh – sebagus apapun kinerjanya di masa lalu dan rencana-rencana yang diwacanakan untuk masa depan. Ia patut untuk terus dicurigai, dikritik, dan dituntut atas kekuasaan yang akan/telah dimilikinya. Lord Acton, guru besar Universitas Cambridge, pernah bilang: power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely . Kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut cenderung akan korup secara absolut. Kabar baiknya, rakyat punya hak untuk terus mengawasi kekuasaan yang telah dimandatkan pada penguasa. Hal itu dijamin undang-undang. Tapi, hal itu tidak akan terjadi jika penguasa tidak memberi ruang untuk dikritik tuannya dan melihat segala bentuk kritik sebagai ancaman atas kekuasaannya. Seorang teman pernah bilang kalau saja saya tahu orang-orang di balik ketiga pasangan dari capres dan cawapres yang tersedia ditambah lagi rekam jejak yang menyertai mereka, saya pasti takut dan enggan untuk memihak ketiga