Tidak ada yang mengira akan berada dalam kondisi seperti
saat ini. Ruang gerak diawasi, interaksi dibatasi, dan rencana-rencana yang sudah
kita susun rapi-rapi harus kembali disimpan lagi.
Tidak ada yang memperingati bahwa
tawa kita di kedai kopi, tugas kuliah yang kita umpati, dan sikap politisi yang
kita habisi dengan caci maki adalah aktivitas terakhir sebelum pandemi.
Tidak ada yang menjamin semua
akan Kembali seperti semula. hal-hal yang ditunda, waktu-waktu yang lalu, dan
upaya-upaya pemulihan, belum tentu mengembalikan normal yang pernah kita alami
Mengamati tingkah laku pemerintah
dan beberapa orang dungu yang bertindak berdasar naluri yang mati dalam
menghadapi pandemi, rasanya kita akan berada dalam situasi ini dalam waktu yang
lama. Banyak penyesuaian yang perlu kita lakukan untuk menyambut normal yang
baru.
Salah satu hal yang mengusik
ketenangan adalah kita tak tahu sampai kapan kita harus menjaga jarak dan
selalu mencuci tangan. Pemerintah yang seharusnya memberikan rasa tenang pada
rakyatnya justru kalang kabut menata citra. Koordinasi yang terkesan amburadul—misal
tentang definisi mudik dan pulang kampung, PSBB, dan banyak lagi—semakin memupuk
keinginan untuk mengungsi ke Vietnam yang berhasil membuka lockdown tanpa kasus
korban jiwa.
Beragam penyesuaian dilakukan
untuk bertahan hidup. Ada yang diputus kerja lalu bikin usaha di rumah, ada
yang harus menghabiskan puluhan giga data demi menuntaskan tugas sekolah dan
kuliah, dan ada yang berusaha menyibukkan diri membuat kebun, menata kamar, dan
beragam aktivitas lainnya demi menjaga kewarasan selama di rumah saja. Tapi, Kembali
lagi, mau sampai kapan?
Dalam ilmu komunikasi yang saya
pelajari sembari menahan rasa kantuk dulu, manusia tidak bisa hidup tanpa
berkomunikasi—entah dalam bentuk apapun itu. Dan ya, sekarang mungkin kita
masih menjalin komunikasi dengan kawan atau keluarga, secara virtual. Tapi, dalam
ingatan payah saya, rasanya komunikasi lewat telepon atau panggilan video takkan
pernah bisa menghantikan kemampuan interaksi langsung antar persona.
Saat keadaan baik-baik saja,
saya tak begitu cakap menjalin obrolan dengan kawan—terutama mereka yang jarang
bertemu atau bahkan baru kenal. Beberapa teman bahkan memberi julukan ansos
pada saya yang kurang pandai bergaul. Dan keterbatasan yang sekarang kita semua
alami, saya takutkan akan mengubah—jika tidak bisa dibilang mengurangi—kemampuan
bersosialisasi orang-orang.
Selama tidak ada jelasan yang
kita dapatkan, satu-satunya hal untuk menyintasi pandemi kali ini adalah terus
memupuk harapan dan menjaga kewarasan. Keadaan saya mungkin tidak sebaik atau
separah orang lain, tapi rasanya tidak ada yang diuntungkan dalam situasi ini,
kecuali dedengkot video conference yang entah kita tahu keamanannya.
Mari beradaptasi dan terus
memelihara akal sehat dan hati Nurani selama normal yang berjalan entah sampai
kapan ini. Semoga kita bisa segera bertemu teman dan merayakan kebersamaan serta
keriuhan saat berkumpul lagi. Saat tidak ada lagi pandemi.
Komentar
Posting Komentar